Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Mengejar Pemerkosa Lewat DNA

14 Desember 2012   04:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:41 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://news.liputan6.com/read/452689/inilah-kronologi-pemerkosaan-tki-di-malaysia

Dalam proses penyelidikan pelaku pemerkosaan warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia ada satu barang bukti menarik yang diajukan penuntut dalam proses pengadilan. Bukti tersebut adalah segmen ruas gen (DNA, deoxyribo nucleic acid) yang diduga milik pelaku pemerkosaan.

Bagi yang awam tentu saja barang bukti ini menarik atau bahkan mengundang rasa ingin tahu lebih lanjut. Meskipun sejatinya, penggunaan DNA sendiri dalam proses forensik untuk mencari pelaku kejahatan sebenarnya topik yang tidak begitu asing bagi kita. Menjadi asing kalau topiknya digeser ke agak lebih dalam, bagaimana ceritanya sebuah "barang" dengan radius sekira 1 nm (sepersemilyar meter) bisa menjadi salah satu bukti kejahatan.

Memahaminya sebenarnya simpel. Mirip dengan memahami jejak sidik jari pada benda apapun yang mengalami kontak langsung dg jari kita. Begitupun dengan "jejak DNA". Kontak fisik antara pelaku dan korban kejahatan akan membuka peluang "tertinggalnya" DNA kedua pihak di tubuhnya masing-masing. DNA pelaku bisa "tercecer" di tubuh korban, demikian pula sebaliknya.

Kenapa bisa?

Karena DNA memang secara alami mudah ditemukan diberbagai bagian tubuh kita. DNA sejatinya ada dalam sel-sel tubuh, yang jenisnya beragam. Ada sel darah, sel kulit, sel rambut atau bahkan sel sperma. Semua sel memiliki DNA di inti sel (nucleus) nya, yang pada manusia dikemas dalam sebuah struktur bernama kromosom.  Jadi keberadaan sel pelaku adalah prasyarat untuk bisa menjejak DNA pelaku di tubuh korban.

Ini tidak begitu susah jika memang "kontak fisik" terjadi dengan intensitas tinggi. Sel darah bisa muncul jika pelaku terluka saat kejadian dan darahnya terciprat ke tubuh korban. Ini bisa di isolasi. Sel kulit bisa didapat dari sisa-sisa keringat pelaku yang ada di tubuh korban, karena umumnya sel kulit akan terbawa dalam keringat. Sel rambut bisa didapatkan jika ada potongan rambut, meskipun cuma sehelai, yang tertinggal di tubuh korban. Sel sperma pelaku kemungkinan besar didapatkan pada korban pemerkosaan. Bahkan dalam air liur pelaku yang tertinggal, kita bisa mendapatkan sel mukosa mulut yang terbawa. Didalamnya jelas ada DNA.

Dalam proses penyelidikan pelaku pemerkosaan warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia ada satu barang bukti menarik yang diajukan penuntut dalam proses pengadilan. Bukti tersebut adalah segmen ruas gen (DNA, deoxyribo nucleic acid) yang diduga milik pelaku pemerkosaan.

Bagi yang awam tentu saja barang bukti ini menarik atau bahkan mengundang rasa ingin tahu lebih lanjut. Meskipun sejatinya, penggunaan DNA sendiri dalam proses forensik untuk mencari pelaku kejahatan sebenarnya topik yang tidak begitu asing bagi kita. Menjadi asing kalau topiknya digeser ke agak lebih dalam, bagaimana ceritanya sebuah "barang" dengan radius sekira 1 nm (sepersemilyar meter) bisa menjadi salah satu bukti kejahatan.

Memahaminya sebenarnya simpel. Mirip dengan memahami jejak sidik jari pada benda apapun yang mengalami kontak langsung dg jari kita. Begitupun dengan "jejak DNA". Kontak fisik antara pelaku dan korban kejahatan akan membuka peluang "tertinggalnya" DNA kedua pihak di tubuhnya masing-masing. DNA pelaku bisa "tercecer" di tubuh korban, demikian pula sebaliknya.

Kenapa bisa?

Karena DNA memang secara alami mudah ditemukan diberbagai bagian tubuh kita. DNA sejatinya ada dalam sel-sel tubuh, yang jenisnya beragam. Ada sel darah, sel kulit, sel rambut atau bahkan sel sperma. Semua sel memiliki DNA di inti sel (nucleus) nya, yang pada manusia dikemas dalam sebuah struktur bernama kromosom.  Jadi keberadaan sel pelaku adalah prasyarat untuk bisa menjejak DNA pelaku di tubuh korban.

Ini tidak begitu susah jika memang "kontak fisik" terjadi dengan intensitas tinggi. Sel darah bisa muncul jika pelaku terluka saat kejadian dan darahnya terciprat ke tubuh korban. Ini bisa di isolasi. Sel kulit bisa didapat dari sisa-sisa keringat pelaku yang ada di tubuh korban, karena umumnya sel kulit akan terbawa dalam keringat. Sel rambut bisa didapatkan jika ada potongan rambut, meskipun cuma sehelai, yang tertinggal di tubuh korban. Sel sperma pelaku kemungkinan besar didapatkan pada korban pemerkosaan. Bahkan dalam air liur pelaku yang tertinggal, kita bisa mendapatkan sel mukosa mulut yang terbawa. Didalamnya jelas ada DNA.

1355453549937033368
1355453549937033368
http://publications.nigms.nih.gov Maka wajar jika korban kejahatan biasanya diharapkan tidak berganti pakaian atau tidak mandi ketika akan dilakukan uji forensik. Hal ini untuk mencegah hilangnya jejak-jejak sel tersebut. Untuk mengambilnya biasanya digunakan teknik ulas (swab). Bagian tubuh korban yang memiliki peluang mengandul sel pelaku di ulas atau di usap dengan bahan tertentu sehingga sel pelaku akan terambil. Mulai dari rongga mulut, tubuh, hingga (maaf) vagina.

Begitu sel pelaku berhasil "dipindahkan" dari tubuh korban, maka DNA dengan mudah bisa diekstrak dengan berbagai bantuan bahan kimia dan alat sederhana yang ada di laboratorium. Prinsipnya simpel saja, sel tersebut harus dipecah dengan merusak membran pelindung sel dan inti sel (lysis) sehingga DNA dalam kondisi bebas. Setelah itu, barulah perburuan identitas si pemilik DNA tersebut dimulai.

Bagaimana "perburuan" tersebut berjalan? ini cerita yang lain, tentu saja.

[caption id="attachment_221741" align="alignright" width="300" caption="http://chemistry.tutorvista.com"]

13554726311681368048
13554726311681368048
[/caption] Perlu diingat terlebih dahulu bahwa DNA sejatinya adalah penyusun materi genetik kita (genom). Anda bisa simplifikasikan DNA sebagai segmen dari ruas panjang genom kita. DNA bisa dianalogikan dengan dua untai benang yang saling berikatan, dimana setiap untai disusun oleh molekul lebih kecil bernama nukelotida. Lebih kecil lagi, nucleotida sejatinya adalah kompleks dari tiga unit: molekul gula (deoksiribo, salah satu jenis monosakarida), grup fosfat, dan salah satu dari 4 jenis basa nukleotida (guanine/G, cytosine/C, adenine/A, dan thymine/T).  Kedua untai tersebut berikatan lewat interaksi antara masing-masing basa nukleotida. Mirip dengan struktur tangga yang terdiri dari dua batang utama (backbone) yang dihubungkan oleh anak tangga. Basa nukleotida bisa dianalogikan sebagai "anak tangga" dalam struktur DNA.  Interaksi antara basa tersebut berlangsung tidak secara acak tentu saja. Guanine dari untai pertama hanya akan berikatan dengan cytosine dari untai pasanganya, sementara adenine dari salah satu untai berpasangan dengan thimine di untian kedua. Ikatan tersebut melibatkan serangkaian ikatan kimia yang sedemikian rupa sehingga membuat DNA memiliki bentuk geometri yang khas, yakni berpilin. Inilah yang disebut struktur helix. Jadi dalam struktur helix DNA, kalau dibentangkan masing-masing untainya akan menghasilkan barusan nukelotida. Nukelotida 1 , 2, 3, dan seterusnya. Kalau melihat backbone nya, bisa saja ditulis, basa 1,2,3,4, dan seterusnya.

Dan sekarang mungkin anda akan faham kalau disodorkan sekuens DNA berupa GCTATTGA. Artinya ruas tersebut tersusun dari 8 basa yang terdiri dari basa1 berupa guanine, disambung dengan cytosine, dilanjut dengan thymine, adenine, thymine, thymine, guanine dan diakhiri dengan adenine. Sekuens itu hanya menggambarkan satu untai saja. Bagaimana dengan untai kedua? mudah saja, karena anda tahu apa pasangan spesifik dari masing-masing basa tersebut. Sekuens untai keduanya adalah CGATAACT. Dan untuk simplifikasi, sekuens DNA cukup ditulis dari satu untai saja karena sekuens untai keduanya bisa secara mudah kita duga dari sekuens pertama.

Informasi dasar ini perlu kita ketahui karena dasar pencocokan informasi DNA dari sel yang menempel ditubuh korban prinsipnya mengacu pada informasi sekuens ini.

Lebih dari satu dekade silam, proyek penelitian terbesar di planet bumi, mensekuens urutan basa di genome manusia, rampung. Ada lebih dari 3 milyar basa yang menyusun untai panjang genome manusia. Dan yang paling menarik adalah, kesamaan runutan basa antara satu orang dengan orang lain mencapai  99.9% ! Saya dan anda hanya memiliki perbedaan 0.1% dari pola runutan basa dalam genome kita.

Artinya, meskipun kita berhasil memperoleh sel pelaku dari tubuh korban. Kemudian berhasil mengekstrak DNA-nya atau bahkan menskuens sempurna, hasilnya akan diperoleh 99.9% mirip dengan DNA si korban itu sendiri. Mencari perbedaan 0.1% dari 3 milyar basa tentu bukan hal yang mudah. Dan uji forensik DNA sejatinya adalah menjejak sisa 0.1% yang berbeda tersebut. Karena masing-masing kita memiliki keunikan dalam 0.1% sekuens kita. Orang kembar siam sekalipun, akan menunjukan perbedaan di runutan sekuens ini. Mirip dengan sidik jari setiap manusia yang sangat unik satu sama lainya. Sisa 0.1% sekuens genome kita sangat unik satu sama lain, maka acap kali disebut dengan genetic/DNA finger printing. Analisa DNA fingerprinting ini sendiri dinamakan dengan DNA profiling. Dan DNA profiling ini yang dilakukan para tim forensik untuk menjejak pelaku kejahatan.

Dalam DNA profiling, bisa saja tim forensik mensekuens seluruh untai DNA yang mereka dapatkan, kemudian dicocokan dengan sekuens seluruh DNA si pelaku. Akan ketemu kecocokannya, terutama wilayah 0.1% tersebut.

Beres?

Tidak juga. Karena teknis mensekuens 3 milyar basa dalam genome, tentu saja bukan pekerjaan seperti merebus mie instan. Selain membutuhkan waktu, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.  Paling murah dan cepat adalah mengidentifikasi langsung wilayah 0.1% tersebut. Artinya sekira 3 juta runutan basa yang harus diamati.

Tiga juta juga masih kebanyakan sepertinya. Kita butuh wilayah yang lebh spesifik dan unik lagi di antara 3 juta runutan basa tersebut.

Dan berterima kasihlah pada Sir Alec Jeffrey, dari Univ. Leicester, Inggris, yang kemudian mengembangkan teknik DNA profiling dengan cara yang lebih sederhana pada tahun 1984. Tanpa harus repot-repot mensekuens jutaan basa tersebut. Dan teknik ini yang dilakukan hingga sekarang.

Bagaimana caranya?

Ternyata ada pola yang sangat unik dalam wilayah 0.1% sekuens genome yang berbeda diantara kita. Pola tersebut adalah berupa pengulangan runutan basa. Misalnya, basa G berulang 3 kali, basa A 4 kali, atau pola lainnya. Pola ulangan ini disebut dengan variable number tandem repeats (VNTR). Pola ulangan ini tersebar di berbagai tempat dalam genome (lokus) kita dengan jumlah dan ukuran pengulanganya berbeda. Ada yang pendek, ada yang panjang. Tentu saja, ruas yang pendek akan lebih mudah dianalisa dibandingkan dengan ruas lebih panjang. Dus, untuk analisa DNA profiling, pola ulangan lebih pendek akan memudahkan analisa. Pola ini disebut dengan simple sequence repeats (SSRs)atau short tandem repeats (STRs), atau lebih simpel lagi disebut mikrosatelit.

Mikrosatelit analisis adalah metode paling umum yang digunakan dalam DNA profiling. Panjang ulanganya berkisar 4-5 basa dengan jumlah sebaran dalam lokus yang berbeda antar satu orang dengan orang lainnya. Peluang dua orang memiliki kesamaan sebaran mikrosatelit relatif kecil, hanya 5-10% saja. Dengan mendeteksi variasi ini, maka bisa dijejak pemilik DNA yang tertinggal di tubuh sang korban.

Caranya simpel saja. Target lokasi mikrosatelit dalam ruas DNA di kopi dengan menggunakan potongan pendek DNA (primer) yang didesain dan disintesis berdasarkan pola ulangan dalam mikrosatelit yang diketahui secara umum. Proses pengkopian dilakukan lewat rangkaian reaksi kimia yang menggunakan enzim polimerase (reaksi polimerasi berantai/PCR). Sang primer akan menempel ke lokasi mikrosatelit, dan proses pengkopian ruas mikrosatelit berlangsung. Ukuran dan jumlah ruas mikrosatelit yang dihasilkan dalam proses pengkopian ini akan bervariasi antara satu orang dengan yang lainya, dan bisa dijadikan keunikan DNA individu. Pola ini dengan mudah dilihat dengan teknik elektroforesis, yang dengan gamblang memvisualisasikan hasil kopi ruas-ruas unik  dalam setiap DNA yang dianalisis.

1355454448144707063
1355454448144707063
http://archive.innovation.gov.au/Biotechnologyonline/human/dnaprofile.html

Dengan membandingkan hasil pengkopian ruas mikrosatelit dari DNA dari tubuh korban dan DNA dari terduga pelaku kejahatan, polisi kemudian bisa menyimpulkan sumber DNA yang melekat dari tubuh korban. Jika hasil kopi nya memiliki pola yang sama, bisa jadi DNA itu berasal dari sang terduga. Dan ini bisa menjadi bukti pendukung dalam proses pengadilan.

Sebenarnya bukan cuma analisis ruas mikrosatelit yang digunakan dalam DNA profiling. Metode lainnya yang bisa digunakan adalah RFLP (restriction fragment length polymorphism). Polimorfisme adalah perbedaan sekuens yang ada dalam human genome. Bisa saja disederhanakan bahwa 0.1% perbedaan dalam sekuens genom manusia adalah bentuk polimorfisme.

Pada beberapa kasus, polimorfisme atau perbedaan sekuens menyebabkan sebuah DNA menjadi lebih sensitif atau tidak sensitif terhadap enzim pemotong DNA (restriction enzymes). Disinilah RFLP bekerja, dengan melihat pola pemotongan titik-titik polimorfisme yang dilakukan oleh restrcition enzymes. Lagi-lagi, hasil pemotongannya, yang juga divisualisasikan lewat elektroforesis, akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya. Dan ini bisa dijadikan referensi dalam mencari pemilik DNA yang melekat di tubuh korban kejahatan.

Meskipun masih ada metode lainnya dalam proses DNA profiling, tapi saya kira dua metode di atas yang paling umum digunakan oleh tim forensik dari berbagai dunia saat ini.

Dalam kondisi ketiadaan pihak yang diduga melakukan kejahatan, biasanya hasil DNA profiling akan dibandingkan dengan DNA profiling yang ada dalam database pihak berwajib. Di negara-negara maju database ini sudah lama dikembangkan. Record data pala pelaku kriminal bisa mencakup hingga ke DNA fingerprinting mereka. Tentu saja, jika kemudian ditemukan tersangka pelaku kejahatan, pencocokan bisa dilakukan kembali dengan menganalisa DNA sang tersangka tersebut.

Jadi jelas, DNA profiling tidak sama dengan pembacaan sekuens genom manusia (human genome sequencing). Dalam DNA profiling, kita sama sekali tidak melakukan pembacaan runutan basa dari 3 milyar basa dalam DNA yang ada ditemukan di sampel. Cukup dilakukan analisis pada ruas-ruas DNA yang memang sudah diketahui memiliki titik-titik perbedaan antar individu. Dan analisis ruas-ruas unik ini pun sama sekali tidak dilakukan lewat pembacaan sekuensnya, melainkan berdasarkan pola yang mengacu pada ukuran ulangan, jumlah ulangan, dan atau sensitivitas pada enzim pemotong. Jauh lebih simpel dibandingkan pekerjaan membaca sekuens DNA.

Hasil analisis pada akhirnya menghasilkan tiga kemungkinan yang bisa dijadikan dasar pihak berwenang mengambil keputusan.

Pertama, jika hasil DNA profiling dari sampel yang melekat di tubuh korban kejahatan sama dengan DNA profiling dari tersangka, maka ada kemungkinan pelaku memang terlibat dalam tindak kejahatan tersebut. Akan tetapi perlu dicatat, hasil ini tidak memastikan bahwa tersangka adalah pelaku kejahatan tersebut. Hal ini tergantung dari tingkat keunikan hasil DNA profiling yang dihasilkan. Karena bagaimanapun secara teknis akan susah kita mencari hasil yang benar-benar menunjukan bahwa DNA profiling tersebut benar-benar 100% unik. DNA profiling dengan demikian harus benar-benar ditargetkan pada ruas-ruas yang benar-benar memiliki peluang paling kecil untuk ditemukan kesamaanya pada individu yang berbeda.

Kedua, jika hasil DNA profiling dari sampel yang melekat pada tubuh korban berbeda dengan tersangka, ada kemungkinan tersangka tidak terlibat. Tapi, lagi-lagi, tidak 100% dijamin bahwa pelaku tidak terlibat, tergantung kasusnya.  Dalam kasus pemerkosaan, jika pelaku menggunakan kondom, dan sampel diambil dari wilayah kemaluan korban, acap kali diperoleh hasil seperti ini. Karena tidak ada sel pelaku yang terambil dalam hal ini. Alih-alih, sel dari si korban sendiri yang terbawa.

Ketiga, hasil DNA profiling bisa jadi akan "bisu". Hal ini terjadi ketika hasil analisis tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan apakah si tersangka terlibat atau tidak. Hasil seperti ini bisa muncul jika kualitas DNA yang diperoleh dari tempat kejadian perkara tidak cukup baik kualitasnya atau jumlahnya tidak terlalu sedikit untuk menghasilkan data yang jelas. Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang acap kali juga menghasilkan data yang tidak jelas, karena DNA masing-masing pelaku akan mengkontaminasi satu sama lain. Tetapi beberapa teknik tentu saja bisa meminimalisir. Kasus pemerkosaan WNI di malaysia yang terakhir terjadi ditengarai dilakukan oleh lebih dari satu orang, dan masih tetap bisa dihasilkan data yang well interpretable.  Teknik penanganan sampel menjadi titik kritis dalam kasus-kasus seperti ini.

Dari tiga kemungkinan hasil tersebut, DNA profiling tidak hanya bisa digunakan untuk membuktikan si tersangka melakukan kejahatan, tetapi juga sebaliknya, membuktikan ketidakterlibatan si tersangka. David Lee Wiggins, yang sudah mendekam dalam penjara di negara bagian Texas, AS, atas tuduhan kasus pemerkosaan, dibebaskan setelah mendekam dipenjara lebih dari dua dekade, ketika uji DNA yang dilakukan belakangan munjukan hasil yang tidak konsisten dengan DNA profiling Wiggins. Hakim negara bagian tersebut kemudian membebaskan Wiggins di beberapa bulan lalu dan merehabilitasi namanya dari tuduhan kejahatan sebelumnya. Sebaliknya, kejahatan pelaku pemeroksaan Ronald White dari Baltimore, AS, justru terungkap ketika uji DNA dilakukan. Padahal saat itu White sudah hepi-hepi karena merasa sudah terbebas. Dari dua contoh kasus tersebut, tidak heran jika di berbagai negara mewajibkan DNA profiling dalam proses forensik yang dilakukan oleh pihak berwajib.

Dan tentu saja kita juga berharap, uji DNA yang sudah dilakukan aparat keamanan Malaysia, bisa mengejar pelaku pemerkosaan warga negara kita, dan membebaskan yang tidak bersalah.

DNA never lies...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun