Pada tulisan sebelumnya, yang berjudul 'Merdeka sih, tapi kok banyak aturan?' saya mengatakan bahwa intinya kurikulum merdeka, tetap bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Karena kesuksesan suatu sistem pendidikan tidak mutlak dari kurikulumnya, namun dari niat kita sebagai pendidik untuk mewujudkan terciptanya kecerdasan untuk generasi penerus bangsa. Kurikulum hanyalah pakem yang mengingatkan kita apa yang perlu dilakukan sebagai pendidik, karena perubahan perilaku peserta didik seiring dengan berkembangnya zaman.
Nah, berkaitan dengan perkembangan zaman, kita semua tahu bahwa globalisasi yang sudah sampai pada revolusi industry 4.0 dan menuntut digitalisasi pendidikan merata di seluruh Indonesia.Â
Faktanya, digitalisasi pendidikan hanya bisa dilakukan di kota yang sudah memiliki kapabilitas ke arah pengembangan digitalisasi pendidikan. Bagaimana dengan di pedesaan? Kebetulan sekali, saya mengajar di salah satu desa di selatan jawa barat yang memang untuk akses internet saja masih sulit, kurangnya SDM untuk mengajar di desa.Â
Pemerintah bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pendidikan dengan adanya pengangkatan honorer, kemudian ada PPPK sebagai pengganti PNS, dan program lainnya yang relevan dengan tujuan tersebut, termasuk di dalamnya kurikulum merdeka. Tapi sebelum masuk ke dalam kurikulum merdeka, saya ingin mengingatkan teman-teman pendidik tentang pemerataan pendidikan.
Jadi perlu diketahui, bahwa banyak sekali yang mengundurkan diri dari PPPK karena 'salah pilih' sekolah. Tentu saja tidak ada masalah dengan itu, misalnya, ada yang ingin dekat dengan keluarga, tapi ternyata lokasi sekolah jauh dan akhirnya tidak jadi di ambil kesempatan ini.Â
Kemudian alasan lain, seperti ingin mendapatkan 'tunjangan besar' karena rumornya tunjangan PPPK sama dengan PNS. Masih banyak alasan lainnya yang saya sendiri tidak bisa menjabarkannya. Semua alasan itu manusiawi, dan sangat wajar.Â
Namun saya menyoroti begini, sadarkah bapak ibu yang tidak jadi mengambil kesempatan itu justru menyakiti peringkat di bawahnya karena tidak bisa masuk formasi? Atau begini, ada sekolah di pelosok yang hanya membuka 1 formasi, kemudian guru di sekolah tersebut kalah saing dengan competitor lainnya.Â
Namun, competitor lain yang peringkat pertama, tidak jadi mengambil kesempatannya karena alasan 'kejauhan'? Hilanglah harapan sekolah ingin menambah SDM dan tentu saja hilang kesempatan si guru sekolah induk untuk mengabdi di desanya. Terpikir kearah itukah?
Baiklah, masuk ke kurikulum merdeka. Kembali saya ingatkan bahwa kurikulum merdeka ini salah satu tujuannya untuk pemerataan pendidikan, jika SDM yang diharapkan sekolah di pedesaan tidak mau mengajar dan mendidik di pedesaan, padahal ada ketentuan kalau ASN siap ditempatkan dimanapun, bagaimana bisa kurikulum merdeka ini bisa terealisasi?Â
Oleh karenanya, kesiapan kurikulum merdeka, oh salah, kesiapan pendidik untuk implementasi kurikulum merdekalah yang perlu disiapkan. Bukan semata administrasinya, namun ada 6 poin penting yang perlu dimunculkan dalam pembelajaran dalam kurikulum merdeka.
Pertama, beriman, bertakwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Kedua bernalar kritis. Ketiga, mandiri. Keempat, kreatif. Kelima, gotong royong. Keenam, berkebhinekaan global.Â
Keenam poin tersebut merupakan kepribadian yang perlu dimunculkan dalam seorang pelajar dan disebut dengan Profil Pelajar Pancasila. Ya, kita semua sebenarnya diingatkan untuk memprioritaskan profil Pancasila yang sepertinya semakin terkikis dari diri generasi penerus bangsa.Â
Di pedesaan, masih sangat kental terasa, untuk poin pertama, ketiga, kelima dan keenam. Bagaimana dengan poin kedua dan keempat? Kedua poin tersebut perlu dibangun dan diupayakan oleh SDM yang mau mengabdikan dirinya untuk pemerataan pendidikan.
Jangan lupakan tiga pilar pembangunan nasional, pendidikan, Kesehatan dan perekonomian. Mana yang paling penting di antara ketiganya, maka akan terjawab pendidikan yang perlu berjalan terlebih dulu, dengan demikian perekonomian dan Kesehatan akan meningkat dengan sendirinya.Â
Asusmsi saya begini, dengan adanya pemerataan pendidikan yang mulai diingatkan kembali melalui kurikulum merdeka, maka akan lahir ahli-ahli di bidang perekonomian dan Kesehatan.Â
Dengan bekal pendidikan yang baik, dan sesuai dengan profil pelajar Pancasila, maka perekonomian yang dijalankan akan mensuplai dana lebih untuk di bidang pendidikan, dan tentu saja, akan memberikan dampak signifikan dalam hal peningkatan fasilitas dan kualitas Kesehatan. Sudah bisa terbayang bagaimana hebatnya bangsa kita kelak jika ini terwujud?
Sebagai penutup, kurikulum di Indonesia memang terus berubah, namun tujuannya tetap satu, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kurikukum merdeka hadir untuk mengingatkan kita bahwa peserta didik kita, generasi penerus bangsa yang akan menjadi bonus demografi sekian tahun kemudian, perlu diingatkan kembali kepada jati dirinya sebagai pelajar yang sudah membawa DNA profil Pancasila. Berketuhanan dengan akhlak mulia, bernalar kritis, kreatif, mandiri, berkebhinekaan dan tentu saja, gotong royong. Salam Pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H