Akhir Karier Tiga Serangkai:
Selama dipimpin oleh Speelman maka VOC sebetulnya juga harus mengalami kerugian besar. Selain harus membayar biaya perang yang besar, hasil penjualan tekstil mereka selama tahun 1681-1684 justru turutbmenurun drastis sampai 90%. Alasannya, karena para pedagang swasta mulai berani mengganggu monopoli yang dilakukan VOC. Bahkan monopoli opium di wilayah Aceh juga tidak lagi dapat berjalan dengan efektif. Di lain pihak, kekuatan dan kekayaan yang tampak dimiliki oleh ketiga orang tokoh dalam militer VOC justru menjadi besar.
Pimpinan VOC rupanya sudah terlambat untuk menyadari adanya jerat di dalam kekuatan militer yang dipakai sampai sejauh saat itu. Ketika kemudian berusaha untuk menyita sebagian harta-benda yang dimiliki oleh Speelman, Â sayangnya Speelman yang cerdik itu justru sudah mengantisipasi hal tersebut dan lebih dulu dan berhasil melarikan sebagian hartanya ke Negeri Belanda.
Walaupun kemudian Speelman sendiri meninggal di Batavia pada tanggal 11 Januari 1684 karena penyakit yang dideritanya, VOC tetap tidak mampu memperbaiki kondisi keuangannya. Ternyata bahwa kebiasaan korupsi di VOC justru tidak hanya terbatas pada Speelman, karena hampir seluruh pengurus VOC berbagai tingkat juga telah terlibat dalam korupsi besar-besaran. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan VOC harus dinyatakan tikar pada tahun 1799.
Sementara itu, Kapitan Jonker juga turut menjadi surut, yaitu bahwa setelah Gubernur Jendral Cornelis Speelman pada tahun 1684 meninggal dunia, pengaruh Jonker yang terlalu besar juga telah menimbulkan rasa tidak suka dari pimpinan baru VOC di Batavia saat itu, yaitu Isaac de l'Ostale de Saint Martin. Menurut Gubernur Isaac, Kapiten Jonker dianggap tidak sudah tidak bisa dikendalikan. Karena itu, kekuasaan Jonker mulai dikurangi, dimana seorang Kapitan Buleleng yang asli keturunan Bali dan yang semula juga bekas budak Jonker, dirinya diperintahkan VOC untuk memisahkan kelompok perkampungan dari pasukan Jonker berdasarkan suku-suku mereka.
Puncak konflik yang terjadi yaitu terjadi pada tahun 1689, ketika Jonker dituduh akan memberontak dan segera pula terjadi pertempuran antara Jonker dan pengikutnya di Pejongkoran melawan pasukan VOC dan pendukungnya. Singkatnya, di sekitar Sungai Marunda, Kapiten Jonker dan pengikutnya terkepung dan ditembaki pasukan VOC. Letnan Holcher sebagai pimpinan pun berhasil membacok leher Jonker dengan pedangnya pada 24 Agustus 1689.
Sementara itu pada akhir abad 17, kondisi kesehatan Arung Palakka menurun sehingga tidak bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya. Kesehatan Arung Palakka terus menurun, meskipun sudah mendapat pengobatan dari dokter. Pada akhirnya, tepat tanggal 6 April 1696 ia meninggal dunia dan dimakamkan berdampingan dengan Karaeng Pattingaloang di daerah Bontobiraeng.
Â
Mengapa jenazah La Tenritatta Arung Palakka dapat dimakamkan di Bonto-biraeng, di wilayah Kerajaan Gowa? Ternyata, selain sesuai dengan pesan/wasiat yang ditinggalkan sebelum meninggal dunia, juga dapat diperoleh keterangan tentang adanya hubungan kekeluargaan yang terjalin antara Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin.Â
Hubungan itu terasa dekat, dimana istri  kedua dari Arung Palakka, yaitu Imengkawani Daeng Talele, ternyata adalah adik dari Sultan Hasanuddin. Selain itu, sekaligus sebagai tambahan keterangan, rupanya ada fakta pula bahwa di antara Gowa dan Bone memang sudah tidak ada perselisihan.
Namun demikian, pokok penting yang dapat dipetik dari kisah ini adalah tentang besarnya kepentingan politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan keuangan ekonomi maupun dalam memenangkan perebutan kekuasaan.
Catatan: Data yang berkaitan dengan ke-3 tokoh itu diambil dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H