Mohon tunggu...
Cahyana Endra Purnama
Cahyana Endra Purnama Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mendapatkan pendidikan dasar sampai menengah di Yogyakarta, lulus sarjana ekonomi di UGM, melanjutkan program master di Wheaton MI, dan program doktor di Biola University California. Sekarang masih menjadi dosen di PTS di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejak Masa Penjajahan VOC Ternyata Sudah Ada Korupsi dan Nepotisme

29 Maret 2024   21:59 Diperbarui: 29 Maret 2024   21:59 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PELIKNYA EKONOMI DI MASA PENJAJAHAN BELANDA: ADA JUGA PERSEKUTUAN TIGA TOKOH NUSANTARA YANG JUSTRU MENDUKUNG BATAVIA ABAD KE 17

VOC sebagai sebuah usaha dagang yang didukung oleh pemerintah Belanda pada waktu cerita ini terjadi memang sedang giat memperluas jajahannya. Namun di dalam rangka perluasan itu rupanya ada juga orang-orang yang berasal dari kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara yang bersedia membantu, karena masing-masing juga memiliki kepentingan tersendiri. Contoh para pembelot itu dapat diceritakan sebagai berikut:

Untuk memperkuat kedudukan politiknya di Batavia, Arung Palakka yang berasal dari Gowa Sulawesi Selatan berhasil membangun persekutuan bersama dua tokoh di Batavia, yaitu seorang pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman, dan seorang Ambon yang gagah perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya berupaya membangun persekutuan rahasia dan turut memegang kendali atas segala langkah yang ditempuh oleh VOC pada masanya, termasuk ketika berusaha membangun kekuatan monopoli perdagangan atas emas dan hasil bumi.

Para pimpinan VOC di Batavia pada abad ke-17 itu rupanya juga bersifat licik. Artinya, demi mencapai tujuannya, segala cara akan dilakukan, baik dengan membujuk, menipu, memecah-belah dan termasuk kekerasan sekalipun. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuijckker, kekerasan adalah senjata ampuh untuk memperkokoh kedudukan VOC di Nusantara.

Dalam kaitan dengan semua itu, Speelman yang semula adalah petinggi VOC, tetapi yang kemudian agak dibuang jauh dari pergaulan di kantor VOC, rupanya juga segera menjalankan taktik. Dia yang semula tersisih dari pergaulan di kantornya karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap pada saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665, justru seperti menemukan jalan untuk kembali menancapkan pengaruhnya dengan menggalang persekutuan dengan orang-orang penting di Nusantara.

Bersamaan dengan niatnya itu maka bertemulah dengan seorang tokoh dari Kerajaan Gowa. Sebetulnya, Arung Palakka adalah seorang pangeran di wilayah Bone yang hidup terjajah dan dalam tawanan Kerajaan Gowa. Dia kemudian memberontak dan bersama pengikutnya berhasil melarikan diri ke Batavia. Dalam pelarian itulah maka VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan tempat tinggal di wilayah  di pinggiran Kali Angke. Mereka boleh hidup dan berdagang disana, sehingga kelompok serdadu Bone ini disebut To Angke atau orang Angke.
 
Sejalan dengan itu ada pula Kapiten Jonker, yang aslinya adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia dan pasukannya juga menyatakan bergabung dengan VOC dengan tujuan agar kelak dapat merebut kekuasaan di daerahnya.

Kisah selanjutnya tentang ketiga tokoh ini, yaitu Speelman, Arung Palakka dengan pasukan Bugis, dan Kapiten Jonker dengan pasukan Maluku (Ambon) memang mulai menunjukkan hasil. Kesatuan tentara yang dihimpun dan dipakai oleh VOC telah mulai berhasil menaklukan Nusantara di bagian Barat (Sumatera), Tengah (Jawa), dan Timur (Sulawesi).

Jadi, kesatuan dari mereka bertiga memang punya andil besar untuk turut mengantarkan VOC dapat melaju sampai pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuijkker. Tidak mengherankan kalau ketiga tokoh inipun lalu menjadi tulang punggung bagi kekuatan VOC pada masa itu. Masing-masing mempunyai pasukan dengan kekuatan besar yang bersifat loyal dan juga berani mati.

Hal inilah yang menyebabkan Maetsuijkker tidak berani menolak permintaan ketiganya, sebab jika tanpa bantuan dari ketiga orang ini maka VOC hanya mengandalkan tentara sewaan dari sejumlah bangsa jajahan lain, tetapi sebetulnya hanya bekerja demi upah dan dengan loyalitas rendah.

Dalam pada itu, Cornelis Speelman adalah seorang tokoh yang memang piawai dalam menjalankan politik adu domba atau "devide et impera." Pangeran Hasanuddin di Makassar,  Sultan Haji di Banten dan Amangkurat II di Keraton Mataram Yogyakarta pada akhirnya berhasil tumbang karena hasutan Speelman. Ketika itu, bersama Arung Palakka maka Speelman berani maju untuk melawan Sultan Hasanuddin, dan memaksanya tunduk dan harus menanda-tangani perjanjian Bongaya, 1657, sebuah perjanjian yang sangat merugikan Kesultanan Gowa.

Selanjutnya Speelman juga melakukan ekspansi ke tanah Jawa, yaitu bersama Kapitan Jonker untuk membantu Amangkurat II dalam rangka menumpas pemberontakan Trunojoyo yang berpusat di Madiun. Bantuan penuh pun digelontorkan Speelman kepada Amangkurat II. Hasilnya juga tidaklah sia-sia, karena setelah Amangkurat II berhasil memukul mundur pemberontakan Trunojoyo, maka Amangkurat II harus merelakan wilayahnya dikuasai VOC.
Begitu pula yang terjadi dengan Sultan Haji. Beberapa wilayah Banten segera jatuh kedalam kekuasaan VOC berkat akal licik dari Speelman yang dibantu Kapiten Jonker dan Arung Palakka.

Akhir Karier Tiga Serangkai:
Selama dipimpin oleh Speelman maka VOC sebetulnya juga harus mengalami kerugian besar. Selain harus membayar biaya perang yang besar, hasil penjualan tekstil mereka selama tahun 1681-1684 justru turutbmenurun drastis sampai 90%. Alasannya, karena para pedagang swasta mulai berani mengganggu monopoli yang dilakukan VOC. Bahkan monopoli opium di wilayah Aceh juga tidak lagi dapat berjalan dengan efektif. Di lain pihak, kekuatan dan kekayaan yang tampak dimiliki oleh ketiga orang tokoh dalam militer VOC justru menjadi besar.

Pimpinan VOC rupanya sudah terlambat untuk menyadari adanya jerat di dalam kekuatan militer yang dipakai sampai sejauh saat itu. Ketika kemudian berusaha untuk menyita sebagian harta-benda yang dimiliki oleh Speelman,  sayangnya Speelman yang cerdik itu justru sudah mengantisipasi hal tersebut dan lebih dulu dan berhasil melarikan sebagian hartanya ke Negeri Belanda.

Walaupun kemudian Speelman sendiri meninggal di Batavia pada tanggal 11 Januari 1684 karena penyakit yang dideritanya, VOC tetap tidak mampu memperbaiki kondisi keuangannya. Ternyata bahwa kebiasaan korupsi di VOC justru tidak hanya terbatas pada Speelman, karena hampir seluruh pengurus VOC berbagai tingkat juga telah terlibat dalam korupsi besar-besaran. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan VOC harus dinyatakan tikar pada tahun 1799.

Sementara itu, Kapitan Jonker juga turut menjadi surut, yaitu bahwa setelah Gubernur Jendral Cornelis Speelman pada tahun 1684 meninggal dunia, pengaruh Jonker yang terlalu besar juga telah menimbulkan rasa tidak suka dari pimpinan baru VOC di Batavia saat itu, yaitu Isaac de l'Ostale de Saint Martin. Menurut Gubernur Isaac, Kapiten Jonker dianggap tidak sudah tidak bisa dikendalikan. Karena itu, kekuasaan Jonker mulai dikurangi, dimana seorang Kapitan Buleleng yang asli keturunan Bali dan yang semula juga bekas budak Jonker, dirinya diperintahkan VOC untuk memisahkan kelompok perkampungan dari pasukan Jonker berdasarkan suku-suku mereka.

Puncak konflik yang terjadi yaitu terjadi pada tahun 1689, ketika Jonker dituduh akan memberontak dan segera pula terjadi pertempuran antara Jonker dan pengikutnya di Pejongkoran melawan pasukan VOC dan pendukungnya. Singkatnya, di sekitar Sungai Marunda, Kapiten Jonker dan pengikutnya terkepung dan ditembaki pasukan VOC. Letnan Holcher sebagai pimpinan pun berhasil membacok leher Jonker dengan pedangnya pada 24 Agustus 1689.

Sementara itu pada akhir abad 17, kondisi kesehatan Arung Palakka menurun sehingga tidak bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya. Kesehatan Arung Palakka terus menurun, meskipun sudah mendapat pengobatan dari dokter. Pada akhirnya, tepat tanggal 6 April 1696 ia meninggal dunia dan dimakamkan berdampingan dengan Karaeng Pattingaloang di daerah Bontobiraeng.
 
Mengapa jenazah La Tenritatta Arung Palakka dapat dimakamkan di Bonto-biraeng, di wilayah Kerajaan Gowa? Ternyata, selain sesuai dengan pesan/wasiat yang ditinggalkan sebelum meninggal dunia, juga dapat diperoleh keterangan tentang adanya hubungan kekeluargaan yang terjalin antara Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin. 

Hubungan itu terasa dekat, dimana istri  kedua dari Arung Palakka, yaitu Imengkawani Daeng Talele, ternyata adalah adik dari Sultan Hasanuddin. Selain itu, sekaligus sebagai tambahan keterangan, rupanya ada fakta pula bahwa di antara Gowa dan Bone memang sudah tidak ada perselisihan.

Namun demikian, pokok penting yang dapat dipetik dari kisah ini adalah tentang besarnya kepentingan politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan keuangan ekonomi maupun dalam memenangkan perebutan kekuasaan.

Catatan: Data yang berkaitan dengan ke-3 tokoh itu diambil dari berbagai sumber.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun