Ulasan singkat ini hanya ingin membahas sajian tari Jawa klasik yang disebut dengan nama: Beksan Sang Adjisaka.Â
Tadi malam, 5 Februari 2023, para peserta yang terkait dengan bidang wisata memang diundang untuk menyaksikan salah satu pertunjukan seni untuk mengiring penutupan acara ASEAN Tourism Forum 2023, dengan mengambil tempat di Keraton Yogyakarta
Di dalam acara tersebut disajikan sebuah pagelaran yang menarik, yaitu pentas Tarian Sang Adjisaka, yang bagi sebagian warga masyarakat Indonesia (terutama dari kalangan pecinta budaya Jawa) tentu akan langsung mengingatkan pada Legenda Terciptanya Huruf Jawa.Â
Di dalam legenda itu, secara singkat dapat diingat tentang hadirnya Sang Adjisaka (artinya "utusan dari Yang Maha Tinggi) dalam menjalankan tugas untuk mengalahkan Raja Dewata Cengkar yang pada jaman dulu berkuasa di Tanah Jawa, tetapi dengan sifat yang bengis dan kejam.
Bentuk kekejaman itu memuncak ketika setiap hari harus ada santapan daging  manusia yang masih perjaka dan diambil dari kalangan penduduk. Untuk itulah maka muncul Sang Adjisaka, yang merelakan diri sebagai pengganti bagi korban santapan, namun yang kemudian justru dapat mengalahkan Dewata Cengkar yang jahat dan semena-mena tersebut.Â
Pementasan tari yang disebut sebagai "Beksan Ageng" (tarian khusus bagi Sang Raja di Yogyakarta) tersebut memang bukan untuk menyajikan kembali jalannya nuasa epik yang sangat dikenal di tengah masyarakat, melainkan hendak menyampaikan pesan agung di balik kemenangan Sang Adji Saka.
Jadi, penyajian seni tari yang khas seperti ini juga menjadi sebuah suguhan yang menarik, karena dikemas secara rapih untuk para peserta kongres dan sekaligus dihadiri juga oleh Sri Sultan HB-X dan GKR Hemas, sebagai tuan rumah dan sekaligus merupakan Raja di Keraton Yogyakarta pada saat ini.Â
Tarian ini tetap membuat para pemirsanya tekun mengikuti lantunan gerak dan irama yang terpadu, walaupun harus diperagakan selama sekitar 40 menit, karena memang ada pelajaran tentang kehidupan, yang ternyata juga digagas langsung oleh Sri Sultan Yogyakarta, yang sekaligus terkait dengan langkah-langkah mewujudkan makna Tahta untuk Rakyat.Â
Para penarinya, semua adalah laki-laki yang masih muda usia, terkesan gagah dan perkasa, serta berjumlah 10 orang, terbagi dalam 2 kelompok di kiri & kanan.
Uniknya para penari itu juga harus memakai kupluk (mahkota) putih, dimana ada 2 peraga yang mengenakan "kupluk pandega" yang berwarna hitam dan bergaris keemasan.
Kedua orang ini pun ternyata punya makna khusus, karena masing-masing memang berperan sebagai pemimpin pada kedua kelompok kiri & kanan, serta harus menampilkan gerak tari secara berdampingan dan dalam posisi reflektif, yaitu seakan-akan seperti berada di depan cermin.
Makna simbolis dari tata gelar para penari itu jelas ingin menunjukkan bahwa manusia (terutama laki-laki) adalah menjadi wujud tentang hakekatnya sebagai utusan Sang Ilahi untuk menjaga seluruh isi bumi ini.Â
Penyajian tari yang terbagi dalam 2 kelompok itu, masing-masing memiliki peran yang sama & seimbang, dimana prinsip "pajupat lima pancer" (kiblat 4 & 1 di pusat) harus selalu dijalani dengan penuh tanggung jawab sebagai para "ksatria" yang penuh semangat dan tetap gagah berjuang.
Gerakan-gerakan yang disajikan rapi pun mencerminkan sifat dasar tersebut, serta selalu berpusat pada sentralitas kedua pemimpin (pandega) masing-masing.Â
Dalam kaitannya untuk hidup di Nusantara, terutama mengingat pada pilihan untuk menjalani Dasar Ideologi Berbangsa & Bernegara, yaitu Pancasila, maka jumlah penari dalam kelompok ber-lima dalam satu kesatuan itu memang jelas juga diperagakan.
Penari yang bermahkota (kupluk) hitam itu selalu menjadi pusat dari segala "kiprah" Â kehidupan manusia sebagai penjaga Tanah Air, baik di saat yang tenteram maupun di waktu ada tantangan, yang secara reflektif dilambangkan dalam posisi kanan & kiri.Â
Hal itu dapat menjadi pesan yang sangat mendasar, karena ketika keempat bentuk kehidupan ber-Pancasila itu selalu dipusatkan pada makna berketuhanan yang menyembah dan berserah kepada Sang Maha Kuasa, yang juga merupakan Sang Pencipta Langit dan Bumi, maka aneka ragam persoalan yang dihadapi dalam hidup pastilah akan selalu dapat diselesaikan dan bahkan terus dapat dihayati dalam irama kehidupan yang harmonis, aman-tenteram, sejahtera dan berbahagia untuk selamanya.
Secara keseluruhan, peragaan tari yang menghabiskan waktu sajian yang cukup lama itu menjadi tidak membosankan karena ada dinamika gerak & pengiring gending, ada pula peran Sang Dalang maupun senandung Pesinden yang melantunkan pesan kehidupan.
Perpaduan gerak, irama & ragam nada yang konsisten menjaga keindahan, semua itu juga  dikembalikan lagi pada pemahaman tentang hadirnya Sang Adjisaka ketika diutus ke Tanah Jawa untuk mengalahkan Dewata Cengkar, si penguasa jahat yang mendatangkan laknat.Â
Syukurlah bahwa pesan kebudayaan yang tradisional itu tetap dapat dijaga dengan baik & mempesona justru di tengah gencarnya budaya asing, yang hadir bertubi-tubi dalam kenyataan sehari-hari pada saat ini.Â
Untuk sahabat-sahabat yang kebetulan sama-sama menyaksikan pentas itu, kiranya juga akan berkenan membagikan wawasannya disini, agar kita pun dapat saling berbagi dan tetap saling mendukung dalam upaya selalu menguatkan jati diri di dalam hidup ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H