Kedua orang ini pun ternyata punya makna khusus, karena masing-masing memang berperan sebagai pemimpin pada kedua kelompok kiri & kanan, serta harus menampilkan gerak tari secara berdampingan dan dalam posisi reflektif, yaitu seakan-akan seperti berada di depan cermin.
Makna simbolis dari tata gelar para penari itu jelas ingin menunjukkan bahwa manusia (terutama laki-laki) adalah menjadi wujud tentang hakekatnya sebagai utusan Sang Ilahi untuk menjaga seluruh isi bumi ini.Â
Penyajian tari yang terbagi dalam 2 kelompok itu, masing-masing memiliki peran yang sama & seimbang, dimana prinsip "pajupat lima pancer" (kiblat 4 & 1 di pusat) harus selalu dijalani dengan penuh tanggung jawab sebagai para "ksatria" yang penuh semangat dan tetap gagah berjuang.
Gerakan-gerakan yang disajikan rapi pun mencerminkan sifat dasar tersebut, serta selalu berpusat pada sentralitas kedua pemimpin (pandega) masing-masing.Â
Dalam kaitannya untuk hidup di Nusantara, terutama mengingat pada pilihan untuk menjalani Dasar Ideologi Berbangsa & Bernegara, yaitu Pancasila, maka jumlah penari dalam kelompok ber-lima dalam satu kesatuan itu memang jelas juga diperagakan.
Penari yang bermahkota (kupluk) hitam itu selalu menjadi pusat dari segala "kiprah" Â kehidupan manusia sebagai penjaga Tanah Air, baik di saat yang tenteram maupun di waktu ada tantangan, yang secara reflektif dilambangkan dalam posisi kanan & kiri.Â
Hal itu dapat menjadi pesan yang sangat mendasar, karena ketika keempat bentuk kehidupan ber-Pancasila itu selalu dipusatkan pada makna berketuhanan yang menyembah dan berserah kepada Sang Maha Kuasa, yang juga merupakan Sang Pencipta Langit dan Bumi, maka aneka ragam persoalan yang dihadapi dalam hidup pastilah akan selalu dapat diselesaikan dan bahkan terus dapat dihayati dalam irama kehidupan yang harmonis, aman-tenteram, sejahtera dan berbahagia untuk selamanya.
Secara keseluruhan, peragaan tari yang menghabiskan waktu sajian yang cukup lama itu menjadi tidak membosankan karena ada dinamika gerak & pengiring gending, ada pula peran Sang Dalang maupun senandung Pesinden yang melantunkan pesan kehidupan.
Perpaduan gerak, irama & ragam nada yang konsisten menjaga keindahan, semua itu juga  dikembalikan lagi pada pemahaman tentang hadirnya Sang Adjisaka ketika diutus ke Tanah Jawa untuk mengalahkan Dewata Cengkar, si penguasa jahat yang mendatangkan laknat.Â
Syukurlah bahwa pesan kebudayaan yang tradisional itu tetap dapat dijaga dengan baik & mempesona justru di tengah gencarnya budaya asing, yang hadir bertubi-tubi dalam kenyataan sehari-hari pada saat ini.Â
Untuk sahabat-sahabat yang kebetulan sama-sama menyaksikan pentas itu, kiranya juga akan berkenan membagikan wawasannya disini, agar kita pun dapat saling berbagi dan tetap saling mendukung dalam upaya selalu menguatkan jati diri di dalam hidup ini