Mohon tunggu...
Cahyana Endra Purnama
Cahyana Endra Purnama Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mendapatkan pendidikan dasar sampai menengah di Yogyakarta, lulus sarjana ekonomi di UGM, melanjutkan program master di Wheaton MI, dan program doktor di Biola University California. Sekarang masih menjadi dosen di PTS di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akibat Salah Langkah, Krisis di Eropa Makin Parah

5 Februari 2023   18:52 Diperbarui: 7 Februari 2023   03:00 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengunjuk rasa menuntut kenaikan upah dan langkah-langkah lain untuk mengurangi kenaikan inflasi di Paris, Perancis, Minggu (16/10/2022). (AP PHOTO/AURELIEN MORISSARD via KOMPAS.com)

Uni Eropa pada saat ini tampak mengalami dilema yang besar, sulit untuk terus maju melangkah dan sekaligus akan menjadi malu jika harus berbalik. 

Utamanya, para pemimpin di negara-negara itu tentu menjadi bingung untuk memilih jalan berganda di depan mereka yang cukup sulit, yaitu selain dihadapkan langsung pada tekanan NATO untuk menghadang Rusia.

Tetapi bersama juga sekaligus merupakan beban berat karena sedang mengalami krisis energi dan sekaligus masih harus mengalami laju inflasi yang begitu tinggi. 

Di lain pihak, jika harus melakukan langkah untuk pemulihan, setidaknya agar kondisi ekonomi dapat kembali ke tingkat aman.

Hal tersebut juga menjadi sangat tidak mudah, karena kondisi kehidupan warga masyarakat yang menyesakkan itu masih diperberat dengan adanya gelombang demonstrasi, yang kenyataannya memang terus makin memojokkan kebijakan para petinggi negaranya dalam membela Ukrania dan sekaligus mengalami kemacetan dalam roda industri dalam negeri. 

Beban kepentingan politik yang berat itu dapat disebut sebagai akibat dari melakukan pilihan awal yang salah, kurang perhitungan dan terasa egosentris. 

Artinya, dasar-dasar anggapan untuk menekan Rusia, yang bahkan sudah dilakukan sejak sebelum penyerangan pada Februari 2022, pada kenyataannya justru bukan merupakan pilihan yang tepat, bahkan seperti condong membela kepentingan Amerika Serikat, walaupun sebetulnya bukan merupakan ancaman yang signifikan. 

Kondisi pemulihan dari tekanan pandemi Covid-19 yang sebetulnya memerlukan kebersamaan dari berbagai negara dengan kekuatan besar justru seperti disingkirkan begitu saja, karena memang ada keinginan untuk mempertahankan hegemoni dunia yang dipegang Amerika Serikat dan didukung Eropa itu malah dipilih dengan strategi yang kurang tepat. 

Dengan demikian, langkah tersebut dapat dikatakan seperti melakukan serangan kepada fatamorgana atas ancaman Rusia maupun tekanan bisnis dari negara China.

Kekuatan yang digerakkan untuk menghadapi bayang-bayang ancaman yang masih bersifat warisan stereotip, yaitu antara Barat dan Timur, pada kenyataannya seperti telah banyak dicurahkan untuk membuat lubang perlindungan yang salah. 

Lebih dari itu, pada tahap selajutnya bentuk strategi penyerangan itu juga malah harus menjadi semakin berat, yaitu ketika para pemimpin Uni Eropa malah membuka front persengketaan dagang baru, yang seharusnya juga tidak perlu atau setidaknya dapat ditunda untuk jangka waktu cukup panjang, yaitu ketika berhadapan dengan Indonesia.

Dengan langkah yang sudah terseok-seok seperti itu, yang secara mudah diibaratkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga, barangkali saja merupakan sebuah salah perhitungan juga, karena ragam tanggapan atas krisis yang cepat berkembang itu juga ditanggapi secara berbeda oleh warga masyarakatnya. 

Rangkaian demonstrasi di berbagai kota di Inggris, Perancis, Yugoslavia dan bahkan langsung di Brussel sebagai pusat kebijakan Ekonomi Eropa telah merebak begitu cepat dan melumpuhkan banyak kegiatan ekonomi negara. 

Jadi, semua itu benar merupakan akibat buruk yang tidak cukup diperhitungkan, bahkan juga telah diikuti dengan segala rangkaian akibat yang akan memperburuk kondisi mereka. 

Jelaslah bahwa pada saat ini negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa benar-benar itu berada pada titik yang sangat sulit untuk dapat keluar dari jebakan yang digalinya sendiri, alias tergencet di dalam blunder yang membawa kesengsaraan panjang. 

Warga masyarakat tidak berhenti menjerit karena tercekik oleh laju inflasi yang tinggi dan sekaligus merasakan tekanan udara dingin dan keterbatasan persediaan pangan, sementara para pemimpinan negaranya masih tetap bingung untuk terus melangkah maju atau mundur dan menutup rasa malu. 

Singkat kata, di samping adanya tanda-tanda akan runtuhnya pertahanan ekonomi negara, ternyata mereka pada saat ini sekaligus harus mengalami kondisi kekurangan energi maupun keterbatasan rantai pasokan bahan industri yang mencekam. 

Tidak mengherankan jika para warga masyarakatnya juga tidak akan berhenti untuk perasaan, yaitu mengingat bahwa atap pertahanan energi maupun ekonomi mereka itu terasa benar-benar sudah runtuh sebagai akibat adanya balasan yang bertubi-tubi dari pihak Rusia, serta diperparah oleh kemacetan jalur suplai perdagangan dari Indonesia. 

Sebetulnya, dalam keadaan seperti itu, sudah seharusnya juga ada campur-tangan yang tegas dari Kantor PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) di New York agar segera mewujudkan penggantian serangan ke Ukraina dan sekaligus mengingatkan agar Amerika Serikat maupun negara-negara Eropa tidak lagi perlu menerapkan sanksi ekonomi yang salah arah itu. 

Jika kondisi seperti ini hanya dibiarkan saja maka jelas bahwa krisis di Eropa akan menjadi semakin dalam dan menyiksa penduduk yang sampai sejauh ini sudah mengalami kegetiran hidup yang tidak terbayangkan dalam keseharian mereka. 

Bahkan dapat saja akan timbul kondisi yang lebih menegangkan lagi ketika di titik batas keterbatasan suplai senjata ke Ukrania maupun kejengkelan Rusia, pada akhirnya akan meletus juga senjata nuklir yang hanya mendatangkan mala petaka bagi seluruh dunia.

Dari pihak Indonesia juga harus dapat kembali berperan dalam mewujudkan makna perdamaian dunia, yaitu sejalan dengan tugas mulia yang tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945, maupun dalam kaitannya sebagai bagian dari peran sebagai Ketua G-20. 

Barangkali akan lebih baik untuk kembali mengundang sebuah bentuk KTT (Konperensi Tingkat Tinggi) bersama PBB, apalagi terkait dengan peran sebagai anggota Dewan Keamanan, yang secara khusus agar ketegangan di Eropa dalam kaitannya dengan Rusia justru segera dihentikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun