“Terimakasih… tak apa”. gumamku.
-------]©[-------
“Mas tak pernah benci? Bahkan saat segala tentang Mas kuhapus? Kuputuskan segala akses komunikasi antara aku dan Mas saat itu?” binar matanya sekali lagi menghujam ke kedalaman mataku.
“Dik…”. Kubalas genggaman erat tangannya. Lagi, kulengkungkan senyum, tak ingin bidadari di sampingku ini lama merasai salah.
"Mas tidak pernah sedikitpun benci".
“Adik tahu, dulu, Mas mendekatimu tidak karena apa-apa. Tidak karena kau cantik, tidak karena kau kaya, tidak juga karena kau dari keluarga terpandang…”
“Mas waktu itu hanya jatuh cinta dengan kerudungmu. Kau tutupi apa yang hanya hak mahram-mu untuk melihatnya. Kau perisai-i segala kecantikanmu dengan kerudungmu itu”.
“Dengan kerudungmu, kau tutupi auratmu, hal yang akan selalu indah dimata lelaki. Dengan kerudungmu kau jaga pandanganmu. Dengan kerudungmu kau jaga sikap-sikap tak pantas bagi seorang muslimah”.
“Dan, karena kerudungmu itu… Mas yakin, kerudungmu itulah alasan kau memutuskan segala komunikasi dengan Mas. Kau yang sudah tahu tentang perasaan Mas kepadamu, perasaan yang tak boleh kau sambut karena tidak sejalan dengan kerudung yang kau pakai. Hubungan yang mungkin akan terjalin yang bisa menyalahi aturan kerudung cantikmu itu. Jadi kenapa Mas harus benci jika karena kerudungmu itu kau tak acuhkan Mas? kau putuskan segala akses komunikasi dengan Mas? Kenapa Mas harus benci? Bukankah Mas jatuh cinta juga karena kerudungmu?”.
“Dan, tahukah Dik. Saat ini Mas menjadi yang paling bahagia di dunia. Satu-satunya orang yang bisa mensyukuri anugerah Tuhan yang ada di balik kerudungmu”.
“Terimakasih telah menjaganya”.
“Mas mencintaimu karena Allah”.