Mohon tunggu...
Cahyadi Kurniawan
Cahyadi Kurniawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Buruh kerah biru tinggal di Solo.

Tukang sinau.

Selanjutnya

Tutup

Politik

BBM Naik, Lalu?

18 Juni 2013   07:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:51 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa dipastikan naik. Namun, pernyataan pro dan kontra masih terus menghujam deras. Penolakan kenaikan harga BBM memang sudah sering terjadi di negeri ini. Massa penolak seakan ingin memanfaatkan kelemahan pemerintah (kelemahan SBY?) agar harga BBM batal naik sebagaimana sebelumnya terjadi.

Dalam pandangan saya, kedua belah pihak menyatakan butuh untuk dinaikkan dan butuh tidak menaikkan harga BBM memiliki alasan logis. Yang saya sayangkan adalah cara melakukan penolakan yang seakan tak memiliki dampak di mata DPR dan pemerintah.

Saya teringat kembali pada masa kolonial Belanda, ada sebuah massa yang berani melakukan protes kepada kolonial. Protes yang dilakukan waktu itu adalah mereka berhenti membayar pajak kepada Belanda. Massa tersebut yakin, mereka masih bisa bertahan hidup meski tanpa mematuhi pemerintah Belanda.

Lalu, Belanda pun tak bisa melakukan apa-apa. Karena toh tetap mereka kukuh tak membayar pajak. Konon, massa itu adalah massa pendukung sejati Soekarno. Mereka rela memberikan apa saja asal yang meminta atau yang menyuruh itu adalah Soekarno. Kita mengenal massa itu adalah masyarakat Samin. Kebersahajaan masyarakat Samin bisa tergambar jelas pada film "Lari dari Blora" dengan tokoh kawakan W.S. Rendra.

Saya tidak akan membahas bagaimana Samin dalam film tersebut. Namun, ada hal yang bisa ditiru pada gerakan ala Samin tersebut. Saya menyebut bahwa gerakan itu bisa masuk ke dalam ranah civil disobedience (pembangkangan sipil).

Fenomena civil disobedience belakangan ini mengalami penguatan. Pada pilkada di beberapa daerah, massa abstain (golput) cenderung meningkat. Bahkan, pada pemilihan kepada desa atau lurah, tak sedikit dijumpai kotak kosong menang. Kendati dilakukan pengulangan pemilihan, kotak kosong (yang biasanya ada karena jumlah kandidat tak memenuhi ketentuan) tetap saja menang. Penduduk desa bahkan tak percaya lagi mereka memiliki pemimpin di desanya.

Lalu, dalam hemat saya, semua orang di negeri ini seakan jenuh dengan keadaan yang menyelimuti mereka. Mereka tak ingin kesengsaraan yang ada akan ditambah lagi dengan kesengsaraan berikutnya sebagai dampak dari kenaikan BBM. Keresahan itu bisa saya pahami.

Toh, jika negera ini bermimpi bisa menjadi negara kesejahteraan, saya pikir negeri ini akan bangkrut lebih cepat dari yang kita duga. Negara ini tengah berjuang untuk mendapatkan kembali kejayaan masa silam seperti kejayaan masa Sriwijaya atau Majapahit. Kendati, kuat kemungkinan juga untuk gagal.

Yang akan saya tekankan di sini adalah model gerakan penolakan yang nyaris tanpa dampak bagi pemerintah dan DPR. Dengan demikian, sudah selayaknya massa penolak kenaikan harga BBM mengubah model gerakan ini menjadi semacam pembangkangan sipil yang sistemik.

Secara sederhana, jika Samin pada masa itu bisa membangkang kepada pihak Belanda untuk tidak membayar pajak, mengapa massa kali ini tidak? Mudah saja untuk meruntuhkan negeri ini. Berhentilah bekerja selama satu minggu secara masif. Dan negeri ini akan lumpuh. Tentu ini membutuhkan solidaritas tinggi sebagaimana solidaritas yang dimiliki masyarakat Samin.

Jika itu sulit, ada banyak alternatif hikmah dari kenaikan BBM. Sudah saatnya kita menghidupkan kembali angkutan umum atau membiasakan kembali ke tempat kerja, kampus, pasar dengan berjalan kaki atau bersepeda. Sejauh yang saya amati, banyak angkutan umum tak berpenumpang di jalan raya. Sedangkan, setiap pagi dan sore hari, jalan raya dijejali ribuan kendaraan roda dua dan roda empat dengan hanya 1 penumang.

Disadari atau tidak, penyakit eksklusivisme berkendara tengah merasuk ke dalam setiap kelas menengah dan atas Indonesia. Setiap manusia seakan ingin satu manusia satu kendaraan dengan waktu tempuh cepat dan nyaman. Saya curiga, apa faktor ini yang mendorong manusia untuk "cinta" BBM dengan menggunakan motor dan mobil sendirian? Sehingga menuntut agar BBM tetap murah.

Kenaikan harga sembako akan menyusul setelah kenaikan harga BBM. Apalagi, penduduk Indonesia yang dominan mengonsunsi nasi sebagai makanan pokok pasti bergantung pada harga dan pasokan beras. Komoditas satu ini menjadi penentu jutaan nyawa orang Indonesia.

Menyikapi hal itu, mengapa kita tidak membuat gerakan mengurangi konsumsi beras dengan beralih ke jagung, ketela, ubi, dan sebagainya. Toh mereka memiliki kandungan gizi yang sama dengan beras sebagai penghasil karbohidrat.

Jika banyak politisi empati kepada mereka yang mengonsumsi nasi aking, apa hal serupa juga bakal terjadi pada jagung, ketela, ubi, dkk? Sulit menebak karena banyak kepentingan berkelindan. Namun, gerakan-gerakan ini menjadi alternatif menyikapi pascakenaikan harga BBM.

Masih banyak alternatif menyikapi pascakenaikan BBM. Yang dibutuhkan penduduk Indonesia adalah solidaritas dan keteguhan terhadap apa yang diyakininya. Menolak kenaikan harga BBM maupun menyetujui kenaikan tidak menjadi masalah. Sebab, dua-duanya memiliki kepentingan.[]

sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun