Disadari atau tidak, penyakit eksklusivisme berkendara tengah merasuk ke dalam setiap kelas menengah dan atas Indonesia. Setiap manusia seakan ingin satu manusia satu kendaraan dengan waktu tempuh cepat dan nyaman. Saya curiga, apa faktor ini yang mendorong manusia untuk "cinta" BBM dengan menggunakan motor dan mobil sendirian? Sehingga menuntut agar BBM tetap murah.
Kenaikan harga sembako akan menyusul setelah kenaikan harga BBM. Apalagi, penduduk Indonesia yang dominan mengonsunsi nasi sebagai makanan pokok pasti bergantung pada harga dan pasokan beras. Komoditas satu ini menjadi penentu jutaan nyawa orang Indonesia.
Menyikapi hal itu, mengapa kita tidak membuat gerakan mengurangi konsumsi beras dengan beralih ke jagung, ketela, ubi, dan sebagainya. Toh mereka memiliki kandungan gizi yang sama dengan beras sebagai penghasil karbohidrat.
Jika banyak politisi empati kepada mereka yang mengonsumsi nasi aking, apa hal serupa juga bakal terjadi pada jagung, ketela, ubi, dkk? Sulit menebak karena banyak kepentingan berkelindan. Namun, gerakan-gerakan ini menjadi alternatif menyikapi pascakenaikan harga BBM.
Masih banyak alternatif menyikapi pascakenaikan BBM. Yang dibutuhkan penduduk Indonesia adalah solidaritas dan keteguhan terhadap apa yang diyakininya. Menolak kenaikan harga BBM maupun menyetujui kenaikan tidak menjadi masalah. Sebab, dua-duanya memiliki kepentingan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H