Di era digital saat ini, media sosial adalah bagian penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Platform seperti Instagram, Facebook, dan Twitter tidak hanya memungkinkan kita terhubung dengan teman dan keluarga, namun juga memengaruhi cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan bahkan memandang diri sendiri. Namun, ada sisi gelap dari kenyamanan ini yang terkadang diabaikan: konsekuensi psikologis yang sangat besar.
Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, beberapa penelitian menunjukkan bahwa interaksi online dapat menimbulkan emosi cemas, putus asa, dan kesepian. Fenomena perbandingan sosial di dunia maya seringkali membuat masyarakat merasa tidak mampu atau tidak memenuhi syarat untuk mencapai standar yang ditetapkan orang lain. Beberapa penelitian di Indonesia menemukan bahwa penggunaan media sosial dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan, kesedihan, ketergantungan, dan perasaan kesepian.
Perbandingan dan kecemasan sosial yang tidak sehat
Salah satu efek samping utama dari media sosial adalah munculnya perbandingan sosial yang tidak sehat. Berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2022, sekitar 64% pengguna media sosial di Indonesia melaporkan merasa rendah diri setelah melihat postingan teman atau selebriti. Kecenderungan ini serupa dengan “highlight reels” yang menyajikan aspek-aspek terbaik kehidupan seseorang di media sosial, yang seringkali membuat pengguna lain percaya bahwa hidupnya kurang menarik atau tidak sebaik orang lain.
Penelitian yang dilakukan Psikologi Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2021 menemukan bahwa perbandingan sosial yang terus-menerus di media sosial dapat menimbulkan kecemasan, khususnya di kalangan remaja dan dewasa muda. Berdasarkan penelitian ini, lebih dari 72% remaja Indonesia mengalami kecemasan setelah melihat postingan temannya yang terkesan lebih “sukses” atau “bahagia”. Hal ini menunjukkan bahwa, alih-alih menawarkan inspirasi, media sosial sering kali membuat orang tidak bahagia dengan kehidupannya sendiri.
Pengasingan sosial dan kesendirian
Meskipun media sosial menyediakan interaksi yang cepat, koneksi yang terjalin biasanya lebih dangkal dan kurang mendalam dibandingkan yang dibuat secara langsung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Katadata Insight Center pada tahun 2023, lebih dari 55% pengguna media sosial di Indonesia merasa kesepian meski aktif menggunakan platform digital. Survei tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar pengguna media sosial menghabiskan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi secara online dibandingkan secara langsung, sehingga berkontribusi terhadap perasaan pengasingan sosial dan kekosongan emosional.
Studi lain yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2022 menemukan bahwa isolasi sosial akibat penggunaan media sosial berkaitan dengan masalah kesehatan mental seperti depresi ringan hingga sedang di kalangan pengguna media sosial, khususnya remaja. Hal ini mirip dengan fenomena “Fear of Missing Out” (FOMO), di mana pengguna khawatir akan kehilangan informasi atau aktivitas dari rekan-rekan mereka.
Ketergantungan pada media sosial dan gangguan tidur
Penggunaan media sosial secara berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan hingga menjadi kecanduan, yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan mental dan fisik. Menurut data Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2023, lebih dari 30% remaja Indonesia melaporkan kesulitan tidur akibat mengakses media sosial sebelum tidur. Paparan layar gadget yang terang secara terus-menerus akan merangsang otak dan mengganggu kualitas tidur. Hal ini berdampak negatif pada fokus, produktivitas, dan kesejahteraan emosional pengguna.
Dalam survei lain yang dilakukan oleh APJII, lebih dari 28% pengguna media sosial di Indonesia melaporkan mengalami kesulitan untuk berhenti men-scroll layar atau merasa harus memeriksa notifikasi bahkan di malam hari. Kecanduan ini mungkin menimbulkan konsekuensi psikologis jangka panjang, seperti stres dan menurunnya rasa kepuasan hidup.
Masalah depresi dan harga diri
Media sosial bukan sekadar platform untuk berbagi pengalaman hebat, namun juga dapat digunakan untuk menyalurkan kritik, komentar negatif, dan bahkan perundungan daring (cyberbullying). Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), kasus cyberbullying di media sosial melonjak 18% pada tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Remaja yang pernah mengalami cyberbullying lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi dan rendahnya harga diri.
Lebih lanjut, Universitas Airlangga menemukan pada tahun 2022 bahwa mayoritas pengguna media sosial di Indonesia, khususnya perempuan, melaporkan adanya penurunan harga diri setelah melakukan penggunaan media sosial secara berlebihan.
Hal ini disebabkan oleh tekanan untuk tampil sempurna sesuai dengan norma-norma media sosial, yang sering kali tidak dapat dicapai. Akibatnya, banyak orang percaya bahwa kegagalan memenuhi standar-standar ini akan mengurangi nilai kehidupan mereka.
Strategi Mengatasi Dampak Negatif Media Sosial dan Kesehatan Mental
Beberapa penelitian di Indonesia menemukan bahwa penggunaan media sosial yang tidak diatur dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Namun, ada banyak strategi untuk mengurangi dampaknya:
- Batasi Penggunaan Media Sosial: Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2023, membatasi penggunaan media sosial satu hingga dua jam per hari dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan kecanduan. Menyisihkan waktu untuk mengecek media sosial dan menghindarinya sebelum tidur bisa sangat bermanfaat.
- Kurasi Akun yang Diikuti: Pilih akun yang memberikan inspirasi positif sambil menghindari akun yang menimbulkan emosi negatif atau perbandingan sosial. Menurut penelitian yang dilakukan Universitas Padjadjaran, individu yang mengikuti akun inspiratif merasa lebih bahagia dibandingkan mereka yang sering menjumpai tweet gaya hidup yang tidak realistis.
- Perbanyak Interaksi Langsung: Mempertahankan ikatan yang tulus dengan keluarga dan teman-teman jauh dari media sosial sangat penting untuk kesehatan mental. Menurut penelitian Kementerian Kesehatan RI, kontak sosial yang positif dapat menurunkan risiko depresi sebesar 25%.
- Waspadai dan Kelola FOMO: Ketika merasa cemas akibat FOMO, ingatlah bahwa apa yang dilihat di media sosial hanyalah sebagian kecil dari kehidupan seseorang, bukan gambaran keseluruhan. Psikolog menyarankan agar melatih apresiasi diri dan penerimaan diri untuk mengurangi dampak negatif FOMO.
- Lakukan Detoks Digital Secara Teratur: Detoksifikasi digital dapat dilakukan dengan menghapus aplikasi media sosial selama beberapa hari atau membatasi penggunaan sehari-hari. Penelitian Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa detoks digital dapat membantu individu mengurangi stres dan meningkatkan mood.
Media sosial telah menjadi fenomena global dengan dampak yang luas, khususnya terhadap kesehatan mental. Di Indonesia, dampak buruk media sosial terhadap kesehatan mental terlihat dari meningkatnya kecemasan, rendahnya harga diri, pengasingan sosial, dan bahkan depresi. Meski media sosial memberikan keuntungan seperti memberikan kesempatan berkomunikasi dan mendapatkan informasi, namun penggunanya harus memanfaatkannya dengan baik untuk menjaga keseimbangan emosional dan kesehatan mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H