Mohon tunggu...
Ary Suharyanto
Ary Suharyanto Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Kawula mung saderma, mobah-mosik kersaning Gusti Alloh----

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Obligasi Daerah, Solusi Pembiayaan Pembangunan Infratsruktur Daerah

18 Agustus 2016   08:38 Diperbarui: 18 Agustus 2016   09:18 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat meresmikan bor raksasa untuk proyek Mass Rapid Transportation (MRT) di Jakarta, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur tidak boleh ditunda-tunda lagi karena akan semakin mahal (finance.detik.com: 2015). Menurut World Economic Forum, kualitas infrastruktur Indonesia terendah se-Asia, hanya lebih baik dibanding Filipina (bisniskeuangan.kompas.com: 2014). Akibatnya daya saing Indonesia ditingkat ASEAN masih kalah dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Sedangkan untuk tingkat global, Indonesia berada pada peringkat 34 dari 144 negara. Penilaian peringkat daya saing global didasarkan pada 12 pilar daya saing, salah satunya infrastruktur (Kemenkeu.go.id: 2014).

Komposisi belanja daerah secara nasional tahun 2014, porsi Belanja Pegawai masih mendominasi, yaitu mencapai sebesar 38,22%, sedangkan Belanja Modal 24,99%, Belanja Barang dan Jasa 21,35%, serta Belanja Lainnya 15,44% (DJLK: 2014). Persentase belanja modal APBD secara nasional yang hanya sebesar 24,99% merupakan jumlah yang relatif kecil, dan tentu tidak semua merupakan belanja infrastruktur yang langsung dapat dirasakan masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja modal antara lain PAD dan Dana Perimbangan. Menurut Kusnandar (2006) DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal yang mengindikasikan DAU tidak digunakan untuk pembangunan daerah dalam alokasi belanja modal, sedangkan PAD memiliki berpengaruh terhadap belanja modal. Sedangkan menurut Tuasikal (2008) DAK berpengaruh terhadap Belanja Modal pemerintah daerah di Indonesia.

Alternatif sumber dana untuk membiayai pembangunan infrstruktur adalah pinjaman daerah. Sesuai PP No. 30 Tahun 2011, pemda dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat. Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui pasar modal. Sayangnya sampai saat ini belum ada satu pemda pun yang memanfaatkan peluang ini.

Peluang Penerbitan Obligasi Daerah

Menurut DJLK (2014), komposisi Pendapatan Daerah tahun 2014 menunjukkan Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai 63,49%. Sementara itu PAD sebesar 23,75% dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebesar 12,76%. Hal tersebut menunjukkan pemda sulit mengandalkan sumber PAD untuk menambah alokasi belanja modal.

Di lain pihak, mengharapkan sumber dana perimbangan dari pusat tentu melalui proses yang kompleks, bahkan apabila tidak berhati-hati menimbulkan permasalahan hukum seperti contoh kasus Angelina Sondakh (Tribunnews.com: 2014) dan Wa Ode Nurhayati (Lipsus.kompas.com: 2014). Maka seharusnya pemda mulai mempertimbangkan sumber dana lain yang efisien, mudah dan aman untuk membiayai belanja modal, khususnya infrastruktur, yaitu pinjaman daerah.

Mahi, dkk. (2012) menyatakan sampai saat ini pinjaman daerah belum menjadi pertimbangan dan prioritas utama bagi pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Hal ini terbukti dari tidak banyaknya daerah yang melakukan kebijakan defisit yang dibiayai dengan pinjaman daerah. Selama ini defisit APBD cenderung ditutupi dengan menggunakan SilPA tahun sebelumnya. Meskipun sudah ada program pinjaman lunak saat yang dijalankan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP), namun luasnya cakupan objek membuat PIP mempunyai beban yang terlalu besar, sehingga tidak fokus sesuai dengan tujuannya.

DJLK (2014) menunjukkan Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah sebesar 0,7%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/ PMK.07/2012, yaitu 6% dari total Pendapatan Daerah untuk masing-masing pemerintah daerah. Dari jumlah pinjaman yang relatif kecil tersebut, ternyata sampai dengan saat ini belum ada satupun pemda yang memanfaatkan alternatif sumber pinjaman dari obligasi daerah.

Meskipun beberapa tahun terakhir sudah ada beberapa pemda yang menyatakan rencana untuk menerbitkan obligasi daerah (Sulistyo: 2015) namun hal tersebut baru akan terealisasi tahun depan yang kemungkinan Provinsi Jawa Barat menjadi pemda pertama yang menerbitkan obligasi daerah (Market.bisnis.com: 2015).

Sampai saat ini belum ada pemda yang menerbitkan obligasi karena berbagai kendala. Menurut Bapenas (2014) dari segi regulasi, kendalanya antara lain: Audit Keuangan Daerah oleh akuntan publik, sinkronisasi peraturan tentang Obligasi Daerah dan peraturan yang berlaku di bidang pasar modal, Penjaminan Obligasi Daerah dan Penerbitan Obligasi Daerah yang panjang alurnya serta cukup banyak persyaratanya. Sedangkan kendala dari sisi kelembagaan adalah tidak adanya Unit Pengelola Obligasi di dalam struktur pemerintahan daerah karena belum ada daerah yang pernah menerbitkan Obligasi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun