Tren mobil listrik mulai menggeliat dan sudah memasuki eranya. Beberapa merek kendaraan listrik bahkan sudah mulai dipasarkan di Indonesia.
Kehadiran mobil listrik bisa dikatakan sebuah kemajuan. Ini merupakan lompatan teknologi untuk menghadirkan kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Setidaknya bisa menjawab persoalan polusi udara dan menipisnya cadangan minyak bumi.Â
Meski begitu, kehadiran mobil listrik juga akan men-disrupsi sumber energi yang sudah mapan saat ini, khususnya penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Para pakar memprediksi mobil listrik akan mengubah pola konsumsi energi masyarakat di masa depan. Hal ini karena mobil listrik hanya mengandalkan baterai dan daya listrik sebagai sumber tenaganya. Praktis itu akan mengurangi konsumsi BBM.
Menteri BUMN Erick Thohir pun turut mengakui kemungkinan di atas. Menurutnya, berkembangnya industri mobil listrik akan memberikan dampak besar pada bisnis minyak bumi.
Masyarakat akan lebih memilih menggunakan mobil listrik ke depannya. Karena biaya pengisian daya listrik (charging) kendaraan listrik jauh lebih murah dibandingkan biaya mengisi bahan bakar minyak (BBM) pada mobil konvensional.
Bahkan, dirinya memprediksi sekitar 80% pengguna mobil konvensional bakal beralih ke mobil listrik. Sehingga otomatis masyarakat akan meninggalkan pengisian BBM di pom bensin.
Melihat kemungkinan itu, mau tidak mau, perusahaan energi harus segera mengambil langkah. Tak terkecuali bagi Pertamina.
Hal ini sangat penting terutama bagi keberlanjutan bisnisnya, sekaligus menjamin agar mereka tetap signifikan dalam perkembangan zaman.
Tapi untung saja, Pertamina sebagai perusahaan energi nasional termasuk yang cepat tanggap dengan perkembangan kondisi tersebut.
Indikatornya bisa dilihat dari sejumlah persiapan yang telah dilakukan oleh perusahaan BUMN Migas itu dalam mengantisipasi era disrupsi energi.
Menurut pembacaan saya, setidaknya ada dua strategi besar dari Pertamina guna beradaptasi dengan masa transisi energi ini.
Pertama, Pertamina akan memanfaatkan aset-aset yang dimilikinya guna mendukung perkembangan ekosistem electronic vehicle (EV), termasuk baterainya.
Langkah konkretnya adalah dengan mengonversi sebagian kapasitas kilangnya, dari kilang BBM menjadi petrokimia yang nantinya berhubungan dengan industri baterai kendaraan listrik (EV).
Pertamina akan berperan untuk memanufaktur produk hilir, meliputi pembuatan sel baterai, battery pack, dan Energy Storage System (ESS).
Kedua, Pertamina bekerjasama dengan PLN akan menyediakan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Tak hanya itu, Pertamina juga akan mengkombinasikannya dengan sumber energi baru terbarukan.
Nantinya, mobil-mobil listrik itu akan mengisi daya di SPBU Pertamina, sebagaimana mereka mengisi BBM dulu. Hingga kini sudah ada 32 titik SPKLU di 22 lokasi dan pilot project SPBKLU di 33 lokasi yang terletak di berbagai kota.
Selain itu, Pertamina dan PLN juga akan menjalankan pabrik cell to pack yang ditargetkan bakal mulai beroperasi pada 2025.
Dengan langkah seperti itu bisa dikatakan bahwasanya Pertamina sebagai perusahaan energi nasional sudah bisa membaca arah gerak energi di masa depan. Sehingga, positioning-nya sudah benar.
Antisipasi tersebut juga bisa dikatakan tepat secara momentum saat ini. Karena hampir semua perusahaan minyak global juga dalam arus yang sama. Jika terlambat pastinya mereka akan tertinggal dengan laju teknologi.
Kebijakan Pertamina ini sekaligus juga mendukung ekosistem industri kendaraan listrik nasional.
Yang pasti, transisi energi merupakan hal yang terelakkan di masa depan. Tak ada yang bisa mencegah dan menghentikannya. Kita akan menghadapi era kendaraan yang lebih ramah lingkungan dan baik bagi kesehatan publik.
Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H