Setiap tahun, pemerintah Indonesia menggelontorkan subsidi BBM dalam jumlah yang besar. Idealnya subsidi ini diterima oleh kalangan masyarakat yang kurang mampu. Namun kenyataannya justru sebaliknya.
Inilah persoalan laten yang dihadapi oleh pemerintah dan Pertamina. Hingga kini berbagai cara diolah untuk menemukan formula yang tepat agar subsidi BBM bisa tepat sasaran.
Subsidi dalam pengertian sederhana adalah intervensi pemerintah untuk menyediakan komoditas atau jasa publik dengan nilai di bawah harga pasar.
Terkait dengan BBM, pemerintah memberikan intervensi itu berupa kompensasi kepada Pertamina agar menjual bahan bakar jenis tertentu dengan nilai di bawah harga pasar (lebih murah). Misalnya, BBM jenis premium, pertalite, dan solar.
Tahun ini, pemerintah menganggarkan belanja subsidi energi sebesar Rp 137,5 triliun atau lebih rendah dibandingkan APBN 2019 yang sebesar Rp 159,97 triliun. Nilai tersebut juga lebih rendah daripada proyeksi realisasi subsidi energi tahun lalu, yakni Rp 142,6 triliun.
Yang menjadi masalah, realisasi dari subsidi itu lebih sering tidak tepat sasaran, terlebih pada subsidi BBM. Sebab, sekitar 60-70 persen subsidi itu justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu.
Di sisi lain, kemampuan finansial pemerintah itu sangat terbatas. Menurut catatan Kemenkeu, pemerintah terus defisit hingga Rp 300 triliun tiap tahun karena subsidi yang tidak tepat sasaran.
Sebagai bagian dari ikhtiar guna menjadikan BBM subsidi itu tepat sasaran, Pertamina bersama dengan BPH Migas menggagas program kartu BBM (fuel card) bagi nelayan. Program ini mulai disosialisasikan di Sumatra Barat.
Melalui kartu BBM ini, nelayan tak perlu bolak-balik lagi ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi guna mengurus surat rekomendasi untuk membeli biosolar subsidi.
Karena kartu tersebut sudah terintegrasi dengan sistem elektronik perbankan dan jatah subsidi yang diterima per nelayan.
Teknisnya, setiap nelayan akan mendapatkan kartu BBM dengan nilai pembelian yang ditetapkan pemerintah. Kemudian nelayan tinggal melakukan pembelian BBM di SPBU maupun SPBU-Nelayan menggunakan kartu BBM itu.
Alokasi konsumsi BBM per nelayan itu akan terpotong otomatis sesuai dengan jumlah pembelian pada kartu BBM. Konsumsi tercatat secara elektronik di sistem Bank BRI.
Jika kuota pada kartu BBM nelayan sudah terpakai semua, maka otomatis tidak lagi dapat melakukan pembelian BBM Biosolar subsidi.
Kemudian pada awal bulan berikutnya, alokasi otomatis terisi kembali  sesuai dengan kuota, untuk penggunaan di bulan tersebut.
Melalui program ini, ditargetkan konsumsi BBM Biosolar subsidi juga dapat lebih tepat sasaran. Pasalnya, hanya nelayan yang telah mendaftar dan memegang kartu BBM itu saja yang bisa mengkonsumsi biosolar subsidi.
Di sini kita tidak sedang mempermasalahkan konsep subsidi. Karena itu merupakan bagian dari kewajiban negara untuk memberikan akses yang sama pada masyarakat terhadap sumber energi.
Tapi yang perlu dipikirkan adalah soal tepat atau tidaknya subsidi itu diberikan. Nah, apa yang dikerjakakan oleh Pertamina bersama BPH Migas di Sumbar tersebut patut diapresiasi.
Sentuhan teknologi pada kartu BBM tersebut bisa menekan potensi kebocoran subsidi yang salah sasaran. Seandainya kartu BBM ini bisa diterapkan di seluruh Indonesia, maka bisa membawa perubahan yang besar.
Anggaran negara bisa lebih efektif dan efisien, selain itu subsidi bisa lebih tepat sasaran. Inilah solusi yang bisa membawa inspirasi bagi pemangku kepentingan di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H