Teman, saya adalah Liverpudlian sejati. Liverpudlian adalah julukan untuk penggemar setia Liverpool FC, sebuah klub sepakbola besar yang berasal dari kota pelabuhan Liverpool, Inggris. Jangan tanya sebesar apa cinta saya kepada klub sepakbola yang bermarkas di stadion Anfield itu.
29 Mei tahun 1985 adalah awal mula saya menonton aksi anak-anak Liverpool di atas lapangan hijau. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Pertandingannya disiarkan secara langsung oleh TVRI, satu-satunya stasiun TV pada saat itu di Indonesia
Itu adalah final Piala Champion antara Juventus vs Liverpool yang diawali oleh tragedi yang tercatat sebagai salah satu yang paling kelam dalam sejarah sepakbola. 39 orang pendukung Juventus meninggal dunia pada saat itu akibat tembok stadion yang runtuh dan ulah hooligans. Hooligans kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah Bonek.
Meskipun pada akhirnya Liverpool kalah dalam pertandingan tersebut, saya mulai jatuh cinta pada si hidung betet Ian Rush tatkala meliuk-liuk di antara para pemain Juventus, Kenny Dalglish, Keevin Keegan, dan juga si botak kiper tim nasional Zimbabwe Bruce Grobelaar.
Meskipun akibat kejadian tersebut saya tak bisa lagi menyaksikan tim kesayangan saya dan juga tim-tim Inggris yang lain di pentas Eropa selama 5 tahun lamanya, saya masih bisa menyaksikan Liverpool di final Piala FA atau pertandingan-pertandingan lain yang kerap disiarkan TVRI pada saat itu. Sejak kejadian di stadion Heysel, Brussel, Belgia itu, saya merasa mulai jatuh cinta pada Liverpool.
Liverpool adalah klub sepakbola paling sukses di Inggris Raya. Kedigjayaannya di Inggris dan Eropa membuatnya bergelimang gelar. Dari tahun ke tahun Liverpool nyaris tidak pernah tanpa gelar. Kalian harus tahu, sebelum tahun 1990, Manchester Unitednya Sir Alex Ferguson bukanlah siapa-siapa.
Menginjak tahun 1990, semua cerita sukses Liverpool berakhir. Itu adalah tahun terakhir Liverpool menjadi juara Liga Inggris. Cerita selanjutnya adalah milik Manchester United (MU) yang seolah-olah menjadi penguasa tunggal di daratan Inggris selama bertahun-tahun lamanya.
Dari sejak era Premiere League bergulir tahun 1992 hingga saat ini, MU berhasil menjadi juara sebanyak 13 kali, disusul Chelsea 5 kali, Manchester City 4 kali, Arsenal 3 kali, lalu Blackburn Rovers dan Leicester City masing-masing 1 kali, sementara Liverpool belum sekalipun!
Kenyataan ini terasa begitu pahit dan menyakitkan bagi tim yang sudah terbiasa menjadi juara seperti Liverpool dan para penggemarnya di mana pun berada, termasuk saya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun berikutnya, saya hanya bisa mengelus dada dan dada ini terasa begitu sesak menyaksikan MU begitu mudahnya menumbangkan lawan-lawannya, begitu saja terus dari musim ke musim. Alangkah beruntungnya MU memiliki seorang Alex Ferguson.
Di era Premiere League, Liverpool adalah pesakitan. Begitu hinanya Liverpool, dan ini sungguh mengherankan, begitu tertatih-tatihnya sang jagoan ini di rimba belantara kompetisi sepakbola paling elit di negeri Ratu Elizabeth, medan yang selama ini begitu dikenal dan dikuasainya. Tuhan, sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?
Setelah era Kenny Dalglish dan Ian Rush, pemain-pemain hebat datang silih berganti di ruang ganti Liverpool. Ada Robbie Fowler, John Barnes, Jamie Redknapp, Steve Mc Manaman, Michael Owen, Steven Gerrard, Jamie Carragher, Fernando Torres, Luiz Suares, dll.
Tapi gelar Liga Inggris yang biasanya begitu rutin menghampiri mereka itu tak jua kunjung tiba. Ada apa ini? Apa dan siapa yang salah? Bahkan bila di era Michael Owen dan Steven Gerrard ini Liverpool masih tetap gagal, maka diyakini Liverpool tidak akan pernah juara Liga Inggris lagi selamanya.
Mereka punya skuad yang solid dan mumpuni. Tapi nyatanya Liverpool tetap saja gagal. Gelar Liga Champion 2005 hanyalah hiburan kecil berupa oase di tengah gurun pasir yang gersang, tapi yang saya dan semua Liverpudlian mau bukan itu. Kembalikan tropi Liga Inggris yang hilang ke ruang ganti Anfield, seperti zaman kejayaan Bill Shankly dan Bob Paisley dulu lagi.
Pada saat galau memikirkan Liverpool, muncul anak muda bernama Cristiano Ronaldo. Tapi, sayangnya, dia memilih klub yang salah. MU yang sangat saya benci, karena membuat Liverpool menjadi klub medioker di Liga Inggris, kiprahnya semakin menjadi-jadi semenjak kadatangan pemain luar biasa ini.
Hati ini semakin sakit rasanya. Saya bukanlah fansnya, teman, tapi cukup dibuat kagum oleh aksi-aksinya. Yang paling membuat saya tercengang adalah gol tendangan jarak jauhnya ke gawang FC Porto di leg ke-2 perempat final Liga Champion tahun 2009 di Estadio Do Dragao Portugal, yang mengantarnya meraih FIFA Puskas Award 2009.
Cerita berubah ketika Ronaldo memutuskan hengkang ke Real Madrid di akhir 2009 sebagai pemain termahal di dunia pada saat itu. Persaingannya dengan Lionel Messi memaksanya mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya di kotak pinalti. Visi bermainnya pun berubah dari seorang Winger menjadi Striker.
Gol demi gol lahir dari kaki dan kepalanya. Rekor demi rekor pribadi dia ciptakan, sampai semua rekor Real Madrid habis di tangannya. 5 buah Ballon d'Or dan top scorer Liga Champion dari tahun ke tahun adalah pengakuan tak terbantahkan. Ronaldo kini adalah Real Madrid, bukan Manchester United lagi.
Maka, tak ada alasan untuk tidak mencintainya. Â Lelah menunggu kejayaan Liverpool yang tak kunjung tiba, Ronaldo kini adalah idola baru saya. Minggu demi minggu saya hanya berharap lahirnya gol demi gol dari kaki dan kepalanya.
Dan saya benar-benar melupakan Liverpool. Angkernya Anfield hanyalah masa lalu. Di Anfield Liverpool sangat mudah menjadi pesakitan, bahkan oleh klub yang baru promosi sekali pun. Selamat tinggal Liverpool.
Lalu, tiba-tiba muncul Juergen Klopp di akhir 2015. Ajaib, The Reds yang biasanya kikuk bermain bola, seperti segerombolan orang yang sedang belajar main bola, ragu-ragu ketika mengumpan, kalang kabut ketika ditekan, kini menjadi sangat enak ditonton.
Aliran bola dari kaki ke kaki menjadi sangat lancar, jarang sekali salah umpan, dan mampu menusuk jantung pertahanan lawan dengan sangat cepat.
Kini waktu telah berbalik, giliran lawan yang sering dibuat kalang-kabut oleh Liverpool. Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari Josep Guardiola yang kita akui sebagai salah satu pelatih terbaik  dunia.
Selama kariernya sebagai pelatih klub, lawan terberat yang pernah dihadapinya adalah Liverpool! Ini sungguh pujian yang sangat membanggakan!
Oh Tuhan, jadi ini yang namanya Gegenpressing kiranya! Liverpool memainkan bola dengan cara yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
Saya mulai melirik kembali Sadio Mane, Salah, dkk. Mulai aktif lagi mengikuti perkembangan The Reds baik di daratan Inggris maupun Eropa. Cinta itu rupanya belum hilang.
Tapi 2016 dan 2017 Klopp belum memberikan apa-apa. Manajemen dan Liverpudlian masih menunggu dengan sabar. Maka, tahun 2018 adalah awal kebangkitan Liverpool dari tidur panjangnya.
Di penghujung tahun Liverpool menjadi juara di kompetisi yang paling berat di Eropa, Liga Champion, setelah melewati perjuangan yang penuh liku sejak babak penyisihan grup. Lawan yang disingkirkan di semi final bukanlah main-main, calon kuat juara kompetisi ini, Barcelona.
Ini gelar yang sangat membanggakan. Namun, tropi sesungguhnya yang sudah lama diincar Liverpool bukanlah itu. Bukan. Di kompetisi Liga Inggris di tahun itu, mereka nyaris menjadi juara. Ya, nyaris! Keunggulan 7 poin menjelang akhir kompetisi gagal mereka pertahankan.
Mental juara yang dimiliki anak-anak asuh Pep Guardiola membuat Manchester City unggul 1 poin dari Liverpool di akhir kompetisi, City 98 dan Liverpool 97, dan memastikan mereka menjadi juara pada tahun tersebut. Dalam sejarah Liga Inggris, baru kali ini terjadi sebuah tim dengan poin di atas 90 gagal menjadi juara di akhir kompetisi. Liverpudlian pun kembali berduka. S
Dan saya masih Liverpudlian.Â
Sejatinya, 2018 adalah tahun yang hampir sempurna bagi Liverpool. Jadi juara Liga Champion, Virgil van Dijk terpilih sebagai bek dan pemain terbaik UEFA 2018-2019, Alisson Becker penjaga gawang terbaik UEFA 2018-2019, dan Jurgen Klopp pelatih terbaik UEFA 2018-2019, adalah pengakuan nyata bagaimana bagusnya kualitas Liverpool.
Tapi itu belum cukup. Liverpool harus jadi juara Liga Inggris secepatnya supaya harkat dan martabat mereka kembali terangkat ke tempat yang semestinya dan lawan-lawan mereka di Inggris kembali menghormati mereka. 29 tahun adalah waktu yang sangat lama menunggu bagi tim sekelas Liverpool kembali menjadi juara Liga Inggris.
Tahun 2019 ini sepertinya Liverpool tidak akan gagal lagi. Sungguh sangat konyol kalau kali ini masih gagal juga. Kenapa? Setelah melewati pekan ke-8, Liverpool berdiri kokoh di puncak klasemen dengan poin sempurna, 24. 8 partai yang sudah dilewati mereka sapu bersih dengan kemenangan.
Wow, luar biasa! Ini artinya mereka unggul 8 poin dari Manchester City yang ada di peringkat ke-2. Unggul 8 poin ketika kompetisi baru berjalan 2 bulan sungguh selisih yang sangat banyak. Tapi Salah dkk. harus hati-hati kalau tidak mau terpeleset lagi seperti tahun lalu. Sisa waktu yang masih 7,5 bulan lagi bukanlah waktu yang sebentar.
Segala hal masih sangat mungkin terjadi. Pep Guardiola adalah pelatih jenius. Rekam jejaknya sangat mengagumkan di semua tim yang pernah dilatihnya. Semua tim yang dilatihnya berubah menjadi seperti roller coaster cara bermainnya. Manchester City yang awalnya biasa-biasa saja berhasil disulapnya menjadi tim yang luar biasa, yang sangat menakutkan di Inggris maupun Eropa. Tetap fokus di sisa kompetisi, Liverpool!
Kembalilah Liverpoolku seperti yang dulu lagi, masa ketika engkau masih bersama Bill Sankly dan Bob Paisley ...
Dan, engkau Klopp, ciptakan lembar sejarahmu sendiri bersama The Kop sebelum engkau memutuskan pergi mencari tantangan baru ...
Tuhan, kabulkanlah permohonan kami ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H