Mohon tunggu...
Dipananta
Dipananta Mohon Tunggu... Buruh - manusia menulis

belajar untuk menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Simulakra Ducati Monster: Geberan Pemanggil Petugas

2 Agustus 2021   20:58 Diperbarui: 2 Agustus 2021   21:30 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu siang di hari minggu, saya mengisi bensin mobil di sebuah SPBU BP di Bintaro. Pada saat mendapat giliran untuk mengisi bensin, saya turun dari mobil, memutar ke belakang ke arah tangki. Langkah saya terhenti tepat di belakang mobil, lalu berjalan lagi pelan karena terpaku pada seorang bapak berpakaian kaos, celana pendek dengan motor Ducati Monster.

Bapak bermotor monster itu sejak datang sudah menarik perhatian. Kita tahu suara motor Ducati, atau motor-motor yang memang benar berkapasitas mesin besar, berbeda dari motor lainnya. 

Menggelegar namun masih ada kenikmatan tersendiri untuk didengar. Belum lagi, ia datang sonder helm dan masker. Saya selalu mengira orang yang naik motor tanpa helm adalah orang yang bangga sekali dengan gayanya dan motornya sehingga ia harus mempertaruhkan nyawanya demi memperlihatkan siapa pemilik motor yang ia rasa keren itu. 

Ia berhenti pada lajur paling ujung sebelah kanan, lajur pengisian bensin yang kosong tanpa penjaga. Tak berapa lama, ia menggeber motornya. Lantas, satu SPBU hanya terdengar suara motor itu. Lalu, ia menggeber sekali lagi sembari melemparkan kebingungan pada saya. 

Mau apa bapak Ducati itu? Ia berhenti tidak tepat di depan mesin pompa, ia menggeber pula motornya yang bersuara besar itu. Apa ia tidak tahu kalau disana tidak ada orang yang menjaga untuk melayaninya?  

Dan, sekali lagi dengan gestur mencari-cari petugas yang berada 2 lajur pompa pengisian darinya. Ah, akhirnya seorang petugas dapat mengerti bahwa raungan motor Ducati itu sebuah panggilan. Tangan bapak monster itu lalu memberikan tanda kepada petugas untuk menuju tempat pengisian nitrogen untuk ban kendaraan yang ada di seberang lajur pengisian bensin. 

Ternyata itu maksud dari bahasa knalpot bapak itu, kata saya dalam hati. Kalau ditranskrip ke dalam bahasa awam, begini kurang lebih begini: 'Mas, mas' untuk geberan pertama. 'Mas,mas, petugas, pelayan! Oi! Oi!' untuk geberan kedua. 'Massssssss, saya ada di sini, nih!' untuk geberan ketiga yang mendapatkan jawaban. Setelah itu, ia melakukan code-switching dengan bahasa tangan. Bereslah segala urusannya. 

Pada dasarnya, bapak monster dukati itu hanya hendak mengisi nitrogen. Ia memanggil petugas karena di tempat pengisian nitrogen tidak ada petugas yang berjaga. Namun, kalau begitu, bukan dan tidakkah lebih mudah kalau ia dengan motor bertenaga besar itu menghampiri seorang petugas saja yang berada tak sampai 30 langkah kaki? 

Sepertinya bensin yang dikeluarkan untuk menggeber pun juga kurang lebih akan sama jumlahnya dengan bensin yang digunakannya untuk mendekat ke arah petugas SPBU. Lalu, komunikasi macam apa yang dilakukan bapak monster dukati itu? Apakah ini sebuah komunikasi yang sering terjadi? Kalau ya, mengapa? Karena bentuk komunikasi ini baru saja terbentuk. 

Saya rasa bapak itu tidak melakukan sebuah perilaku komunikasi yang wajar dan etis. Kalau memang wajar dan etis, coba pertanyakan saja, apakah ia akan melakukan komunikasi geberan motor itu pada temannya atau ibu-ayahnya atau nenek atau adiknya.

 Atau mungkinkah ia, ketika sampai di rumahnya, memanggil istrinya untuk membukakan pintu dengan geberan motor?  Brem, brem, brem yang berarti 'Sayang, aku sudah pulang, bukakan pintu! Cepat!'. Lalu, geber lagi, brem brem brem, yang berarti "Oh iya, aku lupa kita lagi berantem"

Kalau ada orang yang menggeber untuk memanggil dirinya dengan geberan motor apakah ia akan menengok? 

Pantaskah seorang manusia yang dapat memanggil atau meminta tolong untuk dilayani dengan menghampiri langsung, malah menggeber-geber saja motor supernya untuk memanggil? Ini masalah etika, jawab sendiri saja. 

Kalau menurut saya, tidak pantas.  Kita hidup di sebuah negara yang terkenal memiliki tata krama dan budaya yang tinggi dalam meminta tolong, mengucapkan salam, meminta maaf serta mengucapkan terima kasih. 

Dari perilaku bapak monster dukati ini, saya dapat menilai bahwa ia merasa punya relasi kuasa yang lebih tinggi daripada petugas pengisian bensin. Terkaan hemat saya, hal ini bisa terjadi karena faktor ekonomi yang ia miliki. 

Dengan begitu, Ia bisa memanggil seorang lain dengan cara yang kurang layak seperti itu, karena ia punya uang lebih banyak. Kasihan sekali bapak monster dukati ini, karena ia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Ia sedang merasa tinggi di tempat rendah dengan pondasi yang rapuh. 

Setelah saya renungi sedikit, saya kira sebuah bentuk perilaku yang diracuni imajinasi semu tentang nilai yang seseorang pikir ia miliki padahal tidak.  Dalam bahasa Jean Baudrillard, simulakra dalam nilai sebuah motor Ducati Monster. Dengan memiliki motor Ducati Monster, merasa lebih kaya, ia merasa jadi lebih tinggi dibanding orang lain. 

Nilai sebuah motor Ducati Monster menjadi nilai kehormatan lebih bagi pemakainya. Tidak hanya nyaman dan cepat tangguh di segala medan, tapi juga meninggikan derajat pengendara karena merupakan sebuah barang mahal yang tidak semua orang bisa miliki. Sebuah privilese semu. 

Nilai ini membentuk perasaan dapat memperlakukan orang lain dengan kurang sopan atau layak karena orang lain itu dinilai lebih rendah, padahal pada kenyataannya tidak demikian. 

Bukankah petugas pengisian bensin datang dan tetap ramah padanya bukan karena motor Ducati Monster, melainkan karena tanggung jawab profesi. Tidakkah Ducati Monster juga hanya motor? Kendaraan yang membawa kita dari titik A ke titik B? 

Kendati demikian, saya tetap yakin bahwa tidak semua orang bermotor sekelas Ducati Monster berperilaku demikian. Masih ada yang menggunakan geberan motornya bukan untuk menandai kuasa, tapi untuk... Ya, untuk apa sajalah, yang penting tidak merendahkan atau merugikan.  

Lalu pertanyaannya, kalau sebuah benda itu memberikan kita nilai semu akan suatu perasaan, lalu mengapa kita membeli benda itu? 

Salam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun