Jurnal ini merupakan artikel yang ditulis oleh Mette Morsing dan Majken Schultz, pada jurnal Business Ethics: A European Review. Vol 15:4, 323-338. Dua penulis tersebut merupakan professor di Compenhagen Business School dan pegiat isu Corporate Social Responsibility (CSR) dalam kaitannya dengan komunikasi. Pandangan-pandangan Morsing dan Schultz yang tertuang dalam paper ini banyak berbicara mengenai nilai-nilai CSR dan pentingnya mengkomunikasikan kepedulian sosial perusahaan kepada masyarakat luas. Akan tetapi, Morsing dan Schultz juga memberikan kasus-kasus empiris dimana penerapan komunikasi CSR sering kali menemui tantangan-tantangan yang apabila tidak dihadapi dengan hati-hati justru akan membahayakan reputasi perusahaan.
Melihat tantangan komunikasi CSR yang ada, artikel jurnal ini berfokus pada bahasan bagaimana melakukan komunikasi CSR yang sesuai dengan kebutuhan stakeholder. Berawal dari pemaparan permasalahan yang dilihat oleh Morsing dan Schultz, bahwa intensitas komunikasi berlebihan mengenai kepedulian moral dan perusahaan justru akan memicu adanya kritik-kritik dari stakeholder. Kritik yang muncul misalnya adanya sikap skeptis masyarakat pada komunikasi CSR yang dicurigai dilakukan untuk menutupi 'dosa' perusahaan dan mengelabuhi masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain perusahaan perlu melakukan komunikasi CSR karena perusahan yang diketahui memiliki tanggung jawab moral dan sosial akan mendorong adanya loyalitas stakeholder sehingga menyokong keberlangsungan hidup perusahaan. Oleh karena itu, permasalahan yang dipaparkan oleh Morsing dan Schultz pada artikel jurnal ini adalah "bagaimana seharusnya perusahaan mengkomunikasikan kepedulian moral dan sosial mereka kepada publik agar memunculkan reputasi positif?"
Guna menjawab pertanyaan tersebut, Morsing dan Schultz menekankan bahwa komunikator CSR harus bisa memenuhi ekspektasi stakeholder dengan selalu mengingat bahwa "CSR are a moving target and must be considered carefully on a frequent basis". Pada artikel jurnal ini, Morsing dan Schultz menghadirkan pendalaman analisis pada Theory of Sensemaking sebagai solusi yang ditawarkan untuk 'membidik' ekspektasi stakeholder yang terus berubah. Teori ini berfokus pada pemahaman kita terhadap proses komunikasi, dimana kita diharapkan memahami dan mampu mengintepretasikan maksud dari proses komunikasi yang terjadi. Morsing dan Schultz mengutip kata-kata Nijhof (et al. 2006) mendefinisikan proses sensemaking sebagai "as we make sense of things in organizations while in conversation with others, while reading communications from others, while exchanging ideas with others".
      Inti utama dari sensemaking adalah memahami kebutuhan informasi stakeholder. Semakin organisasi bisa melakukan sensemaking, semakin organisasi bisa menemukan strategi-strategi untuk membangun hubungan yang produktif dengan stakeholder. Artinya bahwa organisasi harus dan wajib untuk meningkatkan 'sense' terhadap situasi dan kebutuhan lingkungan internal dan eksternal dimana organisasi berada.
      Mengetahui kebutuhan saja tidak cukup, langkah selanjutnya adalah memberi informasi yang dibutuhkan oleh stakeholder. Selanjutnya, Morsing dan Schultz memunculkan konsep sensegiving sebagai aksi yang dilakukan organisasi setelah berhasil melakukan sensemaking. Gagasan inti dari sensegiving adalah memberi informasi yang dibutuhkan oleh stakeholder. Melakukan sensemaking dan sensegiving dinilai oleh Morsing dan Schultz sebagai langkah tepat untuk melakukan komunikasi CSR. Adanya sensemaking dan sensegiving dipandang bisa menurunkan resiko banjir informasi dan munculnya skeptisme dari masyarakat. Sebagai hasil, antara organisasi dengan stakeholder akan muncul mutual understanding dan mutual expectation. Morsing dan Schultz mengidentifikasi teori ini sebagai cara untuk menghasilkan dukungan dari para stakeholder karena melalui cara ini stakeholder dilibatkan dalam proses komunikasi CSR.
      Pengembangan teori sensemaking yang dilakukan oleh Morsing dan Schultz ini menarik untuk diperhatikan. Menekankan pada pentingnya memahami konten komunikasi  dan kemudian memberikan informasi yang dibutuhkan merupakan bentuk dari komunikasi yang bersifat dua arah, timbal balik, dan transaksional. Penulis menilai artikel Morsing dan Schultz ini sejalan dengan model komunikasi Wirbur Schramm dimana dalam komunikasi terdapat umpan balik dan lingkaran berkelanjutan untuk berbagi informasi (Schramm, 1974:8). Model komunikasi yang ditawarkan Schramm mensyaratkan adanya tumpang tindih atau overlapping bidang pengalaman (field of experience), dimana untuk memahaminya perlu dilakukan komunikasi secara terus menerus agar menemukan lingkaran yang sama. Proses sensemaking dan sensegiving sejalan dengan proses decoding-encoding yang ditawarkan Schramm.
      Selanjutnya, mengadopsi karakteristik model komunikasi kehumasan (public relations) milik Grunig dan Hunt (1084), Morsing dan Schultz mengembangkan tiga tipe stakeholder relations guna melihat bagaimana seharusnya perusahaan secara strategis melakukan komunikasi CSR. Pertama, the stakeholder information strategy, kedua adalah the stakeholder response strategy, dan yang ketiga adalah  the stakeholder involvement strategy. Ketiganya dikembangkan dengan sudut pandang Theory of Sensemaking dalam memenuhi kebutuhan informasi stakeholder. Meskipun Grunig dan Hunt menambahkan satu karakteristik lagi, yaitu propaganda model, namun Morsing dan Schultz berpendapat bahwa model ini tidak cocok untuk diterapkan pada komunikasi CSR. Hal ini dikarenakan propaganda "often spread the faith of organization involved, often through incomplete, distorted, or half-true information" (Grunig & Hunt, 1984:21). Kecenderungan propaganda ini dinilai Morsing dan Schultz tidak pantas dilakukan karena tidak sesuai dengan nilai moral komunikasi CSR yang seharusnya mengutamakan etika kejujuran dan kebenaran informasi. Melakukan propaganda model justru akan mencederai ambisi komunikasi CSR kontemporer dimana ingin merepresentasikan perusahaan sebagai perusahaan yang menghargai etika dan bersifat transparan terhadap tanggungjawab sosial perusahaan.
      Stakeholder information strategy sebagai strategi komunikasi CSR menerapkan komunikasi satu arah dengan sensegiving. Artinya bahwa misi komunikasi CSR perusahaan adalah memberikan informasi kepada stakeholder tanpa melibatkan stakeholder terkait. Perusahaan dengan model ini meyakini bahwa perusahaan memiliki pemahaman absolut mengenai apa yang harus dikomunikasikan kepada publik. Keputusan informasi mana saja yang perlu disampaikan kepada publik seutuhnya terletak pada top management dan tidak melibatkan opini dari pihak di luar perusahaan. "Communication is basically viewed as telling, not listening" (Grunig & Hunt, 1984:23).
      Stakeholder response strategy menerapkan komunikasi dua arah asimetris antara perusahaan dengan stakeholder. Perusahaan melakukan sensemaking guna memahami apa yang diinginkan stakeholder. Kemudian perusahaan melalui top management mengambil kebijakan komunikasi CSR untuk diterapkan pada stakeholder, dengan memastikan konten komunikasinya mencitrakan perusahaan peduli dengan etika moral dan tanggungjawab sosial. Pada strategi ini, perusahaan akan menyebarkan poling atau survey guna memetakan kebutuhan informasi stakeholder. Akan tetapi, Morsing dan Schultz menilai bahwa cara ini belum cukup efektif karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada stakeholder biasanya bersifat mengukuhkan sudut pandang perusahaan dan pertanyaan yang diajukan sudah disesuaikan dengan identitas perusahaan.
      Stakeholder involvement strategy sangat bersifat kontras dibandingkan dua strategi lainnya. Strategi ini mengasumsikan pentingnya dialog dengan para stakeholder, dimana sensemaking dan sensegiving dilakukan sebagai proses terus menerus. Persuasi yang terjadi tidak hanya berasal dari perusahaan, namun juga bersifat timbal balik dari stakeholder yang juga bisa memengaruhi perusahaan. Idealnya, baik perusahaan maupun stakeholder akan berubah demi mendapatkan komunikasi yang simetris dan seimbang.
"Because the stakeholder involvement strategy takes the notion of the stakeholder relationship to an extreme, companies should not only influence but also seek to be influenced by stakeholders, and therefore change when necessary" (Morsing dan Schultz, 2006:328).
      Model strategi ini menekankan pentingnya melibatkan stakeholder untuk meningkatkan dan mempromosikan dukungan positif kepada perusahaan. Dialog yang baik dengan stakeholder juga akan memunculkan program-program CSR yang baik dan sesuai, sehingga relasi yang tercipta dapat semakin bersifat mutual. Catatan kunci yang ditekankan Moris dan Schultz adalah kemauan kedua pihak untuk berubah, demi menemukan titik keseimbangan dalam komunikasi. Peran dari komunikasi di sini kemudian dipandang sebagai alat untuk memastikan terjadinya dialog dua arah, dimana tujuan utamanya adalah untuk menghadirkan mutual understanding dan kesepakatan bersama.
      Berdasarkan tiga strategi stakeholder relations yang dikembangkan dari strategi public relations di atas, Morsing dan Schultz menilai stakeholder involvement strategy sebagai strategi terbaik untuk melakukan komunikasi CSR. Melalui komunikasi dua arah yang dilakukan perusahaan akan mampu 'membidik' ekspektasi stakeholder yang disebut sebagai "the moving target". Melakukan komunikasi dua arah dan terus menerus melakukan sensemaking dan sensegiving akan memunculkan ikatan antara perusahaan dengan stakeholder, baik internal maupun eksternal. Ikatan ini yang akan menjadi panduan dalam berkomunikasi dan menjalankan program-program CSR.
Penulis melihat bahwa di era informasi dan komunikasi ini, perusahaan memang seharusnya lebih terbuka dan transparan mengenai isu-isu sosial yang diperhatikan oleh perusahaan. Stakeholder tidak bisa lagi dilihat sebagai pasif, karena sekarang ini perusahaan bisa dengan mudah dipengaruhi oleh opini dan rumor yang tersebar di tengah stakeholder. Menjalin komunikasi yang terbuka dan melibatkan stakeholder akan membantu perusahaan dalam memuaskan kebutuhan informasi para stakeholder. Penulis juga mengapresiasi sudut pandang dan standpoint Morsing dan Schultz yang menekankan pada etika kejujuran dalam  berkomunikasi. Tidak mengadopsi strategi propaganda merupakan nilai yang sejalan dengan moral dan etika CSR itu sendiri.
Sebagai pelengkap artikel Morsing dan Schultz, penulis menambahkan analisis komunikasi CSR dari artikel milik Timothy Coombs dan Sherry Holladay yang berjudul Corporate Social Responsibility: Missed Opportunity for Institutionalizing Communication Practice? yang juga menekankan pentingnya komunikasi dua arah pada CSR. Coombs dan Holladay menilai inti dari komunikasi CSR adalah ketika perusahaan bisa memenuhi ekspektasi stakeholder. Â Inilah yang membuat komunikasi bersifat strategis karena kedua belah pihak berupaya untuk saling memengaruhi, sehingga terbangun hubungan yang seimbang.
"By listening to others, business can adapt to changes in their constituents. They can learn about their expectations, respond to those expectations, and seek to shape those expectations...CSR is driven by constituent expectations. Global corporations change behaviors to be more responsive" (Coombs & Holladay, 2009:95).
      Kegagalan perusahaan dalam memenuhi ekspektasi akan menghasilkan konflik yang dikarenakan stakeholder secara aktif melawan perusahaan. Berdasarkan pandangan ini, stakeholder information strategy bukanlah cara yang tepat untuk melakukan komunikasi CSR. Perusahaan tidak bisa hanya melakukan sensegiving dan mendapatkan respon positif jika tanpa melakukan pemahaman kebutuhan stakeholder melalui sensemaking.
Morsing dan Schultz menunjukkan data laporan tahun 2005 yang diterbitkan oleh Reputation Quotient terhadap perusahaan-perusahaan di negara Scandinavian, yaitu Denmark, Sweden, dan Norway. Meskipun Morsing dan Schultz tidak melakukan risetnya sendiri, namun hasil olah data yang diambil cukup representatif untuk mendukung teori yang diutarakan Morsing dan Schultz terkait sensemaking dan sensegiving. Berdasarkan data, 59% publik di Denmark, 46% di Sweden, dan 49% di Norway tidak menginginkan perusahaan mempublikasikan komunikasi CSR secara terus menerus, melainkan cukup dengan menggunakan minimal release dan website. Data ini cukup mendukung argumen Morsing dan Schultz bahwa rupanya publik di berbagai negara memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Selain itu, kebutuhan publik setiap tahunnya berubah dan data menunjukkan angka yang berbeda. Oleh karena itu, perusahaan perlu berusaha memahami keinginan stakeholder dengan melakukan sensemaking sebelum pada akhirnya melakukan sensegiving yang sesuai dengan kebutuhan. Logika yang dibangun oleh Morsing dan Schultz dalam mencuplik data penelitian terdahulu sejalan dengan gagasan dan permasalahan yang dipaparkan sebelumnya. Cuplikan data ini mengingatkan kembali bahwa urgensi dari proses sensemaking dan sensegiving terletak pada sifat stakeholder yang unik dan dinamis.
Pada bagian akhir sebagai pengembangan diskusi, Morsing dan Schultz menawarkan tiga pandangan terhadap komunikasi CSR. (1) Komunikasi CSR sebagai pedang bermata dua, (2) Komunikasi CSR dilakukan dengan 'halus' dan tanpa laporan finansial, (3) Menyertakan opini stakeholder dalam pelaporan dan komunikasi CSR. Tiga pandangan ini didapatkan dari analisis Morsing dan Schultz terhadap data-data statistik yang dikumpulkan, dan menunjukkan bahwa stakeholder memiliki kebutuhan informasi yang unik.
Komunikasi CSR memang rentan dengan adanya reaksi skeptis dari stakeholder. Di satu sisi perusahaan ingin melegitimasi kepedulian sosial, dan menjadi cara bagi perusahaan untuk mencegah adanya rumor-rumor yang merusak citra perusahaan. Di sisi lain, perusahan bisa mendapatkan kritik apabila legitimasi perusahaan tersebut rupanya bertolak belakang dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Memenuhi kebutuhan komunikasi stakeholder cukup sulit untuk dipetakan apabila tidak ada kesamaan pemahaman dengan perusahaan. Pada pandangan umum, laporan kegiatan CSR secara terus menerus dinilai memberikan citra baik bagi perusahaan. Akan tetapi, riset yang dikutip justru menunjukkan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, publikasi minimal akan lebih sesuai dengan keinginan stakeholder.Terlihat di sini bahwa komunikasi CSR perlu diperlakukan berbeda dengan komunikasi pemasaran, dimana stakeholder perlu diterpa informasi secara terus menerus untuk memunculkan citra positif dari brand.
Secara keseluruhan, artikel jurnal yang ditulis oleh Morsing dan Schultz ini memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai komunikasi CSR yang unik. Penekanan pada teori sensegiving mendukung berlangsungnya etika-etika komunikasi CSR yang berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan stakeholder, seperti halnya program CSR itu sendiri. Alur komunikasi yang timbal balik dan transaksional membuat komunikasi CSR dimaksudkan sebagai proses komunikasi yang hidup dan dinamis, tidak otoriter namun memberikan ruang keterlibatan bagi stakeholder.
DAFTAR PUSTAKA
                                     Â
Coombs, Timothy, Holladay, Sherry. (2009). Corporate Social Responsibility: Missed Opportunity for Institutionalizing Communication Practice?. International Journal of Strategic Communication. Vol.3:2, 93-101.
Grunig, J.E, Hunt, T. (1984). Managing Public Relations. Fort Worth, TX : Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.
Morsing, M. & Schultz, M. (2006). Corporate Social responsibility Communication: Stakeholder information, response and involvement strategies. Business Ethics: A European Review. Vol 15:4, 323-338.Â
Schramm, Wilbur. (1974). 'How Communication Works,' dalam Jean M. Civikly (ed). Messages : A Reader in Human Communication. New York : Random House.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H