Mohon tunggu...
Caecilia Santi
Caecilia Santi Mohon Tunggu... Dosen - Yogyakarta

Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Journal Review: Corporate Social Responsibility Communication

15 Desember 2020   15:06 Diperbarui: 15 Desember 2020   15:25 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Model strategi ini menekankan pentingnya melibatkan stakeholder untuk meningkatkan dan mempromosikan dukungan positif kepada perusahaan. Dialog yang baik dengan stakeholder juga akan memunculkan program-program CSR yang baik dan sesuai, sehingga relasi yang tercipta dapat semakin bersifat mutual. Catatan kunci yang ditekankan Moris dan Schultz adalah kemauan kedua pihak untuk berubah, demi menemukan titik keseimbangan dalam komunikasi. Peran dari komunikasi di sini kemudian dipandang sebagai alat untuk memastikan terjadinya dialog dua arah, dimana tujuan utamanya adalah untuk menghadirkan mutual understanding dan kesepakatan bersama.

            Berdasarkan tiga strategi stakeholder relations yang dikembangkan dari strategi public relations di atas, Morsing dan Schultz menilai stakeholder involvement strategy sebagai strategi terbaik untuk melakukan komunikasi CSR. Melalui komunikasi dua arah yang dilakukan perusahaan akan mampu 'membidik' ekspektasi stakeholder yang disebut sebagai "the moving target". Melakukan komunikasi dua arah dan terus menerus melakukan sensemaking dan sensegiving akan memunculkan ikatan antara perusahaan dengan stakeholder, baik internal maupun eksternal. Ikatan ini yang akan menjadi panduan dalam berkomunikasi dan menjalankan program-program CSR.

Penulis melihat bahwa di era informasi dan komunikasi ini, perusahaan memang seharusnya lebih terbuka dan transparan mengenai isu-isu sosial yang diperhatikan oleh perusahaan. Stakeholder tidak bisa lagi dilihat sebagai pasif, karena sekarang ini perusahaan bisa dengan mudah dipengaruhi oleh opini dan rumor yang tersebar di tengah stakeholder. Menjalin komunikasi yang terbuka dan melibatkan stakeholder akan membantu perusahaan dalam memuaskan kebutuhan informasi para stakeholder. Penulis juga mengapresiasi sudut pandang dan standpoint Morsing dan Schultz yang menekankan pada etika kejujuran dalam  berkomunikasi. Tidak mengadopsi strategi propaganda merupakan nilai yang sejalan dengan moral dan etika CSR itu sendiri.

Sebagai pelengkap artikel Morsing dan Schultz, penulis menambahkan analisis komunikasi CSR dari artikel milik Timothy Coombs dan Sherry Holladay yang berjudul Corporate Social Responsibility: Missed Opportunity for Institutionalizing Communication Practice? yang juga menekankan pentingnya komunikasi dua arah pada CSR. Coombs dan Holladay menilai inti dari komunikasi CSR adalah ketika perusahaan bisa memenuhi ekspektasi stakeholder.  Inilah yang membuat komunikasi bersifat strategis karena kedua belah pihak berupaya untuk saling memengaruhi, sehingga terbangun hubungan yang seimbang.

"By listening to others, business can adapt to changes in their constituents. They can learn about their expectations, respond to those expectations, and seek to shape those expectations...CSR is driven by constituent expectations. Global corporations change behaviors to be more responsive" (Coombs & Holladay, 2009:95).

            Kegagalan perusahaan dalam memenuhi ekspektasi akan menghasilkan konflik yang dikarenakan stakeholder secara aktif melawan perusahaan. Berdasarkan pandangan ini, stakeholder information strategy bukanlah cara yang tepat untuk melakukan komunikasi CSR. Perusahaan tidak bisa hanya melakukan sensegiving dan mendapatkan respon positif jika tanpa melakukan pemahaman kebutuhan stakeholder melalui sensemaking.

Morsing dan Schultz menunjukkan data laporan tahun 2005 yang diterbitkan oleh Reputation Quotient terhadap perusahaan-perusahaan di negara Scandinavian, yaitu Denmark, Sweden, dan Norway. Meskipun Morsing dan Schultz tidak melakukan risetnya sendiri, namun hasil olah data yang diambil cukup representatif untuk mendukung teori yang diutarakan Morsing dan Schultz terkait sensemaking dan sensegiving. Berdasarkan data, 59% publik di Denmark, 46% di Sweden, dan 49% di Norway tidak menginginkan perusahaan mempublikasikan komunikasi CSR secara terus menerus, melainkan cukup dengan menggunakan minimal release dan website. Data ini cukup mendukung argumen Morsing dan Schultz bahwa rupanya publik di berbagai negara memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Selain itu, kebutuhan publik setiap tahunnya berubah dan data menunjukkan angka yang berbeda. Oleh karena itu, perusahaan perlu berusaha memahami keinginan stakeholder dengan melakukan sensemaking sebelum pada akhirnya melakukan sensegiving yang sesuai dengan kebutuhan. Logika yang dibangun oleh Morsing dan Schultz dalam mencuplik data penelitian terdahulu sejalan dengan gagasan dan permasalahan yang dipaparkan sebelumnya. Cuplikan data ini mengingatkan kembali bahwa urgensi dari proses sensemaking dan sensegiving terletak pada sifat stakeholder yang unik dan dinamis.

Pada bagian akhir sebagai pengembangan diskusi, Morsing dan Schultz menawarkan tiga pandangan terhadap komunikasi CSR. (1) Komunikasi CSR sebagai pedang bermata dua, (2) Komunikasi CSR dilakukan dengan 'halus' dan tanpa laporan finansial, (3) Menyertakan opini stakeholder dalam pelaporan dan komunikasi CSR. Tiga pandangan ini didapatkan dari analisis Morsing dan Schultz terhadap data-data statistik yang dikumpulkan, dan menunjukkan bahwa stakeholder memiliki kebutuhan informasi yang unik.

Komunikasi CSR memang rentan dengan adanya reaksi skeptis dari stakeholder. Di satu sisi perusahaan ingin melegitimasi kepedulian sosial, dan menjadi cara bagi perusahaan untuk mencegah adanya rumor-rumor yang merusak citra perusahaan. Di sisi lain, perusahan bisa mendapatkan kritik apabila legitimasi perusahaan tersebut rupanya bertolak belakang dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Memenuhi kebutuhan komunikasi stakeholder cukup sulit untuk dipetakan apabila tidak ada kesamaan pemahaman dengan perusahaan. Pada pandangan umum, laporan kegiatan CSR secara terus menerus dinilai memberikan citra baik bagi perusahaan. Akan tetapi, riset yang dikutip justru menunjukkan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, publikasi minimal akan lebih sesuai dengan keinginan stakeholder.Terlihat di sini bahwa komunikasi CSR perlu diperlakukan berbeda dengan komunikasi pemasaran, dimana stakeholder perlu diterpa informasi secara terus menerus untuk memunculkan citra positif dari brand.

Secara keseluruhan, artikel jurnal yang ditulis oleh Morsing dan Schultz ini memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai komunikasi CSR yang unik. Penekanan pada teori sensegiving mendukung berlangsungnya etika-etika komunikasi CSR yang berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan stakeholder, seperti halnya program CSR itu sendiri. Alur komunikasi yang timbal balik dan transaksional membuat komunikasi CSR dimaksudkan sebagai proses komunikasi yang hidup dan dinamis, tidak otoriter namun memberikan ruang keterlibatan bagi stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun