Mohon tunggu...
caecilia patrice
caecilia patrice Mohon Tunggu... Freelancer - cae

remaja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ingatan Ikatan

20 November 2019   21:40 Diperbarui: 20 November 2019   21:45 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam yang sepi menguasai hatiku. Kota Jakarta yang tak kenal tidur terasa jauh dari telinga. Suara keributan di jalanan terbungkam oleh pikiran-pikiran yang menguasai otak. Untuk sejenak, aku melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 11 malam. Beberapa saat yang lalu, ibuku mendatangi kamarku dan menyuruhku untuk tidur. Tentu aku langsung menutupi muka dengan selimut dan berpura-pura tidur, tetapi aku yakin ibuku tahu aku sebenarnya masih terbangun dan kurasa ia tahu apa yang mengganggu pikiranku malam ini. 

Diriku masih belum bisa merelakan hal yang terjadi beberapa hari yang lalu. Mungkin ada bagian dariku yang belum dapat memproses segalanya dengan matang dan belum terbiasa merasakan duka. Kini pun aku masih diombang-ambing pilu. Entah. Suara ibuku lewat telepon masih bergema di kepalaku dan menghantuiku hingga saat ini. 

Sekarang aku terbaring, mencoba mengingat dengan kronologis apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya bisa berharap memori yang terpendam di lubuk kepala tidak menggentayangiku di bawah alam sadar. Aku tidak ingin ingat segalanya; seperti sarapanku pagi itu atau pakaian yang kupakai sampai sore, melainkan hanya hal yang penting, seperti sikap dan perasaanku pada saat itu, serta urutan kejadian.

Setelah kedua mataku terpejam, terasa semua inderaku menjadi lebih peka. Aku bisa merasakan segalanya. Suara ac yang berdengung di telinga, keharuman secangkir kopi yang kuseduh setengah jam lalu, dan nyamuk yang beberapa kali hinggap di kulitku. Kesunyian sesaat, lalu terdengar rintikan gerimis di luar. Sudah mau hujan, kutebak. 

Aku menyadari bahwa aku mulai terkecoh dengan keadaan sekelilingku. Memang dari dulu, dari aku masih kecil, otakku berjalan dengan cepat. Bukannya untuk menyombongkan diri, tapi memang. Terlalu cepat, hingga fokusku berpindah dari sono kemari dengan mudah. Aku sering kesusahan dalam memusatkan perhatianku kepada satu hal saja. 

Tadi aku sampai dimana? Oh, ya.

Aku ingat dengan tepat hari itu. Hari itu Kamis sore, satu hari sebelum ulangan akhir semester matematika. Aku dengan beberapa teman-temanku: Alyssa, Vinnie, dan Veren, biasa dipanggil Mun, berkumpul di rumah Vinnie untuk merangkum pelajaran. Selama waktuku bersama mereka, tidak ada perasaan janggal, tetapi hatiku masih terasa resah. Namun, karena aku adalah aku yang tidak memercayai takhayul, keresahan pun diabaikah. 

"Pesen pizza yuk!" seru salah satu dari mereka. Aku tak ingat, mungkin Mun. 

"Ga. Ga ada duit," ucap Vinnie, atau mungkin aku yang mengucapkan. 

"Cipe lu," gumam Mun. Keduanya kemudian bercekcok, sedangkan Alyssa diam-diam meminum Chatime yang ia beli, tidak ingin membesar-besarkan masalah. Aku hanya tertawa mendengar teman-temanku. 

Tak lama kemudian, kita berempat kembali belajar. Masing-masing dari kita menulis di kertas fotokopi yang dibawa oleh Mun. Di belakang, laptop Vinnie sedang memainkan lagu You're Gonna Live Forever In Me dari John Mayer. Kami ikut bersenandung mengikuti melodi lagunya. Semuanya tenang untuk beberapa jam.

Pukul 5.25 sore, telepon genggamku berdering. Jujur, ketika melihat nama ibuku di layar handphone, aku langsung gelisah. Tadi pagi, ibuku pergi ke rumah sakit bersama nenek untuk menjenguk kakek. Untuk beberapa bulan, kakekku sudah keluar masuk banyak rumah sakit. Mungkin sebagian dari diriku sudah menduga bahwa, suatu hari, ibuku akan tiba-tiba mengabarkan bahwa kakek meninggal dunia. 

Aku beranjak dari tempat dudukku dan berdiri tidak jauh dari yang lain. Saat aku mengangkat telepon, ibuku tetap sunyi. 

"Kenapa ma?" tanyaku dengan cemas.

"De.." 

"Iya, kenapa ma?" aku tanya lagi, kesabaranku mulai menipis.

"De, opa udah ga ada," suara ibuku kecil, seperti sedang menyembunyikan emosi. 

Seketika, mataku langsung berair. Aku yakin satu atau dua tetesan air mata sempat mengalir dari pipiku. Semuanya datang dengan terlalu tiba-tiba. "Hah?" seruku, tidak percaya.

"Opa udah ga ada," ujar ibuku lagi, kali ini lebih keras. "Tolong kasitahu cece sama koko, ya." Ibuku langsung menutup telepon, tidak memberikanku waktu untuk bertanya-tanya. Aku menatap layar telepon genggamku selama beberapa saat, lalu mengantunginya. Teman-temanku, memerhatikan aku yang mendadak tumbuh sunyi, lalu bertanya, "Kenapa?" 

"Opa gua meninggal," ucapku dengan suara yang serak, masih terkejut dengan kabar yang aku dapatkan. Mereka menatapku dengan ekspresi kaget sekaligus prihatin. Aku jalan ke tempat dudukku di lantai tadi, lalu bergelincir ke lantai karena tubuhku mulai lemas. Aku yang biasanya tak pernah ingin menunjukkan perasaan kini mengeluarkan isakan yang kencang, bergema di kamar Vinnie. Untuk beberapa saat, mereka mengerumuniku untuk menghibur dan meredakan tangisanku. Aku kurang ingat apa yang terjadi setelah itu, namun kami berempat mendadak tertawa terbahak-bahak; mungkin karena sesuatu yang dilakukan Mun.

Saat sedang tertawa, aku teringat pesan ibuku untuk mengabari kedua kakakku. Aku tidak tahu mengapa ibuku hanya menelponku, tapi sebagian dariku merasa harus bisa menanggung luka batin semacam ini karena aku memang biasa menunjukkan tampang yang tegar di depan keluargaku meskipun dalam keadaan sulit. Ketika aku menghubungi kakak-kakakku pun, aku mengambil sejenak untuk menelan ludah dan mencoba terdengar tenang. 

Setelah itu, aku dan kakakku yang kedua dijemput oleh tanteku. Dalam perjalanan ke rumah sakit, seisi mobil terasa suram. Ketegangan yang dibumbui oleh suara tangisan tante dan saudara-saudaraku yang lain terasa membekukan udara di dalam mobil. Sesampainya kami di rumah sakit, kami diantarkan ke belakang; ke arah kamar mayat. Saat masuk, aku berusaha untuk tidak mengakui keberadaan tubuh kakekku yang tergeletak begitu saja.

Ibuku, yang tangisannya tidak kunjung berhenti, berkata kepadaku, "Kamu harus liat. Pamit dulu sama opa." 

Aku tidak menyesal sudah melongok ke dalam peti, tapi untuk beberapa hari, wajah kakekku terbayang-bayang di pikiranku, seperti menggentayangiku setiap aku menutup mata. Ketika aku melihat wajahnya, kakiku melemas. Tangisan yang kupendam dalam perjalanan ke rumah sakit mulai keluar secara paksa. Aku berteriak, tapi bukan karena aku takut, melainkan karena wajah yang dulu selalu ceria menyapaku kini terlihat kaku dan asing. 

Untuk beberapa hari, tubuhku bergerak, tapi hanya sebagian dari diriku yang sadar. Aku terpaksa tidak mengikuti ujian akhir semester karena memilih untuk menemani keluargaku di rumah duka. Tubuhku berjalan seperti robot; hanya bergerak untuk menyediakan makanan dan minuman atau untuk menyambut tamu yang datang. Aku tidak merasa seperti diriku sendiri, hingga teman-temanku berkunjung. Alyssa, Veren, Vinnie, Rocano, dan Jonathan. Sampai sekarang aku masih bersyukur bahwa mereka sempat-sempatnya datang ke rumah duka. Saat mereka ada disana, separuh jiwaku seperti terbangun dari tidur, walau hari-hariku kembali monoton setelah itu.

Aku paling ingat malam terakhir di rumah duka. Malam itu, seluruh tenagaku terkuras karena menangis. Aku ingat menangis di kasur; tangisan yang hanya dihentikan keletihan tubuhku. Paginya, wajahku bengkak. Saat peti kakekku dikubur, itulah saatnya aku mulai bisa melepaskannya. Mungkin mentalku sudah terlalu lelah untuk berduka, tapi pada hari itu, aku merasa lebih tenang. Bahkan aku sempat tersenyum, meskipun bermaksud pasrah, saat petinya diselimuti tanah. 

Aku masih belum bisa melupakan ingatanku tentang ibuku selama beberapa hari itu. Ibuku mengalami kesakitan lebih besar daripada apa yang kualami. Ia sempat berkata kepadaku bahwa ia menyalahkan dirinya sendiri untuk  kematian ayahnya. Mendengar itu, dadaku tiba-tiba sesak dan jantungku terasa sakit. Aku ingin menghapuskan kesakitannya atau setidaknya memikulnya, tidak peduli dengan kesakitanku sendiri. 

Berbaring di atas ranjang ini, dilingkupi oleh kesunyian kamarku dan senyuman rembulan melalui jendelaku, aku sadar dan aku berandai-andai. Andaikan jika saat aku meninggalkan dunia ini, aku sekaligus memutuskan segala ikatanku dengan orang-orang yang kucintai, agar mereka tidak merasakan kepedihan yang kurasakan sekarang. Jika saat tubuhku ditutup oleh peti dan peti itu dikubur jauh dalam lubuk bumi, semua ingatan tentangku dan tentang hidupku di kepala orang yang menyayangiku lenyap begitu saja. 

Tapi aku juga sadar. Sadar bahwa tidak mungkin ada yang sanggup menjalani hidup jika tidak merasakan kesukaran. Tidak akan ada yang bisa menghargai kemanisan jika tidak pernah mencelupkan lidahnya ke dalam kepahitan. Kehilangan ini, sepahit apapun, kuharap dapat menjadi pelajaran untukku. Agar aku dapat menghargai semua sosok di dalam hidupku serta kasih yang mereka tunjukkan kepadaku. Lalu, agar aku juga dapat menghargai nafas hidup, walau terkadang, hidup terasa seperti jalan panjang yang berliku-liku sedangkan sumber air jauh dari kasat mata. Duka ini mungkin akan selamanya meninggalkan bekas di hatiku, tapi bekas di dalam hati tidak akan membuat kakiku pincang. Aku akan terus menjalani hidup, dan semuanya akan baik-baik saja.

Malam itu, setelah berjam-jam berpikir dengan kedua mata terpejam, diriku tertidur dengan pulas. 

Karya oleh Caecilia Patrice Yonandi 

Sekolah SMA Citra Kasih 

Kelas 11 IPS 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun