Mohon tunggu...
caecilia patrice
caecilia patrice Mohon Tunggu... Freelancer - cae

remaja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ingatan Ikatan

20 November 2019   21:40 Diperbarui: 20 November 2019   21:45 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 5.25 sore, telepon genggamku berdering. Jujur, ketika melihat nama ibuku di layar handphone, aku langsung gelisah. Tadi pagi, ibuku pergi ke rumah sakit bersama nenek untuk menjenguk kakek. Untuk beberapa bulan, kakekku sudah keluar masuk banyak rumah sakit. Mungkin sebagian dari diriku sudah menduga bahwa, suatu hari, ibuku akan tiba-tiba mengabarkan bahwa kakek meninggal dunia. 

Aku beranjak dari tempat dudukku dan berdiri tidak jauh dari yang lain. Saat aku mengangkat telepon, ibuku tetap sunyi. 

"Kenapa ma?" tanyaku dengan cemas.

"De.." 

"Iya, kenapa ma?" aku tanya lagi, kesabaranku mulai menipis.

"De, opa udah ga ada," suara ibuku kecil, seperti sedang menyembunyikan emosi. 

Seketika, mataku langsung berair. Aku yakin satu atau dua tetesan air mata sempat mengalir dari pipiku. Semuanya datang dengan terlalu tiba-tiba. "Hah?" seruku, tidak percaya.

"Opa udah ga ada," ujar ibuku lagi, kali ini lebih keras. "Tolong kasitahu cece sama koko, ya." Ibuku langsung menutup telepon, tidak memberikanku waktu untuk bertanya-tanya. Aku menatap layar telepon genggamku selama beberapa saat, lalu mengantunginya. Teman-temanku, memerhatikan aku yang mendadak tumbuh sunyi, lalu bertanya, "Kenapa?" 

"Opa gua meninggal," ucapku dengan suara yang serak, masih terkejut dengan kabar yang aku dapatkan. Mereka menatapku dengan ekspresi kaget sekaligus prihatin. Aku jalan ke tempat dudukku di lantai tadi, lalu bergelincir ke lantai karena tubuhku mulai lemas. Aku yang biasanya tak pernah ingin menunjukkan perasaan kini mengeluarkan isakan yang kencang, bergema di kamar Vinnie. Untuk beberapa saat, mereka mengerumuniku untuk menghibur dan meredakan tangisanku. Aku kurang ingat apa yang terjadi setelah itu, namun kami berempat mendadak tertawa terbahak-bahak; mungkin karena sesuatu yang dilakukan Mun.

Saat sedang tertawa, aku teringat pesan ibuku untuk mengabari kedua kakakku. Aku tidak tahu mengapa ibuku hanya menelponku, tapi sebagian dariku merasa harus bisa menanggung luka batin semacam ini karena aku memang biasa menunjukkan tampang yang tegar di depan keluargaku meskipun dalam keadaan sulit. Ketika aku menghubungi kakak-kakakku pun, aku mengambil sejenak untuk menelan ludah dan mencoba terdengar tenang. 

Setelah itu, aku dan kakakku yang kedua dijemput oleh tanteku. Dalam perjalanan ke rumah sakit, seisi mobil terasa suram. Ketegangan yang dibumbui oleh suara tangisan tante dan saudara-saudaraku yang lain terasa membekukan udara di dalam mobil. Sesampainya kami di rumah sakit, kami diantarkan ke belakang; ke arah kamar mayat. Saat masuk, aku berusaha untuk tidak mengakui keberadaan tubuh kakekku yang tergeletak begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun