Mohon tunggu...
Cadis Luz
Cadis Luz Mohon Tunggu... Nelayan - Sing tenang.

Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang terkadang membantuku, dan terkadang menentangku. Imam Ghazali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sandal Untuk Dodi

7 September 2019   16:23 Diperbarui: 7 September 2019   19:53 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ingin, adalah kata yang tepat untuk anak lelaki berumur tujuh tahun yang tengah duduk di depan masjid. Setiap sore, dia di sana. Kulitnya cokelat, wajahnya lusuh tak beda jauh dengan kaos dan celana yang ia kenakan.

Namanya Dodi. Anak yatim piatu yang tinggal sendiri di gubuk pinggiran kota dan bekerja sebagai pemulung. Dia tidak bisa bersekolah. Uang hasil memungut sampah hanya bisa untuk makan sehari-hari. Sayangnya, dia juga tidak pandai berteman. Selalu saja kena ejek karena alas kakinya yang jelek, bahkan sebenarnya itu sudah tidak layak pakai. Sandal jepit yang tengahnya disambung dengan rafia itu ia dapat dari memulung. Sebelumnya dia bahkan tidak pernah memakai alas kaki sama sekali.

Kedatangan anak itu setiap sore ke depan masjid adalah hanya untuk melihat sandal milik seorang anak yang seumuran dengannya yang datang untuk solat Asar bersama ayahnya. Sandal itu terlihat bagus, dan mahal. Dodi sendiri pernah sekali mencobanya diam-diam. Baginya sandal itu sangat keren, dan nyaman dikenakan.

Setelah hari itu, Dodi berniat untuk membeli sandal yang sama. Dia dengan berani menemui anak itu dan bertanya soal harga dan di mana ia membeli sandalnya.

Tiga bulan Dodi bekerja keras, memulung lebih banyak, berhemat. Akhirnya dia bisa mengumpulkan jumlah uang yang dibutuhkan. Dengan perasaan senang, anak itu segera menuju toko yang menjual sandal impiannya.

Namun, di tengah perjalanan, dia bertemu dengan anak-anak nakal. Langkah Dodi terhenti. Dia jelas tidak bisa melawan enam anak remaja yang menghadangnya. Dodi mundur satu langkah ke belakang, mereka maju dua langkah.

Dodi menelan ludah, keringat dingin bercucuran, uang tabungannya ia genggam dengan erat. Lantas, detik kemudian anak itu berbalik dan berlari. Terjadi kejar-kejaran antara Dodi dan keenam anak itu. Dodi berlari sekencang mungkin, tidak peduli arah. Lewat gang-gang sempit, menerobos lampu merah, dan berlari di tengah pasar. Namun, ke enam anak nakal itu berpencar, dan mengepung Dodi saat sampai di halaman depan pasar.

Anak itu menangis. “Jangan ambil uangku ... aku mohon!”

Salah satu dari mereka yang perawakannya paling tinggi menendang tubuh Dodi sampai tersungkur. Tetapi, anak itu masih menggenggam uang miliknya.

“Ah! Kau itu sudah mengambil jatah memulung kami!” kata anak berbadan tinggi itu. Ternyata, keenam anak itu adalah pemulung yang memungut sampah di wilayah yang sama dengan Dodi. Sudah lama mereka memperhatikan anak itu, dan menantikan momen hari ini.

Uang tabungan akhirnya terampas dari tangan Dodi. Keenam anak itu lalu pergi, meninggalkan Dodi yang menangis sendiri di tengah keramaian orang-orang yang tidak peduli dengannya.

Setelah hari itu, Dodi selalu saja berwajah murung. Setiap ia melihat sandal itu berada di depan masjid rasanya menyakitkan hatinya. Kemudian, timbul pikiran yang selama ini tidak pernah terlintas.

Dodi berjalan mendekati halaman masjid, napasnya memburu ketika semakin dekat dirinya dengan sandal itu. Terdengar suara takbir imam masjid. Tepat setelah itu, tidak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya. Dodi dengan berani mengambil sandal tersebut, kemudian berlari kencang. Dalam hati berharap, tindakannya itu tidak berdampak buruk. Tetapi satu hal yang ia lupa. Karung sampahnya tertinggal di depan masjid.

Beberapa menit kemudian solat selesai. Anak pemilik sandal itu kebingungan saat menyadari sandalnya tidak ada. Kemudian ayahnya melihat karung sampah tersebut, lantas menghela napas pelan.

“Nanti kita beli lagi yang baru, Nak,” katanya. Si anak diam, dan menuruti kata ayahnya.

Sementara itu, Dodi di rumah sempitnya memandangi sandal impiannya tersebut tanpa berani memakainya.

Malam harinya, Dodi ke depan masjid berniat ingin mengambil karung sampah yang tertinggal. Tetapi, karung sampahnya sudah tidak ada. Anak itu lantas ketakutan. Dia mengira akan ketahuan dan bisa jadi lebih buruk.

Dodi kembali ke rumahnya, lantas meyakinkan diri besok harus mengembalikan sandal itu, dan mengakui kesalahannya.

Anak itu, walaupun ia seorang pemulung, tetapi suka kejujuran. Meski ia takut melakukannya.

Besoknya, sore hari sebelum azan asar berkumandang. Dodi sudah sampai di depan masjid, dia meletakkan sandal itu di tempat yang sama saat ia mencurinya. Saat Dodi berbalik, sudah ada anak si pemilik sandal. Ia membawa karung sampah milik Dodi.

“Ini milikmu? Kemarin aku nemu di depan masjid,” katanya lalu tersenyum.

Dodi menunduk, lalu menangis sesenggukan dan mengakui kesalahannya.

“Dan ini juga untukmu.” Anak pemilik sandal memberikan sandal yang sama dengan miliknya. Baru, dengan warna yang berbeda.

Dodi menerimanya dengan tangan gemetar. Dia tidak sanggup berkata apa-apa, bahkan untuk mengucapkan ‘terima kasih’.

“Solat bareng, yuk. Sebentar lagi asar,” ajak si anak pemilik sandal.

Dodi mengangguk cepat sebagai jawaban, ia segera mengusap air matanya. Mereka lalu bersama-sama masuk ke masjid.

Setelah kedua anak itu mengambil air wudu, Dodi berhenti di depan pintu masjid.

“Kenapa berhenti?” tanya si pemilik sandal.

“Terima kasih buat semuanya. Maaf aku mencuri sandalmu kemarin.”

Anak pemilik sandal lalu merangkul teman barunya. “Kata ayah, kalau memberi harus yang paling bagus. Kau tidak pantas menerima sandal bekas kupakai.”

Dodi berkaca-kaca, dia menangis lagi. Berkali-kali dari mulutnya mengucapkan kata terima kasih. Mereka saling berpelukan. Kemudian si pemilik sandal mengulurkan tangannya. Ia memperkenalka diri.

“Namaku ... Dodi,” ucapnya sembari tersenyum.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun