Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dokumen Perang #1

21 Mei 2021   17:01 Diperbarui: 21 Mei 2021   17:06 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku membaca sebuah tulisan---yang entah apa bentuknya---di meja kerjaku. Tak bisa kutebak dari mana datangnya tulisan ini, yang jelas teks di dalam kertas ini tampaknya ditulis dengan terburu-buru. Aku bisa menduga hal itu dari bentuknya yang berubah-ubah, dari tekanannya yang pertama-tama kuat dan semakin mengendur. 

Tinta yang tertuang dalam teks itu perlahan-lahan menjadi samar. Dari bahasanya, kira-kira tulisan ini ditulis oleh seseorang yang berada dalam wilayah konflik, dan tampaknya ia merupakan korban. Tak ada sumber yang menginformasikan tulisan ini, misalnya lokasi, uraian singkat tentang konflik, atau bahkan nama yang menulisnya. Berikut tulisannya.

"Hari itu ada sekitar 50 tentara bersenjata lengkap datang ke permukiman kami. Terlihat pula beberapa puluh tentara menunggu di bukit yang lebih tinggi. Aku tidak tahu jumlah pasti mereka, yang jelas mereka ada banyak, tetapi tak sebanyak yang datang ke permukiman kami. Semua orang ketakutan dan menjerit. Sebagian besar lari entah ke mana, sebagian bersembunyi di rumah masing-masing, sebagian tertegun di tempat pertama kali mereka menyadari kedatangan 50 tentara bersenjata lengkap itu.

"Beberapa tentara yang datang mulai menembakkan peluru ke udara, dan asap putih menyembul entah dari mana. Aku mendengar pula suara ledakan. Ledakan yang cukup besar. Kira-kira bisa menghancurkan satu rumah besar bila tepat sasaran. Aku tidak melihat ledakan itu, hanya menangkap suaranya yang memekakan telinga. Tersisa bunyi melengking yang menyakitkan.

"Tentara-tentara itu mulai menendang penduduk yang berada di hadapan mereka. Sepatu besar yang mereka kenakan melayang tepat ke wajah, dada, atau perut penduduk. Hal itu membuatku merinding, tetapi aku tidak berlari---aku tidak tahu kenapa. Tidak ada rasa takut, tidak ada perasaan terancam. Namun aku tahu bahwa permukiman kami sedang diserang.

"Jendela-jendela dihancurkan oleh laras senapan mereka. Kini suara peluru berdesing kencang. Mereka mulai menembaki kami. Penduduk yang semula hanya bisa mematung kini tergopoh-gopoh melarikan diri. Aku lihat seorang perempuan terkapar. Dari perutnya mengalir darah kental. Ia orang pertama yang ditembak. Suara huru-hara kian nyaring dan menciptakan nuansa yang mencekam. Kini suara ledakan itu lagi. Asap hitam membumbung dari ujung jalan. Tentara yang semula bersembunyi di bukit mulai bergerak. Mereka membawa mortar dan segera memasangnya di tanah. Aku tahu mereka pasti akan meledakkan permukiman kami.

"Kini aku menyadari bahwa semua ini berbahaya, dan aku harus segera menyelamatkan diriku. Maka aku pun berlari sekuat tenaga. Namun rasa penasaran menyergapku. Apa lagi yang akan mereka lakukan? Berapa orang yang akan mereka bunuh? begitulah yang ada di dalam benakku. Meski demikian, aku terus berlari sambil mendengar ledakkan yang lebih kencang. Aku kira mereka telah selesai memasang mortar dan mulai menembakkan missil. Pada saat itu aku ...."

Aku tidak meneruskan membacanya. Siapa yang menulis ini? Di manakah kejadian ini berlangsung? Siapa yang menyerang dan siapa yang menyerang? Siapa penjahat dan siapa korban? Aku tidak bisa menebaknya. Mungkin aku akan menemukan jawabannya apabila aku meneruskan membaca, tetapi aku tidak memiliki keinginan untuk meneruskannya namun rasa penasaran menyergapku.

Kenapa orang-orang berperang? Kenapa orang-orang membunuh? Ada ribuan jawaban, tetapi bukankah semua jawaban itu hanyalah pembenaran? Aku merasa jijik. Kulihat jendela, orang-orang berlalu-lalang tanpa harus mengkhawatirkan peperangan di sini. Belahan bumi mana kiranya yang tidak bisa menyediakan kedaiaman bagi orang-orang yang menjalani hidup? Sekelebat jawaban melintas di dalam benakku: di belahan bumi yang menyimpan berbagai sumber daya. Di sana tidak akan pernah ada kedamaian. Namun, itu tentu saja hanyalah asumsi tak berdasar.

Karena suasana terlalu hening dan hatiku terlalu gelisah, kuputar sebuah lagu, Act Naturally yang dimainkan oleh Buck Owens. Kuteruskan saja membaca tulisan tadi.

"...aku merasakan dadaku bergejolak hebat. Aku merasa mulai tersinkronasi dengan realitas. Rasa takut dan terancam yang semula tiada kini membuncah dan menggerayangi sekujur tubuhku. Sesaat setelah menyadari itu aku dengar jerit-jerit kesakitan orang-orang yang juga tengah berlarian bersamaku. Orang-orang tua, perempuan-perempuan, anak-anak, semua berlari. Yang semula bersembunyi di rumahnya pun merasa tidak aman setelah mendengar ledakan dan memutuskan untuk pergi menjauh. Meski demikian, tidak sedikit dari penduduk yang tumbang oleh peluru atau ledakan missil. Aku mencium aroma mesiu yang begitu mengerikan. Aroma yang menyiksa psikologi.

"Tentara-tentara itu semakin membabi-buta. Aku melihat juga dari jauh beberapa tank bergerak ke permukiman kami. Kendaraan yang begitu mengerikan. Kendaraan yang diciptakan untuk menghancurkan sesuatu---dan kamilah sesuatu itu!

"Kami masih terus berlari, tetapi tentara-tentara itu mengejar kami tanpa lelah. Dari belakang, mereka terus menembakkan peluru---seolah-olah secara acak. Beberapa dari kami ada yang---sialnya---terkena tembakan itu dan tumbang. Sekitar empat puluh orang sudah terkapar, dan tentara-tentara yang berlarian mengejar kami sebagian berhenti untuk memeriksa mereka. Barangkali memastikan apakah mereka sudah mati atau hanya berpura-pura mati. Mereka menusuk penduduk yang terkapar dengan belati."

Aku bergidik. Sudah sekian lama aku membaca banyak cerita, tetapi baru kali ini aku merasakan sebuah cerita yang tidak terasa seperti sebuah cerita belaka. Melainkan seperti sebuah pengungkapan pengalaman konkret. Tidak ada aroma fiksi, tetapi aku juga tak bisa memastikan bahwa ini bukanlah fiksi.

Ratusan buku, berita, siaran, mengenai peperangan sudah kusimak, tetapi aku hanya merasa bahwa informasi matang semacam itu justru mengurangi nilai realismenya. Namun kisah ini, catatan ini, yang dari sudut tertentu dapat dinilai mentah ternyata dapat dinilai matang dari sudut yang lain.

Beat musik agak cepat, ternyata lagu sudah berpindah ke Promised Land yang dimainkan oleh Elvis Presley. Aku mengangguk-angguk mengikuti beat musik sembari menyeka keringat di dahi. Kuambil heineken dari kulkas, membuka tutupnya dan meminumnya. Hmm... aku masih penasaran dengan tulisan ini. Lagipula masih pukul delapan malam. Aku ada janji jam sembilan malam. Masih ada satu jam. Maka kulanjutkan membaca.

"Aku panik dan tidak tahu lagi harus berbuat apa selain berlari. Berpikir bisa berlindung di balik bangunan justru terkesan seperti lelucon. Mereka akan terus memburu kami. Setelah berlari cukup jauh, aku memasuki kebun dan melompat dengan cepat, kemudian aku tiarap karena perasaan yang tidak keruan. Lelah dan takut. Perasaan dikejar yang tak mungkin dimengerti oleh mereka yang selalu hidup aman.

"Aku tak melihat orang lain. Pandanganku seluruhnya terhalang oleh rerumputan tinggi. Kini suara ledakan itu lagi, disusul dengan suara rentetan peluru yang seperti dimuntahkan semuanya. Kebisingan ngeri membumbung ke langit. Suara anak-anak yang menjerit seperti suara guntur yang sekilas---melengkikng sekilas dan bungkam dengan begitu cepat menjadi kesunyian yang aneh. Aku mungkin akan mati kalau aku berdiri dan menampakkan diri.

"Setelah rentetan peluru itu berhenti, para tentara bergerak cepat meneruskan pengejaran. Sebagian besar dari mereka sudah memasuki kebun dan menembak secara acak. Area tembakan mereka tidak terlalu jauh dari area kepalaku, tetapi aku ...."

Saat itu aku memandang ke jendela. orang-orang masih merayap di dalam kendaraan masing-masing. Ke manakah mereka hendak pergi? Aku tidak tahu. Sudah pukul delapan lebih lima belas. Mungkin aku harus bersiap-siap. Kusimak Queen of Hearts yang dimainkan Juice Newton sebelum mematikannya. Kunyalakan rokok. Kulihat kembali kertas itu.

"...tetapi aku segera menyadari bahwa sebuah missil menukik dan akan segera mendarat di atas kepalaku."

Tidak ada lagi lanjutannya. Dengan lengan yang agak gemetar, kumasukkan kertas itu ke dalam laci, kemudian mengenakan sepatu dan jaket. Setelah mengeluarkan seluruh asap dari paru-paruku, ada ruang kosong yang tersisa di sana. 

Semacam kekosongan yang berdenyut. Bagaimanakah nasib orang yang menulis kisah ini, atau orang yang diceritakan di dalam kisah ini? Mungkin mati, mungkin tidak. Yang jelas, aku harus segera pergi. Sebentar lagi jam sembilan. Aku tidak boleh membuat perempuan menunggu.

--

Kuningan, 21 Mei 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun