"Tentara-tentara itu semakin membabi-buta. Aku melihat juga dari jauh beberapa tank bergerak ke permukiman kami. Kendaraan yang begitu mengerikan. Kendaraan yang diciptakan untuk menghancurkan sesuatu---dan kamilah sesuatu itu!
"Kami masih terus berlari, tetapi tentara-tentara itu mengejar kami tanpa lelah. Dari belakang, mereka terus menembakkan peluru---seolah-olah secara acak. Beberapa dari kami ada yang---sialnya---terkena tembakan itu dan tumbang. Sekitar empat puluh orang sudah terkapar, dan tentara-tentara yang berlarian mengejar kami sebagian berhenti untuk memeriksa mereka. Barangkali memastikan apakah mereka sudah mati atau hanya berpura-pura mati. Mereka menusuk penduduk yang terkapar dengan belati."
Aku bergidik. Sudah sekian lama aku membaca banyak cerita, tetapi baru kali ini aku merasakan sebuah cerita yang tidak terasa seperti sebuah cerita belaka. Melainkan seperti sebuah pengungkapan pengalaman konkret. Tidak ada aroma fiksi, tetapi aku juga tak bisa memastikan bahwa ini bukanlah fiksi.
Ratusan buku, berita, siaran, mengenai peperangan sudah kusimak, tetapi aku hanya merasa bahwa informasi matang semacam itu justru mengurangi nilai realismenya. Namun kisah ini, catatan ini, yang dari sudut tertentu dapat dinilai mentah ternyata dapat dinilai matang dari sudut yang lain.
Beat musik agak cepat, ternyata lagu sudah berpindah ke Promised Land yang dimainkan oleh Elvis Presley. Aku mengangguk-angguk mengikuti beat musik sembari menyeka keringat di dahi. Kuambil heineken dari kulkas, membuka tutupnya dan meminumnya. Hmm... aku masih penasaran dengan tulisan ini. Lagipula masih pukul delapan malam. Aku ada janji jam sembilan malam. Masih ada satu jam. Maka kulanjutkan membaca.
"Aku panik dan tidak tahu lagi harus berbuat apa selain berlari. Berpikir bisa berlindung di balik bangunan justru terkesan seperti lelucon. Mereka akan terus memburu kami. Setelah berlari cukup jauh, aku memasuki kebun dan melompat dengan cepat, kemudian aku tiarap karena perasaan yang tidak keruan. Lelah dan takut. Perasaan dikejar yang tak mungkin dimengerti oleh mereka yang selalu hidup aman.
"Aku tak melihat orang lain. Pandanganku seluruhnya terhalang oleh rerumputan tinggi. Kini suara ledakan itu lagi, disusul dengan suara rentetan peluru yang seperti dimuntahkan semuanya. Kebisingan ngeri membumbung ke langit. Suara anak-anak yang menjerit seperti suara guntur yang sekilas---melengkikng sekilas dan bungkam dengan begitu cepat menjadi kesunyian yang aneh. Aku mungkin akan mati kalau aku berdiri dan menampakkan diri.
"Setelah rentetan peluru itu berhenti, para tentara bergerak cepat meneruskan pengejaran. Sebagian besar dari mereka sudah memasuki kebun dan menembak secara acak. Area tembakan mereka tidak terlalu jauh dari area kepalaku, tetapi aku ...."
Saat itu aku memandang ke jendela. orang-orang masih merayap di dalam kendaraan masing-masing. Ke manakah mereka hendak pergi? Aku tidak tahu. Sudah pukul delapan lebih lima belas. Mungkin aku harus bersiap-siap. Kusimak Queen of Hearts yang dimainkan Juice Newton sebelum mematikannya. Kunyalakan rokok. Kulihat kembali kertas itu.
"...tetapi aku segera menyadari bahwa sebuah missil menukik dan akan segera mendarat di atas kepalaku."
Tidak ada lagi lanjutannya. Dengan lengan yang agak gemetar, kumasukkan kertas itu ke dalam laci, kemudian mengenakan sepatu dan jaket. Setelah mengeluarkan seluruh asap dari paru-paruku, ada ruang kosong yang tersisa di sana.Â