Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelacur Itu Mati Hari Ini

7 Agustus 2018   01:19 Diperbarui: 8 Agustus 2018   12:10 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Pelacur itu mati hari ini. Mayatnya ditemukan di sebuah rumah bordil yang kumuh dan tersembunyi di sudut kota. Tidak ada yang berduka akibat kematiannya, apalagi meneteskan air mata. Mereka bahkan memandangi tubuhnya yang telanjang itu dengan tatapan sinis, dan beberapa lainnya seperti senang. Mereka seperti sedang memandangi bangkai seekor tikus yang selama ini mengganggu kehidupannya.

            Aku sekarang berada di antara mereka, orang-orang yang sedang berbisik-bisik tentang kematian pelacur itu. Aku merasa ada yang menusuk dadaku ketika mendengar kalimat yang mereka lontarkan satu sama lain.

“Akhirnya mampus juga wanita jalang itu. Cuih!”

“Ya. Sudah lama aku menantikan kematiannya. Buang saja bangkainya ke laut. Tanah ini terlalu suci bagi pendosa sepertinya!”

“Aku setuju! Kalau perlu, kita kencingi dahulu bangkainya sebelum dibuang ke laut. Biar tahu rasa!”

“Tentu saja. Dia butuh air yang banyak untuk mendinginkan tubuhnya. Sebab, dia akan dimasukkan ke lubang neraka! Hahaha ....”

Sungguh dadaku merasa ditusuk oleh sebilah pisau, dan kemudian pisau itu digerakkan ke atas dan ke bawah hingga paru-paruku sobek dan darahku tumpah ke tanah layaknya air mancur. Aku lihat mereka mengumpat, dan kemudian meludah dengan wajah penuh amarah. Aku sungguh tidak menyangka kematian pelacur itu akan menjadi pembicaraan yang menggema ke seantero kota. Mereka menghinanya habis-habisan, padahal mereka juga tidak jarang berada di rumah bordil itu dan menyewanya ketika istri mereka di rumah sudah dirasa kendor dan tidak menarik. Aku benar-benar tidak terima. Aku ingin melihat apa yang akan mereka lakukan kepada mayat pelacur itu.

            Sebuah bangunan kumuh di ujung kota. Tempat ini benar-benar terselubung. Pantas saja banyak orang, termasuk yang mengklaim bahwa dirinya adalah orang suci, sering bertamasya ke tempat ini. Nama baik mereka tidak akan rusak, sebab, segala aktivitas yang ada di rumah bordil ini begitu rahasia. Ah, orang-orang suci itu, yang berbicara tentang surga dan neraka itu, ternyata tidak bisa menolak  untuk menikmatinya juga. Pada waktu tertentu ketika mengingatnya, aku ingin terbahak-bahak, tetapi, pada waktu tertentu pula, aku ingin sangat marah.

            Penjaga rumah bordil itu adalah seorang pria paruh baya, berperawakan tambun, rambutnya agak jarang, tidak berkumis dan berjanggut, matanya selalu tampak seperti orang mabuk, lengannya dihiasi banyak gelang emas, mulutnya selalu bau alkohol. Hanya saja, wajahnya tiba-tiba redup ketika menatapku. Ia sangat tahu bahwa pelacur yang mati itu adalah pelacur yang paling sering aku sewa dahulu, sebelum memutuskan untuk pergi dari kota yang penuh dusta ini. Ia mempersilakan aku untuk masuk. Dari gelagatnya, ia seperti memberitahu bahwa pelacur itu masih belum dikuburkan, atau dibuang ke laut. Sama sekali belum ada orang yang menyentuhnya setelah dia mati. Aku kemudian masuk untuk memastikannya sendiri.

            Bau anyir, kendi-kendi berisi anggur, selendang-selendang putih yang bergantungan di tepi pintu, ukiran kayu berbentuk kelamin lelaki, suara bisik-bisik ... suara bisik-bisik. Aku menerobos kerumunan orang yang sedang dengan terselubung maupun terbuka mengumpat kematian pelacur itu. Mereka, orang-orang yang sama denganku, membicarakan hal yang sama dengan para orang suci di luar sana, surga dan neraka. Hendak berlabuh di manakah pelacur itu setelah kematiannya? Hampir semuanya dengan tegas menyatakan bahwa neraka adalah tempat kembalinya. Aku tidak terlalu yakin. Aku bukan orang beragama. Bahkan, aku tidak berhak berpikir bahwa aku orang beragama. Kenapa? Karena aku adalah orang yang sering mengunjungi tempat ini, sama seperti mereka, orang suci yang berbicara tentang surga dan neraka itu. Aku lihat mayat pelacur itu terkulai lemas. Matanya menyorotkan ketakutan. Di sudutnya masih ada sisa air mata yang belum mengering. Tubuhnya telanjang. Payudaranya yang kendur menggantung ke arah lantai. Wajahnya lebam. Dahinya berdarah. Mulutnya menganga, berbusa. Lidahnya menjulur ke luar. Rambutnya kusut, tidak seperti biasanya, terawat dan indah. Sehelai selendang yang dibuntal-buntal melilit lehernya. Apakah ia mati dicekik seseorang? Seseorang yang telah menikmati tubuhnya juga, dan kemudian membunuhnya? Edan! Pelacur itu benar-benar mati dalam keadaan yang menyedihkan. Tak terasa air mataku menetes. Aku tak percaya bahwa orang tak beragama sepertiku bisa menangis, yang artinya, aku masih memiliki perasaan. Aku kira kehidupan ini sudah tidak memiliki arti apapun di mataku, ternyata hal itu tidak sepenuhnya tepat. Aku masih bisa merasa kehilangan. Aku merasa kehilangan seorang wanita yang konon disebut orang sebagai pendosa, sebagai orang hina, sebagai penghuni neraka. Aku benar-benar penasaran, apa yang telah ia lakukan sampai dipandang serendah itu? Apa hanya karena ia menjual harga dirinya? Setidaknya dia masih memiliki harga! Aku tidak paham kenapa orang-orang mencibirnya dengan sebegitu kentara. Bukankah pelacur itu telah berkorban untuk memberi kenikmatan kepada orang-orang penuh nafsu dengan bayaran yang sama sekali tidak sepadan? Apakah mereka yang menyewa pelacur tidak sama buruknya dengan pelacur itu, atau bahkan lebih buruk? Apa mereka yang datang ke sini merasa lebih baik dari pelacur itu? Lalu, apakah tujuan mereka datang ke sini bukanlah suatu kehinaan? Terlalu banyak orang yang tidak mau berkaca. Terlalu banyak orang yang merasa dirinya paling benar. Terlalu banyak orang yang merasa terhindar dari dosa. Terlalu banyak orang yang merasa dirinya paling suci! Cuih!

            Kudekati mayat pelacur itu. Wajahnya masih secantik seperti ketika ia hidup. Ia tak harus merasakan lagi penderitaan di dunia ini, tetapi apakah setelah kematiannya ia tidak akan mengalami penderitaan lagi? Aku tahu bahwa ia menjadi pelacur bukan karena kehendaknya. Ia menjadi pelacur karena ancaman tuhan. Ya, tuhan yang banyak dipuja-puji oleh orang kebanyakan. Tuhan yang konon bisa memberi ketentraman, ketenangan, kemashyuran, dan kebahagiaan. Tuhan yang banyak dipuji oleh mereka telah menyeret seorang gadis suci menjadi seorang pelacur yang hina di mata manusia. Dan hari ini, ia mati dalam keadaan yang hina pula. Beberapa pasang mata kini mulai mengalihkan perhatiannya padaku. Tangisanku akhirnya pecah tanpa aku sadari. Mereka akhirnya memasang tatapan yang sama padaku seperti mereka menatap pelacur itu—sinis. Kuseka air mata dan pipiku yang basah. Kugenggam tangan pelacur itu. Dingin. Aku masih ingin menangis, namun aku sadar, air mataku hanya akan membuat banyak orang berpikir tidak karuan. Tidak satu orang pun yang menangis di sana. Ya, mereka sedikit pun tidak terlihat bersedih. Mereka malah tertawa sinis, berbisik-bisik, mengumpat. Apakah benar mereka orang-orang beragama? Ah! Anjing!

            “Hentikan tatapan itu! Hentikan cibiran itu!” teriakku.

Mereka mengernyitkan dahi dan masih berbisik-bisik sambil menatapku. Aku tidak akan membiarkan pelacur itu menderita lagi setelah melewati penderitaan panjang di dalam hidupnya. Aku akan berusaha membuatnya mati dalam ketenangan. Aku merengkuh mayat pelacur itu, kemudian menggendongnya. Akan aku bawa ke suatu tempat untuk menguburkannya dengan layak. Aku yakin, setiap manusia masih berhak beristirahat di bumi ini, di tanah ini, di kuburan dengan penanda yang pasti. Beberapa orang datang. Mereka adalah orang-orang suci. Orang yang dipercaya menjadi tetua di kota ini. Orang yang paling didengar nasihatnya.

            “Hei! Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan binatang jalang itu!”

            “Cepat turunkan! Kami akan segera membuang bangkainya ke laut!”

Aku menggelengkan kepala. Kubalas tatapan mereka dengan tatapan yang sama, tatapan yang nanar. “Biarkan aku yang mengurus mayatnya!” Kulihat bola mata orang-orang suci itu memerah. Mereka kemudian berteriak. “Anjing! Turunkan...!” Beberapa orang berlari ke arahku. Mereka kemudian melompat dan memukul wajahku. Aku tersungkur. Mayat pelacur itu pun terlepas dari genggamanku. “Kalian ini orang beragama. Kalian harusnya menghormati sesama manusia!” ucapku. Mereka sejenak tertawa dan menatap satu sama lain. Darah mengucur dari lubang hidungku. Seseorang dari mereka mendekat, tepat di depan wajahku. “Hei, Pemuda, kami akan menghormatinya bila ia memang manusia. Tapi ia anjing, dan agama kami tidak mempermasalahkan bila kami tidak menghormati anjing!” Satu pukulan lagi melayang ke arahku. Aku mencoba melawan, tapi jumlah mereka banyak, terlalu banyak. Aku dipukuli terus menerus. Bogem mentah melayang ke dahiku, hidungku, bibirku. Penglihatanku kabur. Pikiranku kalut. Aku tidak mengerti kenapa orang bergama melakukan hal semacam ini. Aku tidak mengerti apa yang agama ajarkan pada orang-orang hingga tega melakukan ini. Aku tidak mengerti untuk apa agama diciptakan. Jika agama hanyalah dalih untuk menindas sesama, aku tidak pernah menyesal tidak mempercayainya, dan bahkan membencinya. Mereka memukuliku terus menerus. Di sisa-sisa tenagaku, kulihat pelacur itu masih tergolek di tempat semula ia jatuh dari pangkuanku. Dua orang menyeretnya dengan keji. Aku mulai hilang kesadaran. Kurasakan kaki mereka menghantam wajahku dengan bertubi-tubi. Wajahku terasa remuk, dan dunia ini menjadi gelap.

***

            Debur ombak menabrak karang. Buih-buih lautan terhampar ke kakiku. Matahari terlihat hendak terbenam di cakrawala. Beberapa burung terbang melewati riak permukaan laut. Mereka menjelma siluet. Senja di ufuk barat benar-benar membara, membuat semua yang berada di depannya menjelma bayangan abadi yang legam. Angin berdesir kencang menyibak rambut ikalku yang memanjang sebahu. Aku berjalan menyisir pantai. Menerka-nerka nama tempat keberadaanku. Tak kusaksikan ada orang lain di sini. Kudengar suara ombak yang riuh masih berkecamuk setelah terlempar ke pesisir pantai. Di ujung pantai, sebongkah sinar berwarna putih menyilaukan mataku. Cahayanya lebih menyilaukan ketimbang cahaya matahari yang hendak terbenam di cakrawala. Seseorang berjalan dari sumber cahaya itu. Rambut panjangnya, tubuh moleknya, gaun bak seorang putri yang dikenakannya. Ia berjalan ke arahku. Wajahnya samar-samar, separuh siluet. Semakin dekat, semakin jelas wajahnya. Ia tersenyum. Cantik sekali wanita itu. Ia mengulurkan tangan, mencoba mengajakku ke suatu tempat, entah ke mana. Aku tak tahu lagi tempatku di dunia ini, jadi untuk apa menolaknya? Kugenggam tangannya. Hangat. Bola matanya memancarkan kesahajaan. Aku melangkah perlahan sesuai ajakannya. Menuju ke sebongkah cahaya itu.

“Mari kita pulang ...,” ucap wanita itu sembari tersenyum berseri.

Semakin jauh kami melangkah menuju seberkas sinar itu, semakin kukenal perangainya. Ya, aku akan pergi denganmu ke sebuah tempat di mana kita bisa berbagi apa saja tanpa hinaan, makian, cercaan, dan tanpa gangguan orang-orang yang gemar membahas tentang surga dan neraka tanpa mampu menatap ke dalam hatinya sendiri. Aku berjanji, akan melindungi di sana, pelacurku ... kekasihku.

Di Tasikmalaya

1:11 AM, 7 Agustus 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun