Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelacur Itu Mati Hari Ini

7 Agustus 2018   01:19 Diperbarui: 8 Agustus 2018   12:10 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            “Hentikan tatapan itu! Hentikan cibiran itu!” teriakku.

Mereka mengernyitkan dahi dan masih berbisik-bisik sambil menatapku. Aku tidak akan membiarkan pelacur itu menderita lagi setelah melewati penderitaan panjang di dalam hidupnya. Aku akan berusaha membuatnya mati dalam ketenangan. Aku merengkuh mayat pelacur itu, kemudian menggendongnya. Akan aku bawa ke suatu tempat untuk menguburkannya dengan layak. Aku yakin, setiap manusia masih berhak beristirahat di bumi ini, di tanah ini, di kuburan dengan penanda yang pasti. Beberapa orang datang. Mereka adalah orang-orang suci. Orang yang dipercaya menjadi tetua di kota ini. Orang yang paling didengar nasihatnya.

            “Hei! Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan binatang jalang itu!”

            “Cepat turunkan! Kami akan segera membuang bangkainya ke laut!”

Aku menggelengkan kepala. Kubalas tatapan mereka dengan tatapan yang sama, tatapan yang nanar. “Biarkan aku yang mengurus mayatnya!” Kulihat bola mata orang-orang suci itu memerah. Mereka kemudian berteriak. “Anjing! Turunkan...!” Beberapa orang berlari ke arahku. Mereka kemudian melompat dan memukul wajahku. Aku tersungkur. Mayat pelacur itu pun terlepas dari genggamanku. “Kalian ini orang beragama. Kalian harusnya menghormati sesama manusia!” ucapku. Mereka sejenak tertawa dan menatap satu sama lain. Darah mengucur dari lubang hidungku. Seseorang dari mereka mendekat, tepat di depan wajahku. “Hei, Pemuda, kami akan menghormatinya bila ia memang manusia. Tapi ia anjing, dan agama kami tidak mempermasalahkan bila kami tidak menghormati anjing!” Satu pukulan lagi melayang ke arahku. Aku mencoba melawan, tapi jumlah mereka banyak, terlalu banyak. Aku dipukuli terus menerus. Bogem mentah melayang ke dahiku, hidungku, bibirku. Penglihatanku kabur. Pikiranku kalut. Aku tidak mengerti kenapa orang bergama melakukan hal semacam ini. Aku tidak mengerti apa yang agama ajarkan pada orang-orang hingga tega melakukan ini. Aku tidak mengerti untuk apa agama diciptakan. Jika agama hanyalah dalih untuk menindas sesama, aku tidak pernah menyesal tidak mempercayainya, dan bahkan membencinya. Mereka memukuliku terus menerus. Di sisa-sisa tenagaku, kulihat pelacur itu masih tergolek di tempat semula ia jatuh dari pangkuanku. Dua orang menyeretnya dengan keji. Aku mulai hilang kesadaran. Kurasakan kaki mereka menghantam wajahku dengan bertubi-tubi. Wajahku terasa remuk, dan dunia ini menjadi gelap.

***

            Debur ombak menabrak karang. Buih-buih lautan terhampar ke kakiku. Matahari terlihat hendak terbenam di cakrawala. Beberapa burung terbang melewati riak permukaan laut. Mereka menjelma siluet. Senja di ufuk barat benar-benar membara, membuat semua yang berada di depannya menjelma bayangan abadi yang legam. Angin berdesir kencang menyibak rambut ikalku yang memanjang sebahu. Aku berjalan menyisir pantai. Menerka-nerka nama tempat keberadaanku. Tak kusaksikan ada orang lain di sini. Kudengar suara ombak yang riuh masih berkecamuk setelah terlempar ke pesisir pantai. Di ujung pantai, sebongkah sinar berwarna putih menyilaukan mataku. Cahayanya lebih menyilaukan ketimbang cahaya matahari yang hendak terbenam di cakrawala. Seseorang berjalan dari sumber cahaya itu. Rambut panjangnya, tubuh moleknya, gaun bak seorang putri yang dikenakannya. Ia berjalan ke arahku. Wajahnya samar-samar, separuh siluet. Semakin dekat, semakin jelas wajahnya. Ia tersenyum. Cantik sekali wanita itu. Ia mengulurkan tangan, mencoba mengajakku ke suatu tempat, entah ke mana. Aku tak tahu lagi tempatku di dunia ini, jadi untuk apa menolaknya? Kugenggam tangannya. Hangat. Bola matanya memancarkan kesahajaan. Aku melangkah perlahan sesuai ajakannya. Menuju ke sebongkah cahaya itu.

“Mari kita pulang ...,” ucap wanita itu sembari tersenyum berseri.

Semakin jauh kami melangkah menuju seberkas sinar itu, semakin kukenal perangainya. Ya, aku akan pergi denganmu ke sebuah tempat di mana kita bisa berbagi apa saja tanpa hinaan, makian, cercaan, dan tanpa gangguan orang-orang yang gemar membahas tentang surga dan neraka tanpa mampu menatap ke dalam hatinya sendiri. Aku berjanji, akan melindungi di sana, pelacurku ... kekasihku.

Di Tasikmalaya

1:11 AM, 7 Agustus 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun