Padahal, objektivitas sejarah menuntut perhatian terhadap berbagai entitas yang berperan dalam membentuk perjalanan bangsa, termasuk kerajaan-kerajaan regional yang mungkin tidak mencapai hegemoni, tetapi memiliki peran penting dalam budaya, diplomasi, dan perlawanan.
4. Dampak Terhadap Pemahaman Identitas Lokal
Tidak dimasukkannya Kerajaan Haru dapat membuat masyarakat Sumatera Utara kehilangan keterhubungan dengan sejarah lokal mereka sendiri.
Dalam konteks modern, pengakuan sejarah kerajaan lokal penting untuk memperkuat identitas daerah dan memahami kontribusi wilayah-wilayah tersebut dalam sejarah Nusantara.
5. Upaya Revisi dan Kajian Akademis
Penelitian akademis modern mulai merevisi narasi-narasi lama dengan menambahkan kerajaan-kerajaan yang sebelumnya terabaikan, seperti Haru, Dharmasraya, dan Tanjungpura.
Sejarawan seperti Budi Agustono dan T. Ibrahim Alfian menekankan perlunya memasukkan sejarah kerajaan-kerajaan Sumatera dalam narasi besar sejarah nasional untuk memberikan gambaran yang lebih utuh.
Kerajaan HaruÂ
Kerajaan Haru, juga dikenal sebagai Kerajaan Aru, merupakan salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara pada abad ke-13 hingga ke-16 Masehi. Meskipun memiliki peran signifikan dalam sejarah Sumatera, terutama dalam konteks interaksi dengan kerajaan-kerajaan seperti Majapahit dan Kesultanan Aceh, keberadaan Kerajaan Haru seringkali kurang mendapatkan sorotan dalam buku-buku sejarah Indonesia dibandingkan dengan kerajaan besar lainnya seperti Sriwijaya atau Majapahit.
Dalam buku "Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran Jilid 2: Zaman Kuno", yang dianggap sebagai salah satu referensi standar sejarah Indonesia, pembahasan mengenai Kerajaan Haru tidak sekomprehensif pembahasan tentang Sriwijaya atau Majapahit. Hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan sumber tertulis dan artefak yang dapat memberikan gambaran lengkap mengenai sejarah dan peran Kerajaan Haru dalam konteks nasional.