Terdapat perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Karo dan hubungannya dengan narasi "Si Raja Batak" yang disebutkan dalam buku karya William H. Hutagalung. Berikut adalah penjelasan akademis mengenai hal ini:
1. Narasi Si Raja Batak dalam Buku Hutagalung
Dalam bukunya "Pustaha Batak", William H. Hutagalung menyebutkan bahwa semua suku Batak, termasuk Karo, Mandailing, Simalungun, dan Pakpak, berasal dari satu leluhur yang disebut Si Raja Batak. Narasi ini menjelaskan bahwa keturunan Si Raja Batak tersebar di seluruh wilayah Tapanuli dan Sumatera Utara. Namun, pandangan ini banyak mendapat kritik karena lebih bersifat legenda dan tidak didukung oleh bukti genealogis yang kuat.
Catatan Sumber:Hutagalung, W.H. (1926). Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak.
2. Perspektif Sejarah dan Antropologi
Banyak antropolog dan sejarawan seperti Daniel Perret dan Muhammad Takari menegaskan bahwa Suku Karo memiliki budaya, bahasa, dan tradisi yang berbeda dari suku-suku Batak lainnya. Beberapa indikator perbedaan tersebut antara lain:
Bahasa: Bahasa Karo tidak identik dengan bahasa Toba atau Mandailing. Bahasa Karo memiliki kosakata yang unik dan struktur sintaksis yang berbeda.
Marga: Suku Karo memiliki marga sendiri seperti Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan  Perangin-angin  yang berbeda dengan marga dalam tarombo Batak.
Struktur Sosial: Suku Karo memiliki sistem kekerabatan dan adat istiadat yang berbeda, termasuk konsep perkade-kaden (kerabat jauh) dan ritual budaya yang khas.
Referensi: Perret, Daniel. (2010). Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut.
3. Bukti Genealogis dan Arkeologis
Penelitian arkeologis dan tradisi lisan menunjukkan bahwa Suku Karo telah lama menetap di daerah dataran tinggi Karo sebelum penyebaran narasi "Si Raja Batak". Situs-situs seperti Benteng Putri Hijau di Deli Tua dan artefak di Kota Cina menunjukkan bahwa masyarakat Karo sudah memiliki struktur sosial dan politik yang kuat pada masa pra-kolonial.
Penelitian genealogis tidak menemukan kesinambungan langsung antara Suku Karo dan tokoh mitologis Si Raja Batak. Banyak sejarawan berpendapat bahwa narasi tersebut merupakan konstruksi budaya yang dibuat untuk menyatukan kelompok etnis yang beragam di Sumatera Utara.
Referensi:Takari, Muhammad. (2007). Antropologi Sosial dan Tradisi Karo.
4. Tradisi Lisan Karo tentang Asal-Usul
Tradisi lisan masyarakat Karo tidak mengenal tokoh Si Raja Batak sebagai leluhur mereka. Masyarakat Karo lebih mengenal kisah leluhur seperti Sibayak, Raja Kembaren, dan legenda lain yang mencerminkan identitas tersendiri. Hal ini memperkuat argumen bahwa Suku Karo memiliki asal-usul yang terpisah dari narasi Batak Toba.
Referensi: Sitanggang, G. (1982). Sejarah Suku Karo.
5. Kritik terhadap Pustaha Batak
Sejarawan modern seperti Budi Agustono menilai bahwa buku "Pustaha Batak" lebih mengedepankan aspek mitologis daripada ilmiah. Tidak ada catatan arkeologis atau bukti historis yang mendukung klaim bahwa seluruh kelompok etnis Sumatera Utara berasal dari satu sosok leluhur tunggal.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis sejarah, antropologi, linguistik, dan tradisi lisan, dapat disimpulkan bahwa Suku Karo bukan keturunan Si Raja Batak, melainkan kelompok etnis yang memiliki asal-usul dan perkembangan budaya yang independen. Klaim genealogis dalam narasi Si Raja Batak bersifat mitologis dan tidak sepenuhnya akurat secara akademis. Oleh karena itu, identitas Karo harus dihormati sebagai bagian dari keanekaragaman budaya Sumatera Utara.
Daftar Pustaka
1. Hutagalung, W.H. (1926). Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak.
2. Perret, Daniel. (2010). Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut.
3. Takari, Muhammad. (2007). Antropologi Sosial dan Tradisi Karo.
4. Sitanggang, G. (1982). Sejarah Suku Karo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H