3. Bukti Genealogis dan Arkeologis
Penelitian arkeologis dan tradisi lisan menunjukkan bahwa Suku Karo telah lama menetap di daerah dataran tinggi Karo sebelum penyebaran narasi "Si Raja Batak". Situs-situs seperti Benteng Putri Hijau di Deli Tua dan artefak di Kota Cina menunjukkan bahwa masyarakat Karo sudah memiliki struktur sosial dan politik yang kuat pada masa pra-kolonial.
Penelitian genealogis tidak menemukan kesinambungan langsung antara Suku Karo dan tokoh mitologis Si Raja Batak. Banyak sejarawan berpendapat bahwa narasi tersebut merupakan konstruksi budaya yang dibuat untuk menyatukan kelompok etnis yang beragam di Sumatera Utara.
Referensi:Takari, Muhammad. (2007). Antropologi Sosial dan Tradisi Karo.
4. Tradisi Lisan Karo tentang Asal-Usul
Tradisi lisan masyarakat Karo tidak mengenal tokoh Si Raja Batak sebagai leluhur mereka. Masyarakat Karo lebih mengenal kisah leluhur seperti Sibayak, Raja Kembaren, dan legenda lain yang mencerminkan identitas tersendiri. Hal ini memperkuat argumen bahwa Suku Karo memiliki asal-usul yang terpisah dari narasi Batak Toba.
Referensi: Sitanggang, G. (1982). Sejarah Suku Karo.
5. Kritik terhadap Pustaha Batak
Sejarawan modern seperti Budi Agustono menilai bahwa buku "Pustaha Batak" lebih mengedepankan aspek mitologis daripada ilmiah. Tidak ada catatan arkeologis atau bukti historis yang mendukung klaim bahwa seluruh kelompok etnis Sumatera Utara berasal dari satu sosok leluhur tunggal.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis sejarah, antropologi, linguistik, dan tradisi lisan, dapat disimpulkan bahwa Suku Karo bukan keturunan Si Raja Batak, melainkan kelompok etnis yang memiliki asal-usul dan perkembangan budaya yang independen. Klaim genealogis dalam narasi Si Raja Batak bersifat mitologis dan tidak sepenuhnya akurat secara akademis. Oleh karena itu, identitas Karo harus dihormati sebagai bagian dari keanekaragaman budaya Sumatera Utara.