Mohon tunggu...
Analgin Ginting
Analgin Ginting Mohon Tunggu... Human Resources - Saya seorang pencinta kemanusiaan, suka berbagi untuk kebaikan bersama

Regenerasi dari akun Kompasiana sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Determinasi Perasaan Sakit Hati

12 Agustus 2022   15:34 Diperbarui: 12 Agustus 2022   15:55 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdakwa (FS) dalam pembunuhan Brigadir J sudah mengakui perbuatannya. Dalam keterangannya FS  mengatakan bahwa dia sakit hati saat istrinya menelepon Brigadir J telah melakukan perbuatan yang menjatuhkan martabat keluarga.  

Pengakuan ini direspon oleh ayah Alamarhum Yoshua, "kami dari keluarga merasa bingung atas keterangan resmi yang dikeluarkan Mabes Polri yang mengatakan unsur sakit hati yang dimulai sejak dari Magelang hingga Sambo membunuh Yoshua" (nasional.tempo.co)

Dari keterangan Sambo ada kesan bahwa determinasi rasa sakit hati sangat kuat mempengaruhi sistem kesadaran manusia dan metode pengambilan keputusan. Seolah olah rasa sakit hati membuat pertimbangan proaktif tidak mempan lagi dalam  membuat keputusan yang lebih positif dan lebih tepat.  Benar kah demikian?

Eleanor Roosevelt istri Presiden FD Roosevelt pernah mengatakan sebuah ungkapan yang sangat terkenal "tidak ada seorang pun yang bisa membuat Anda sakit hati tanpa seijin Anda".  

Ungkapan ini mengandung makna bahwa sakit hati atau tidak seseorang bukan hanya karena informasi dari luar dirinya tapi dia  sendiri lah yang mengijinkan dirinya untuk sakit hati.  Jadi pilihanya sendiri lah yang membuat seseorang sakit hati atau tidak. 

Kalau saya sandingkan pendapat Eleanor Roosevelt  dengan pendapat Gusdur maka hal itu menjadi lebih  mudah dipahami.   Misalnya kalau seseorang mengatai Anda monyet. Atau monyet yang sering nyengir, apakah Anda sudah pasti sakit hati ?  Ingat kata Gusdru "itu saja koq report'.  Hahahha.  Begitu Anda mengingat perkataan Gusdur, perkataan moyet, atau perkataan apa pun yang membully kita bisa hilang dan tidak mempengaruhi pikiran kita sama sekali.

Lagi pula, kita tidak harus menjadi monyet hanya kalau sejuta orang mengatai kita monyet bukan?  Nah kalau begitu "apa yang dikatakan oleh Eleanor Roosevelt sangat tepat.  Tidak seorang pun bisa membuat kita sakit hati tanpa seijin kita.   

Sumber photo: mediakupang.pikiran-rakyat.com

Penjelasan yang lebih sistematis pernah juga dikatakan Steven Covey saat dia menulis bukunya  "The 7 Habits Of Effective People", yang sangat terkenal itu.  Ketika mengulas kebiasaan pertama, "Be Proactive" atau kebiasaan proaktif dia mengatakan ada mekanisme berfikir yang sangat berlawanan antara orang proaktif dengan orang reaktif. 

Seseorang yang reaktif sudah bisa diramalkan apa responnya jika mendapatkan satu stimulus atau informasi dari luar dirinya.  Jika berita sedih dia langsung sedih atau kecewa.  Ketika mendapat berita senang dia langsung tertawa,  Ketika permintaannya ditolak dia langsung sakit hati.  

Seolah olah stimulus yang dia dapat/terima itu segera menentukan pemikiran dan prilakunya.  Dia tidak lagi memakai otaknya untuk menyaring informasi atau stimulus itu.  Ibarat tanaman putri malu, begitu mendapat sentuhan di daunnya segera mengkerut.  Begitu ada rangsang dari luar segera dia meresponnya.  Dan respon responnya sudah dapat diprediksi atau ditentukan oleh orang yang mengamatinya.

Sedangkan  orang proaktif tidak serta merta merespon apapun stimulus yang dia terima.  Dia akan jeda sebentar, atau menyaring dan memikirkan responnya.  

Dan responnya itu selalu positif karena  berlandas kepada prinsip prinsip kebenaran dan universal.  Steven Covey menambahkan bahwa ada 4 wahana yang dipakai seseorang ketika menyaring informasi atau stimulus dari luar yaitu kesadaran diri, daya imaginasi, suara hati dan kehendak bebas.

Suatu kali saat dia masih kuliah di Afrika Selatan  Mahatma Gandhi tiba tiba  dipukul di wajah dengan kencang oleh seorang mahasiswa berkulit putih.  Apa respon Mahatma Gandhi,  di Negara yang kala itu masih menerapkan system aparteid?   Dia diam sebentar lalu dia berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu  keras,  "hey kawan, kalau kamu berfikir saya marah karena kamu sudah meninju saya, kamu salah,   saya tidak marah"

Nah respon Mahatma Gandhi terhadap stimulus berupa bogem / tinju orang lain di wajahnya sesuatu yang sangat mengejutkan  karena dia membuat pilihan dengan kehendak bebasnya (memilih dan memutuskan)  berdasarkan kesadaran dirinya, imaginasinya dan suara hatinya.  Sistem nilai Mahatma Gandhi pun pasti ikut berperan yaitu nilai nilai universal yang dia tanamkan dalam hatinya.

Respon  Pak Sambo saat  mendengar telepon dari Istrinya (seandainya benar)  adalah respon yang sangat reaktif bukan respon seorang yang proaktif.  Seharusnya ada jeda waktu bagi Pak Sambo untuk memberikan kesadaran dirinya, imaginasinya, suara hatinya dan kehendak bebasnya saat menentukan pilihan atau keputusannya medengar laporan istrinya tersebut.  

Jadi saya bisa memahami kebingungan Pak Samuel Hutabarat ayah alm Brigadir Yoshua  terhadap pengakuan Pak Sambo.  Mengapa dia akhirnya membiarkan sakit hatinya untuk merencanakan pembunuhan kepada sang ajudan Brigadir Yoshua. 

Rasa heran Pak Samuel dan rasa heran kita semua bertambah besar mengingat Pak Sambo pasti sudah harus melewati berbagai  pendidikan formal dan pengalaman lapangan untuk bisa menjadi seorang jenderal.  Bahkan Pak Sambo pernah dilaporkan perwira Polisi yang paling cepat (usia paling muda) meraih bintang atau jenderal polisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun