Aji, seorang anak berusia sekitar 10 tahun, melihat sebuah layangan tersangkut di pohon kamboja yang berada di kuburan. Melihat layangan itu, "naluri bermain" Aji muncul. Ia dengan cepat berhenti, lalu nduding (baca: menunjuk) ke arah layangan itu sambil berkata kepada kakaknya, "Kak, itu ada layangan."Â
Mendengar perkataan itu, sang kakak berhenti, "Hush! Ngga boleh nduding-nduding ke kuburan. Nanti bisa kualat". Lalu, sang kakak dengan cepat mengajak Aji bergegas pulang, karena cuaca terlihat mendung gelap.Â
Sesampainya di rumah, sebelum sang kakak pergi, ia menyuruh Aji agar segera mandi. Aji mengiyakan, lalu ia tertidur. Setelah itu, kejadian aneh menimpa diri Aji.Â
Begitulah kiranya, penggalan cerita Film Nduding karya Laurensius Rizky. Film pendek berdurasi empat menitan ini mengingatkan saya saat masih bocah akan mitos terkait nduding ke kuburan.Â
Menurut cerita lisan yang beredar, kalau kita nduding ke kuburan, kita harus segera menggigit jari sebagai cara agar terhindar dari hal-hal mistis yang akan terjadi.Â
Tentu, saat masih bocah, saya mematuhi mitos atau bentuk pengetahuan larangan itu tanpa perlu tahu alasannya. Dalam benak saya, hanyalah ada pengetahuan kuburan itu tempatnya orang mati, maka tempat itu angker.Â
Point menarik dari film ini adalah tidak adanya penjelasan bagaimana hal yang gaib itu dapat terjadi. Justru dengan cara ini lah, film ini seolah hanya menggambarkan sesuatu yang mitos "itu ada" dan mempunyai keberelasian dengan manusia.Â
Lalu, menyerahkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan itu kepada penonton. Pemaknaan setiap orang akan mitos yang ada selalu beragam, dan dengan cara ini lah film ini justru membebaskan penonton memaknai film ini dengan tafsiran yang berbeda-beda.Â
Dalam konstelasi kebudayaan jawa, terdapat hubungan batiniah antara orang hidup dan orang mati. Orang mati itu hanya jasadnya, tapi ruhnya tidak. Orang jawa merasa perlu untuk menghormati leluhur mereka melalui tradisi nyadran.Â
Di mana orang jawa (yang masih melaksanakannya) akan melakukan bersih makam, lalu kemudian akan berdoa untuk keselamatan leluhur. Lewat tradisi ini orang jawa diberikan pemahaman mengenai asal-usul mereka, dan juga diingatkan bahwa setiap orang nantinya akan mati.Â
Oleh karena itu, kuburan bagi orang jawa bukan hanya sekedar tempatnya orang mati, dan angker, namun kuburan adalah tempat yang profan di mana para leluhur beristirahat. Maka wajar bila dalam film ini, nduding ke kuburan itu adalah pantangan, karena dianggap sebagai penghinaan kepada leluhur.
Terdengar, mitos selalu tidak dapat dimengerti, tidak alamiah, suatu pikiran yang kekanak-kanakan, pra-logis, dan primitif. Atau dengan kata lain, kita bisa menyebut mitos sebagai pengetahuan tradisional.Â
Jika dibandingkan dengan pengetahuan modern yang serba terukur dan dapat dimengerti, pengetahuan tradisional memang perlu dipahami dalam bentuk yang berbeda.Â
Hari ini kita menyebut konservasi sebagai cara menjaga ekosistem. Pengetahuan tradisional sudah lebih dulu mengatasi itu. Sebagai contoh, dalam masyarakat suku bajo terdapat mitos bahwa orang bajo tidak diperbolehkan menangkap beberapa jenis ikan tertentu, karena mereka percaya bahwa itu adalah nenek moyang mereka.Â
Atau dulu ketika saya mendapati ikan yang agak aneh, itu akan dianggap sebagai siluman, sehingga dengan cepat saya harus segera melepas ikan itu ke sungai.Â
Dari sini kita bisa melihat terdapat susunan garis yang sama antara pikiran modern dan tradisional. Artinya, keberadaan mitos memiliki fungsi untuk mengatasi dan juga memberikan pemahaman.Â
Bahwa hari ini cara mengatasi kerusakan alam akibat eksploitasi melalui undang-undang hukum adalah sebagai bentuk perkembangan pengetahuan tradisional yang menerapkan sanksi-sanksi berupa hal-hal yang gaib dan mistis.Â
Dari sini kita bisa melihat bagaimana local wisdom dalam konstelasi kebudayaan telah mengkonstruksi diri kita dan memberikan pemahaman kita tentang dunia. Â
Akan tetapi, film ini masih terdapat beberapa hal yang kabur. Saya mencatat ada dua hal yang membuat instrument ilusi sekunder film ini kurang terbentuk secara utuh, yaitu aktor utama (anak kecil) dan setting waktu.Â
Dua aspek ini yang kiranya membuat saya bertanya mengenai bagaimana sesuatu yang mistis itu dapat dimungkinkan terjadi pada seseorang yang belum memiliki atau menyakini pengetahuan atas sesuatu yang mistis itu sendiri.
Lalu, bagaimana dapat dimungkinkan Aji, seorang anak kecil---yang merepresentasikan anak kecil hari ini---yang berjarak dengan sesuatu yang mistis justru mengalami sesuatu yang mistis itu sendiri?Â
Bagaimana kiranya relasi "ruang sosio-mistis" tersebut dapat hadir pada dunia hari ini yang sama sekali berjarak pada sesuatu yang mistis? Apakah hanya karena film ini bergenre horor, maka sesuatu yang horor tanpa sebab-akibat yang utuh dipaksa harus hadir dalam film ini?Â
Kiranya, saya dapat berangkat dari anggapan bahwa Aji sebagai aktor utama tumbuh berkembang pada era hari ini, era high-tech. Bila Aji berjarak pada sesuatu yang mistis, maka hal itu dapat diwajarkan, karena Aji tidak tumbuh pada era yang serba mitos, sehingga wajar bila Aji dengan naluri bermainnya secara spontan menunjuk layangan yang tersangkut di pohon kamboja dalam kuburan.Â
Sesuatu yang mistis dapat dimungkinkan terjadi pada seseorang, bila ia tahu dan telah menyakini sesuatu yang mistis sendiri. Sehingga, bila seorang invidu melanggar sesuatu yang mistis akan merasa bersalah, lalu ia akan tersugesti bila sesuatu yang mistis akan terjadi pada dirinya.Â
Atau kiranya, sesuatu yang mistis itu tidak berkembang mengikuti jaman, dan selalu lekat pada hal-hal yang ghaib? Lalu, apa bedanya mistis dan horor?Â
Klaten, 16 Nov 2020
Ditulis dengan bahagia
-Pascal Caboet-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H