Mohon tunggu...
Yussita Belva Laksmi Malva
Yussita Belva Laksmi Malva Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rohingya Bagian dari Tanggung Jawab Kita?

3 Desember 2023   22:02 Diperbarui: 3 Desember 2023   22:31 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rohingnya merupakan sebuah kelompok etnis yang berada di negara Myanmar. Etnis ini masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Walaupun mayoritas masyarakatnya muslim, tetapi di Rohingya juga terdapat masyarakat yang menganut agama lain, seperti agama Hindu. Populasi masyarakat Rohingya diperkirakan sebanyak 1,1 juta pada tahun 2018.

Etnis Rohingnya bermukim di wilayah bagian Rakhine, berada di sebelah barat Myanmar (Burma), berbatasan dengan Teluk Benggala dan Bangladesh. Banyak spekulasi mengenai asal mula etnis Rohingnya ini berasal. Beberapa pakar sejarawan mengatakan bahwa Rohingya berasal dari kerajaan bercorak Islam yang pernah berdiri di Myanmar, yaitu Kerajaan Arakan (1430-1784). Daerah Kerajaan Arakan tersebut kini dikenal sebagai Rakhine. Mengenai pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Etnis Rohingnya merupakan suku asli Myanmar. Namun, terdapat pendapat lain mengenai asal dari etnis Rohingnya, yaitu mereka berasal dari migrasi pekerja pada masa pemerintahan Inggris (1824-1948). Migrasi pekerja dilakukan dalam jumlah besar dari India dan Bangladesh ke Myanmar. 

Migrasi pekerja dipandang negatif oleh mayoritas penduduk asli. Migrasi pekerja yang dilakukan pada masa pemerintahan Inggris tersebut kemudian dianggap pemerintah Myanmar pasca merdeka sebagai tindakan yang ilegal. Kewarganegaraan penduduk etnis Rohingya pun ditolak sejak tahun 1982. Bahkan, banyak umat Buddha yang menolak istilah Rohingya dan menganggap penduduk Rohingya sebagai orang Bengali.

Penduduk etnis Rohingya digambarkan sebagai minoritas muslim yang paling teraniaya di dunia. Bagaimana tidak, mereka saja tidak dikenali oleh negaranya sendiri. Setelah merdeka dari penjajahan Inggris pada tahun 1948, Undang-Undang Kewarganegaraan Uni disahkan. UU ini menentukan etnis mana yang dapat memeroleh kewarganegaraan. Namun, Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Bahkan, undang-undang mengenai kewarganegaraan diperbaharui pada tahun 1982, Rohingya masih saja tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di Myanmar.

Konflik mulai banyak bermunculan ketika kudeta militer Myanmar terjadi pada 1962. Penduduk Myanmar diwajibkan untuk mendapatkan kartu registrasi nasional, padahal penduduk Rohingya hanya diberi kartu identitas asing saja. Hal tersebut berpengaruh pada kesejahteraan sosial mereka karena kesempatan kerja dan kesempatan menempuh pendidikan hingga layanan kesehatan menjadi terbatas.

Konflik besar terjadi dan menghebohkan dunia luar ketika militer Myanmar melakukan pembantaian dan pengusiran paksa terhadap etnis Rohingya pada tahun 2017. Serangan bersenjata, kekerasan berskala besar, dan pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat memaksa ratusan ribu penduduk Rohingya untuk meninggalkan rumah mereka. Mereka mulai mencari perlindungan di negara Bangladesh dengan melintasi Teluk Benggala. Mayoritas di antara mereka tinggal di wilayah Cox Bazar yang merupakan kamp pengungsian terbesar dan terpadat di dunia. 

Upaya melarikan diri penduduk Rohingya mulai masif hingga sekarang. Bahkan, mereka mulai mencari perlindungan di negara-negara tetangga lainnya seperti di Thailand, India, Malaysia, dan Indonesia. Mereka mempertaruhkan nyawanya untuk mencapai negara-negara tersebut dengan perahu dan terombang ambing di lautan selama beberapa hari, bahkan minggu. Negara yang disambangi perahu mereka merasa iba dan menampung mereka untuk sementara. 90% Pengungsi Rohingya berada di Cox Bazar, Bangladesh. Sedangkan lainnya mengungsi dan mencari peruntungan di negara lain.

Kenyataan pahit harus diterima pengungsi Rohingya. Sebab, banyak negara yang sudah menutup pintu untuk para pengungsi Rohingya, termasuk negara-negara yang pernah menerima mereka, seperti Thailand dan Malaysia. Penyebabnya adalah banyak kasus-kasus kriminal yang terjadi setelah adanya pengungsi yang datang. Penyeludupan, pencurian, sampai kekerasan yang dilakukan oleh para pengungsi akhirnya merugikan masyarakat asli negara yang disambangi. Tidak tahu balas budi, kebaikan negara yang membantu pengungsi Rohingya malah dibalas dengan tindakan yang tidak senonoh oleh mereka. 

Adanya pengalaman buruk yang telah dialami negara-negara tadi menyebabkan munculnya rasa trust issue dan keberhati-hatian dalam mengurusi urusan tentang pengungsi. Seperti yang telah dilakukan Indonesia pada tahun 2021 dengan memulangkan sekitar 100 orang pengungsi Rohingya yang terdampar dengan kapal kayu. Sebelum memulangkan mereka kembali, pihak berwenang Indonesia memberikan perbekalan, pakaian, bahan bakar, dan teknisi guna memperbaiki perahu mereka yang rusak. Baru-baru ini, Indonesia juga menolak pengungsi Rohingya yang mendarat di Bireuen dan Pidei, Aceh. Kedatangan mereka ditolak oleh masyarakat Aceh karena berkaca dari pengalaman imigran terhadap mereka beberapa waktu yang lalu. Singkatnya, pengungsi Rohingya memiliki citra tidak baik bagi masyarakat karena tidak sesuai dengan adat, norma, dan peraturan.

Lantas, apakah sebenarnya pengungsi Rohingya merupakan bagian dari tanggung jawab kita?

Membahas mengenai penanganan pengungsi, Indonesia telah memiliki regulasi yang membahasnya dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan ini mengatur mengenai pengamanan terhadap pencari suaka dan pengungsi, koordinasi pemerintah dan UNHCR (Organisasi internasional yang memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar pencari suaka dan pengungsi) terkait status mereka, serta menghormati kebebasan fundamental pengungsi. Penanganan pengungsi dilakukan di bawah pengawasan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dengan melakukan koordinasi dengan IOM dan lembaga-lembaga PBB.

Indonesia sendiri tidak melakukan ratifikasi konvensi PBB 1951 mengenai penanganan pengungsi luar negeri. Konvensi tersebut telah ada sejak akhir masa Perang Dunia II. Namun, beberapa negara termasuk Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Sebab, apabila meratifikasi konvensi tersebut maka akan ada kewajiban yang diamanahkan kepada negara yang terlibat, termasuk dalam integrasi berupa pemberian hak-hak pengungsi yang sama sebagai warga negara. Hal ini apabila terjadi maka tentu saja akan berimbas pada berbagai sektor. Seperti  Oleh karena belum teratifikasinya konvensi PBB 1951 itu, sebenarnya Indonesia tidak berkewajiban untuk menerima pengungsi asing yang berlabuh di Indonesia, termasuk pengungsi Rohingya.

Pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia dianggap sebagai imigran ilegal. Hal ini berlandaskan pada pengungsi Rohingya tiba di indonesia tanpa memiliki dokumen perjalanan yang sah, sehingga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Maka, imigran ilegal tidak dapat dapat memeroleh Izin Tinggal Terbatas (ITAS) maupun Izin Tinggal Tetap (ITAP). Namun, imigran ilegal yang berkeinginan mencari suaka dan atau karena suatu alasan tertentu maka tidak dideportasi dan diperbolehkan tinggal sementara di tempat yang telah ditentukan di bawah petugas imigrasi. Selanjutnya dilakukan koordinasi dengan UNHCR untuk dipindahkan ke negara ketiga.

Selain mempertimbangkan mengenai regulasi, terdapat beberapa hal penting lainnya yang menjadi pertimbangan dalam menerima dan menampung para pengungsi Rohingya. Beberapa hal penting tersebut seperti ketersediaan lahan, kesepakatan pemerintah dan masyarakat asli, stabilitas keamanan dan kedaulatan internal negara, ketersediaan anggaran dan mekanisme dalam mengatasi pengungsi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Permasalahan pengungsi Rohingya memang berakar dari adanya konflik etnis yang terjadi di Myanmar. Konflik yang terjadi di Myanmar merupakan genosida dengan tujuan pemusnahan etnis terhadap beberapa suku, termasuk Rohingya. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran HAM berat, karena telah membunuh banyak masyarakat sipil dengan sengaja. Kecaman yang seharusnya diberikan adalah kepada pemerintah Myanmar dan militernya atas perlakuan mereka terhadap etnis Rohingya.  Tanggung jawab yang sesungguhnya adalah dengan bertanggung jawab sebagai sesama manusia, yaitu hendaknya memiliki rasa simpati dengan dasar kemanusiaan atas konflik yang menimpa etnis Rohingya. Tindakan dengan menyerukan gerakan mengakhiri kekerasan dan genosida lah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab kita sebagai manusia dan harus kita lakukan demi kemanusiaan dan kedamaian dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun