Membahas mengenai penanganan pengungsi, Indonesia telah memiliki regulasi yang membahasnya dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan ini mengatur mengenai pengamanan terhadap pencari suaka dan pengungsi, koordinasi pemerintah dan UNHCR (Organisasi internasional yang memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar pencari suaka dan pengungsi) terkait status mereka, serta menghormati kebebasan fundamental pengungsi. Penanganan pengungsi dilakukan di bawah pengawasan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dengan melakukan koordinasi dengan IOM dan lembaga-lembaga PBB.
Indonesia sendiri tidak melakukan ratifikasi konvensi PBB 1951 mengenai penanganan pengungsi luar negeri. Konvensi tersebut telah ada sejak akhir masa Perang Dunia II. Namun, beberapa negara termasuk Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Sebab, apabila meratifikasi konvensi tersebut maka akan ada kewajiban yang diamanahkan kepada negara yang terlibat, termasuk dalam integrasi berupa pemberian hak-hak pengungsi yang sama sebagai warga negara. Hal ini apabila terjadi maka tentu saja akan berimbas pada berbagai sektor. Seperti  Oleh karena belum teratifikasinya konvensi PBB 1951 itu, sebenarnya Indonesia tidak berkewajiban untuk menerima pengungsi asing yang berlabuh di Indonesia, termasuk pengungsi Rohingya.
Pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia dianggap sebagai imigran ilegal. Hal ini berlandaskan pada pengungsi Rohingya tiba di indonesia tanpa memiliki dokumen perjalanan yang sah, sehingga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Maka, imigran ilegal tidak dapat dapat memeroleh Izin Tinggal Terbatas (ITAS) maupun Izin Tinggal Tetap (ITAP). Namun, imigran ilegal yang berkeinginan mencari suaka dan atau karena suatu alasan tertentu maka tidak dideportasi dan diperbolehkan tinggal sementara di tempat yang telah ditentukan di bawah petugas imigrasi. Selanjutnya dilakukan koordinasi dengan UNHCR untuk dipindahkan ke negara ketiga.
Selain mempertimbangkan mengenai regulasi, terdapat beberapa hal penting lainnya yang menjadi pertimbangan dalam menerima dan menampung para pengungsi Rohingya. Beberapa hal penting tersebut seperti ketersediaan lahan, kesepakatan pemerintah dan masyarakat asli, stabilitas keamanan dan kedaulatan internal negara, ketersediaan anggaran dan mekanisme dalam mengatasi pengungsi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Permasalahan pengungsi Rohingya memang berakar dari adanya konflik etnis yang terjadi di Myanmar. Konflik yang terjadi di Myanmar merupakan genosida dengan tujuan pemusnahan etnis terhadap beberapa suku, termasuk Rohingya. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran HAM berat, karena telah membunuh banyak masyarakat sipil dengan sengaja. Kecaman yang seharusnya diberikan adalah kepada pemerintah Myanmar dan militernya atas perlakuan mereka terhadap etnis Rohingya. Â Tanggung jawab yang sesungguhnya adalah dengan bertanggung jawab sebagai sesama manusia, yaitu hendaknya memiliki rasa simpati dengan dasar kemanusiaan atas konflik yang menimpa etnis Rohingya. Tindakan dengan menyerukan gerakan mengakhiri kekerasan dan genosida lah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab kita sebagai manusia dan harus kita lakukan demi kemanusiaan dan kedamaian dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H