Mohon tunggu...
Cucu Sutrisno
Cucu Sutrisno Mohon Tunggu... -

saya seseorang mahasiswa PKnH FIS UNY 2010 Kelahiran Sumedang jawa barat. Memiliki hoby olahraga dan nonton film, memiliki ketertarikan lebih terhadap dunia pendidikan dan sosial. Senang dengan karya sastra terutama fiksi sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prospek Otonomi Desa atau Kesatuan Masyarakat Adat di Indonesia Setelah Era Reformasi

2 Agustus 2016   23:06 Diperbarui: 2 Agustus 2016   23:16 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Keberadaan desa sebagai bagian dari Indonesia telah menjadi perdebatan panjang dalam ketatanegaraan Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini. Pangkal persoalan yang memicu ketegangan hingga saat ini adalah ikhwal otonomi desa[1] apakah dilandasi hak berian ataukah hak bawaan. Esensi Pasal 18 UUD 1945 berikut penjelasannya memang telah memuat adanya pengakuan negara pada apa yang disebut sebagai “otonomi desa”. Itu dapat dilihat dalam bunyi Pasal 18 UUD 1945 bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 

Ni’matul Huda (2015: 7) mengemukakan bahwa pada pasal tersebut terkandung esensi  mengenai pemerintah tingkat daerah yang harus disusun dan diselenggarakan dengan “memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa desa dan satuan pemerintah asli lainnya semacam desa dan zelfstandige gemeentschappen adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa. Oleh karena itu, susunan daerah di Indonesia akan terdiri dari dua susunan yaitu daerah besar yang dicerminkan oleh zelfstandige gemeentschappendan daerah kecil berupa desa dan satuan lain semacam desa (Ni’matul Huda, 2015: 7-8).

Selanjutnya pada penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang dibuat oleh founding father khususnya Soepomo telah menuliskan pengakuan terhadap keberadaan volksgemeenschappen yang beragam di Indonesia jauh sebelum Indonesia lahir (Ni’matul Huda, 2015: 101-102). Penjelasan itu berbunyi:

“Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah--daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.”

Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut mengidentifikasikan hak-hak asal usul daerah yang bersifat istimewa sebagai daerah-daerah yang memiliki susunan asli yaitu zelfstandige gemeentschappendanvolksgemeenschappen.Pada penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa volksgemeenschappen,seperti desa, negeri, dusun dan marga, dll., dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Ni’matul Huda (2015: 10) memaknai volksgemeenschappenatau indlandsche gemeente adalah daerah otonom yang dibiarkan mengatur dan mengurus urusan-urusan rumah tangga mereka sendiri. Dengan demikian, zelfstandige gemeentschappendanvolksgemeenschappenyang dimaksud penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menunjuk kepada daerah otonomi asli Indonesia yaitu swapraja dan desa.

Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa pada era Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, tidak lagi mengakui penyebutan selain desa untuk menunjuk organisasi komunitas lokal berbasis adat di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menyebabkan berbagai sebutan dari kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yang tersebar di seluruh Indonesia dengan sebutan masing-masing yang khas seperti Gampong atau menasah di Aceh, HutadanHuria di Sumatra Utara, Nagari di Sumatra Barat, Margadi Sumatra Selatan dan Lampung, Kelurahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kampung di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain, dihapuskan (Ni’matul Huda, 2015: 148-149). Bagi masyarakat adat terutama masyarakat adat diluar Jawa dan Madura, implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Itu terjadi karena pemerintah daerah di luar Jawa dan Madura dipaksa berlawanan dengan masyarakat adat karena harus menghilangkan kesatuan masyarakat hukum yang tidak menggunakan kata desa. Sebab, desa yang dimaksud pada undang-undang tersebut sangat terpola seperti desa-desa di Jawa (Ni’matul Huda, 2015: 151-153).

Kesatuan masyarakat hukum adat tidak berhak lagi mengurus rumah tangganya sendiri, dan tidak dinyatakan dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Hal tersebut telah menjadikan desa tidak lagi otonom sehingga kesatuan masyarakat hukum adat saat itu menjadi tidak lebih dari sekedar ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang pembangunan yang direncanakan rezim Orde Baru (Ni’matul Huda, 2015: 103). Dengan demikian, kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa tidak menjiwai semangat para pendiri bangsa dan esensi Pasal 18 UUD 1945 terutama yang berkaitan dengan desa atau yang sejenis dengannya di Indonesia yang dikatakan sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Selain itu, otonomi desa yang diakui dalam muatan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 sebatas hak yang bersifat hak berian bukan hak bawaan. Itu dapat terlihat dari ketentuan Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pada pasal tersebut, meskipun memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun bersamaan dengan itu pula dinyatakan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan yang terendah langsung di bawah camat. 

Ni’matul Huda (2015: 146) memandang bahwa dengan sendirinya desa merupakan representasi pemerintah pusat dan dengan demikian berarti apa yang dianggap baik oleh pemerintah pusat kala itu, dipandang baik pula oleh desa. Maka, pengintegrasian desa kedalam struktur pemerintah nasional menempatkannya sebagai rantai terbawah dari sistem birokrasi pemerintahan yang sentralistik. Posisi desa dan kesatuan masyarakat adat yang demikian menempatkan desa hanya memiliki kekuasaan sebatas yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sehingga hak otonomi yang dimiliki desa kala itu menjadi hak yang bersifat berian dari pemerintah pusat, tidak lagi hak yang bersifat bawaan.

Ni’matul Huda (2015: 149) mengatakan bahwa sebutan bagi pemimpin-pemimpin desa dan kesatuan masyarakat hukum adat seperti Keucik, Wali Nagari, Lurah, Petinggi, Kuwu, Kapala Nagari, Pembekal, Soa, Pesirah, Klebun, Kepala Soa, Wanua, Demang, Perbekel, dan lain sebagainya, juga tidak lagi dipergunakan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa bersamaan dengan itu sistem pengelolaan hidup bersama (governnance system) yang ada didalam desa atau kesatuan masyarakat hukum adat, yang didalamnya tercakup sistem pemerintahan (goverment system), digantikan oleh suatu sistem pemerintahan desa yang baru, yang sama sekali berbeda dan karenanya asing bagi warga desa atau kesatuan masyarakat hukum adat (Ni’matul Huda, 2015: 146). Itu menunjukan bahwa desa atau kesatuan masyarakat hukum adat tidak lagi memiliki ruang utnuk mengurusi rumah tangganya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun