Prancis yang terbayang adalah romantisme kota Paris dan berbagai pesonanya. Tetapi jika mendengan frasa Revolusi Prancis yang terngiang adalah titik dimana rakyat berhasil membuktikan keadulatannya atas aristokrasi yang semena-mena.Â
Jika mendengar kataDitandai dengan tunduknya Louis XVI di bawah pisau guilotin, dan  mematahkan klaim Raja bahwa mahkota raja adalah anugrah  Tuhan yang selalu melekat dan tidak akan pernah terpisah darinya. Yang ternyata tidak terbukti benar.
Tetapi perjalanan demokrasi di Prancis pun tidaklah mulus. Sampai akhirnya dewasa ini Prancis adalah "Republik Prancis kelima" , yang menyatakan bahwa dirinya sebagai negara yang tak dapat terpecah, republik sosialis yang demokratis.Â
Yang paling menarik dibahas dan aktual dalam isu dewasa ini adlaah tentang sekulerisme, khususnya sekulerisme di Prancis. Yang tentunya melatar belakangi pandangan Presiden Macron dalam isu yang tengah trending belakangan ini.Â
Seorang cendekiawan muda Prancis bernama Anastasia Colosimo menjelaskan bahwa "Lacit/Sekulerisme adalah produk dari evolusi panjang hubungan antara Institusi Gereja dan Negara." Ada pergolakan antara pemerintahan negara dan Institusi gereja, dalam hal ini pemerintahan Prancis pasca Revolusi. Lalu seperti apakah gejolak yang terjadi ?
Kaum bangsawan Prancis dan beberapa raja korup telah terlalu lama menindas rakyat biasa, sehingga memunculkan gejolak revolusi prancis di akhir abad 18. Sayangnya, institusi gereja dianggap terlalu dekat dengan pemerintahan monarki.Â
Tahap pertama perselisihan
Di akhir abad 18 penduduk Prancis berjumlah sekitar 28 juta orang, dimana sepenuhnya hampir memluk agama Katolik. Para cendekiawan memuji bahwa kehadiran institusi gereja dapat membawa dampak baik bagi moralitas masyarakat dan mempromosikan keamanan tatanan sosial. Tetapi disatu sisi karena bangsawan dan raja terlalu menekan dan menyengsarakan rakyat untuk kehidupan borjuisnya, institusi gereja turut menerima getahnya dikarenakan unsur kedekatan antara gereja (eselon pejabat tinggi gereja) dan pemerintahan monarki.
pada tahun 1979 institusi gereja memiliki kekayaan tanah sekitar 6% dari keseluruhan lahan di Prancis. Dimana biarawan mengelolanya untuk kepentingan beragama, pendidikan, rumah sakit dan berbagai bentuk organisasi lainnya. Institusi diberikan hak khusus untuk mengambil  persepuluhan bagian keuntungan hasil panen masyarakat dan zakat, dan gereja imun terhadap pajak negara.  Hal ini memperparah pandangan masyarakat dan ketidakpercayaan terhadap Monarki dan Gereja, karena monarki dan gereja memiliki kekayaan yang melimpah.Â
Distribusi kesejahteraan yang timpang inilah yang membuat rakyat bawah meragukan kepercayaan kepada Bangsawan dan Institusi Gereja. Meskipun pada awal pre-revolusi, insitusi gereja mendukung gerakan revolusi yang digaungkan rakyat bawah.
Di awal revolusi, Prancis diambang kebangkrutan. Reformasi keuangan memaksa Prancis untuk menemukan berbagai cara mengatasinya,yang dari awapendeta bersedia menyerahkan persepuluhan dan menyerahkan semua keuangan dan suplai makanannya kepada pemerintahan revolusi dan membantu terjadinya.Â
Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara yang siadopsi pada 26 Agustus 1979, salah satunya menyatakan bahwa "tidak mengakui hak-hak istimewa Gereja Katolik Prancis". Kemudian  pada 29 Oktober 1979 setelah ditemukan dua wanita yang dipaksa untuk menempuh sumpah menjalani hidupnya menjadi biarawati di salah satu biara di Prancis, memaksa  Majelis Konstituante pemerintahan revolusioner pada 2 November 1979 mengeluarkan dekrit yang berbunyi  bahwa seluruh aset gereja diserahkan sepenuhnya dan menjadi Hak aset milik negara.Â
Rakyat dan pemerintahan pro revolusi yang saat itu memandang tindakan pemaksaan agama kepada dua wanita untuk menjadi biarawati tersebut sebagai represi dan menguatkan kecurigaan adanya korupsi di institusi gereja.Â
Agar terlihat formal, dekrit majelis konstituante mengenai penyerahan aset dibuat dengan argumen bahwa segenap properti aset gereja adalah hak resmi milik negara. Dengan menyerahkannya kembali kepada negara akan membantu mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan merupakan suatu wujud dari i tindakan ibadah. Meskipun tentunya mendapatkan banyak protes. Sikap keras pemerintahan rovolusioner membuat jarak antara Negara dan Gereja semakin terpisah.
Tahap kedua perselisihan
Tahun-tahun berikutnya melalui reformasi yang dilakukan oleh majelis konstituante, pendeta digaji oleh negara menurut aturan yang berlaku. Dibayang-bayangi oleh sistem feodal di masa lalu membuat reformasi pemilihan petinggi pemuka agama dan gereja untuk dipilih langsung oleh rakyat.
Reformasi tersebut tentunya tidak disetujui oleh Paus dan juga oleh pihak konservatif yang berada di majelis konstituante. Tetapi respon tersebut malah semakin membuat majelis konstituante yang progresif untuk mengambil sikap bahwa para pemuka agama diwajibkan untuk melakukan sumpah setia kepada konstitusi dan negara atau menyerahkan seluruh gaji dan posisinya.
Sikap itu memperjelas untuk mengedepankan konstitusi pemerintahan revolusi dibandingkan kepada Roma. Kebijakan itu membuat  lebih dari 50% biarawan dan pemuka agama melakukan sumpah setia kepada konstitusi negara.Â
Bahkan terjadi pelabelan bahwa pemuka agama yang tidak bersumpah setia kepada konstitusi revolusi dicap sebagai "pendeta keras kepala". Sikap ini mengakibatkan terjadi imigrasi masyarakat dan juga pemuka agama yang tidak bersumpah kepada konstitusi berimigrasi ke luar negeri. Meskipun masih banyak pendeta tersebut yang tetap tinggal di Prancis.
Lebih parah lagi muncul kecurigaan terhadap pendeta yang tak bersumpah setia kepada konstitusi tersebut dicap mendukung gerakan kontra revolusioner. Bahkan ketika Prancis berperang dengan Austria, banyak masyarakat Prancis yang menuduh dan mencurigai Pendeta yang tidak bersumpah setia kepada konstitusi tersebut turut mendukung musuh dalam menusuk Prancis dari dalam.Â
Kekhawatiran memuncak pada 2 September 1792 (September Massacres) ketika berita tiba bahwa kota Verdun dekat Paris telah jatuh ke tangan pasukan sekutu Prusia. Warga Paris, membayangkan bahwa para kontra-revolusioner yang dipenjara bersiap untuk keluar dan bergabung dengan musuh, Kekhawatiran tersebut membuat warga Paris melakukan penyerangan terhadap tahanan dan menewaskan sekitar 1200 tahanan termasuk 200 pendeta yang ditahan karena tidak bersumpah kepada konstitusi.
Berhasilnya pemberontakan Paris pada 10 Agustus 1792 dengan terpenggalnya Louis XVI diikuti dideklarasikannya Republik Prancis pertama pada 22 September 1792, menjadi titik pembersihan Prancis dari segala sesuatu yang berhubungan dengan rezim di masa lalu.Â
Berdirinya Republik Prancis pertama tidak lantas menjadikan negara menjadi damai. tetapi muncul bayak keresahan sosial di penjuru negeri, dan ancaman negara lain untuk menyerang Prancis dikarenakan posisinya yang lemah pasca Revolusi.
Untuk meredakan keresahan dan ketertiban di masyarakat, membuat munculnya pengadilan revolusi (Revolution Tribunal) pada tahun 1973 yang menghukum oknum-oknum yang dicap sebagai musuh negara taau musuh kebebasan. Dimana diantara orang yang dihukum tersebut adalah kebnayakan orang tak bersalah dan pendeta yang tidak bersumpah kepada konstitusi yang lalu dianggap sebagai musuh negara.
Tahap ketiga perselisihan
Pada era Republik Prancis pertama institusi gereja dan pendeta yang loyal terhadap konstitusi diperbolehkan untuk beroperasi dan melakukan tindakan keagamaan dan kegaitan sosial lain. Tetapi segala sesuatu yang dianggap berhubungan rezim di masa lalu dan juga pendeta yang tidak setia terhadap konstitusi tidak diperbolehkan untuk beroperasi.
Tetapi hal itu berubah drastis setelah muncul gerakan baru menyebutkan bahwa pendeta dan pemuka agama dianjurkan untuk meninggalkan kegiatan keagamaan dan melakukan kehidupan sebagai mana masyarakat umum lainnya, bahkan dianjurkan untuk menikah.Â
Oktober 1973, menurut undang-undang baru bahkan berbagai tindakan keagamaan dan gereja tidak diperbolehkan untuk beroperasi. Berbagai artifak yang berhubungan dengan agama dicopot atau dirusak, tempat keagamaan dialih fungsikan untuk berbagai hal lain. Jalan dengan nama santo dirubah menjadi nama yang bersifat patriotis dan berhubungan dengan gerakan revolusioner.Â
Kegiatan keagamaan dianggap berhubungan dengan rezim masa lalu, dan dianggap tidak sesuai dengan nilai dan cita-cita revolusi. Membuat seolah-olah menciptakan gerakan dan nilai revolusi itu sendiri menjadi sebuah agama. Diperkuat dengan festival-festival yang memperingati bahwa martir yang gugur dalam gerakan revolusi tersebut merukapan seorang santo penyelamat.Â
Ternyata berbagai tindakan tesebut tidak membuat keresahan sosial menjadi reda. Sehingga para filsuf revolusioner mencoba memperkenalkan kultus kultus keagamaan baru dengan berbagai macam cara. Tindakan ini juga tidka berpengaruh sama sekali.
Tetapi akhirnya rezim baru Republik pertama Prancis harus mengakui bahwa jika ingin memastikan kesetiaan umat Katolik Prancis, dan meredakan keresahan sosial .Â
Pemerintah harus menyediakan tempat bagi Gereja yang dapat menjembatani perpecahan, kebingungan, rasa sakit, dan kepahitan dari dekade-dekade Prancis yang sebelumnya. Pemerintahan menyadari bahwa agama dan institusi gereja memberikan dampak penting dalam moral masyarakat dan ketertiban tatanan masyarakat.Â
Cerita diatas merupakan tahap awal bibit munculnya sekulerisme di Prancis. Pasca revolusi Prancis, agama dan institusi yang menaunginya dianggap sebagai hal yang berhubungan dengan rezim yang lalu yang harus dihapuskan.Â
Tetapi penghapusan institusi keagamaan tidak membuat masyarakat menjadi lebih baik sehingga membuat Napoleon Bonaparte setelah menobatkan dirinya sebagai Kaisar Prancis mengambil sikap lain sebagai babak baru hubungan antara negara dan agama di Prancis.Â
Kemudian dilanjutkan dengan konstitusi 1905 yang menyatakan bahwa Prancis merupakan negara Lacit=Sekuler. Namun hal ini merupakan cerita di lain waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H