Penyuluhan Yang  Pasti dan Berkesinambungan Pada  Petani,  Apakah  Pendidikan Nonformal   ? Â
Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan para petani dan keluarganya yang tersebar di pedesaan dan dipinggiran kota di Indonesia  dalam mengadopsi teknologi,  Kementerian Pertanian menerapkan sistem penyuluhan pertanian.
Sistem penyuluhan pertanian ini sudah sejak lama berlangsung  di Indonesia (Nusantara), bahkan dari  berbagai sumber disebutkan sejak didirikannya Sekolah Pertanian Tingkat Menengah Atas di Bogor tahun 1905  oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Dunia pertanian terus mengalami perkembangan dan kebutuhan akan pangan, terutama  beras  semakin meningkatkan, seiring dengan lajunya angka  pertambahan penduduk, maka pemerintah memandang penting untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan  keterampilan  petani sebagai pelaku utama pertanian.
Oleh karena itu sejak Repelita I tahun 1969 pemerintah bertekad untuk meningkatkan produksi pertanian, terutama padi (beras) dengan cara menerapkan teknologi baru secara intensif dan massal.
Agar supaya para petani tahu, mau dan mampu menerapkan teknologi baru tersebut, diperlukan bimbingan yang intensif dan  kontinu oleh tenaga pembaharuan, maka pemerintah melakukan pengadaan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
Dalam perjalanannya, ternyata seorang Penyuluh Pertanian di tengah masyarakat pedesaan tidak hanya sebatas seorang change agent, melainkan juga berfungsi sebagai seorang " guru," katalisator, konsultan, dan sebutan lainnya.
Sebagai tempat satuan administrasi pangkal (satminkal) para Penyuluh Pertanian yang tersebar di beberapa desa  yaitu di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berada di kecamatan atau beberapa kecamatan. BPP merupakan perubahan dari nama yang  sudah ada sebelumnya, yakni Balai Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD).
BPP tidak hanya sebatas " kantor PPL " Â tapi juga merupakan pusat belajar-mengajar bagi petani dan keluarganya, yang dilengkapi dengan sarana prasarana belajar dan ruang baca atau perpustakaan mini.
Sedangkan mekanisme kerja PPL dalam berinteraksi dengan petani dan keluarganya dalam rangka transfer information of teknologi dikenal dengan sistem kerja latihan dan kunjungan (laku) yang dimulai sejak tahun 1979.
Adapun prinsip sistem kerja laku ini yaitu setiap 2 minggu sekali PPL mengikuti pelatihan di BPP dengan  para Instrukturnya berasal dari Dinas Pertanian dan Instansi terkait dan setelahnya  PPL secara kontinu dan berkesinambungan melakukan  kunjungan kepada kelompok tani.
Untuk memastikan Kunjungan dapat berjalan  secara  berkelanjutan, maka setiap PPL wajib memiliki minimal 8 buah kelompok tani, sehingga setiap kelompok, dengan 4 hari dapat terkunjungi setiap 2 minggu sekali dan bila lebih dari 8 kelompok tani, tentu ada 2 kelompok tani yang dikunjungi.
Pertemuan dengan para petani dan keluarganya  yang tergabung dalam wadah kelompok tani ini dirumah pengurus atau saung yang dibangun oleh kelompok tani serta materi yang disampaikan PPL disesuaikan dengan kondisi pertanaman petani disaat itu, baik teori maupun praktek.
Sesuai dengan salah satu fungsinya bahwa kelompok tani sebagai wadah belajar, tentu pada saat pembelajaran berlangsung PPL membantu mencarikan solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi petani, dan bila belum terpecahkan, maka oleh PPL akan dibawah dan sebagai bahan ketika pertemuan di BPP atau ketingkat kabupaten.
Sementara topik pembicaraan ketika terjadi interaksi antara PPL dan para petani dan keluarganya  tersebut tidak hanya sebatas teknik budidaya tanaman/ternak semata, tetapi mencakup ekonomi dan sosial.
Dengan demikian PPL sebelum kunjungan ke kelompok tani harus benar-benar siap karena oleh para petani dianggap orang yang "serba bisa" dan jika memang belum mengetahui, hendaklah jujur mengatakan bahwa belum tahu.
Diketahui, mekanisme sistem kerja Latihan dan kunjungan ini ternyata ampuh untuk mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan (PSK) petani dalam penerapan teknologi baru dan terbukti produksi padi meningkat serta dalam kurun waktu tidak terlalu lama Indonesia pada tahun tahun 1984-1985 mencapai swasembada pangan (beras).
Pencapaian swasembada pangan (beras) tersebut  tentu tidak karena gencarnya pelaksanaan penyuluhan pertanian, namun lebih dari itu dukungan dari pihak terkait dan stakeholder yang tergabung dalam lembaga Satuan Bimbingan massal (Bimas). Â
Gerakan massal yang  tekanannya pada penyuluhan  dan didukung oleh permodalan yang memadai melalui skim kredit lunak serta penyediaan sarana produksi pertanian yang cukup, sangat memungkinkan produksi meningkat.
Majulah kita semua.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H