Mohon tunggu...
Zulkifli SPdI
Zulkifli SPdI Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Arab MAN 3 Solok dan MAN 2 Solok

Hidup akan benilai dengan amal shaleh, manusia akan berharga dengan kemanfaatannya bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kiper Maju, Bereskah Urusan?

6 Mei 2020   09:30 Diperbarui: 6 Mei 2020   09:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selamat bertemu kembali sahabatku semuannya, di manapun berada. Berjumpa kembali dengan saya Buya Zulkifli. Begitulah orang di kampung memanggil. Walaupun sebenarnya saya belum pantas dipanggil dengan "buya". 

Kerena ilmu dan amalan belum sesuai dengan orang yang biasa dipanggil dengan "buya" itu. Pada kesempatan kali ini, saya mengangkat sebuah cerita yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari di dalam rumah tangga. Judulnya "Kiper Maju, Selesaikah Urusan?" 

Saya berharap, tidak ada yang tersinggung ataupun yang baper. Sebelumnya saya mohon maaf kalau ada kata-kata yang kurang tepat. Maklumlah, lain lubuk lain pula ikannya. Lain padang lain pula belalangnya. 

Lain nagari lain pula bahasa dan kurenahnya. Atau kalau ada yang sama nama, tempat atau kejadiannya. Cerita ini murni imajinasi penulis. Mari kita ambil pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Petang hari itu, Mak Mu'in baru saja pulang dari sawahnya yang terletak di balik Bukit Gadang. Tudungnya masih terpakai di atas kepala. Cangkul pun masih disandang di bahunya. Tapi baju dan celana yang dipakainya tidak lagi berkubang luluk sawah. Karena telah digantinya sesudah mandi di batang air di tepi sawah menjelang salat Ashar tadi. Mak Mu'in pun singgah di warung kopi Mak Sutan.

"Assalamu'alaikum, Mak Sutan!". Mak Mu'in memanggil yang punya warung dari balik pintu kayu yang telah lapuk dimakan usia itu.

"Wa'alaikumussalam. Ohh... Mak Mu'in rupanya. Masuklah, Mak! Jawab Mak Sutan dari dalam warung.

"Mak Sutan, tolong buatkan Kowa Daunnya. Tapi jangan terlalu manis pula ya! Bisa-bisa saya kena penyakit gula pula nantinya." Pinta Mak Mu'in kepada Mak Sutan.

"OK, Mak!" Jawab Mak Sutan sambil terus berjalan ke arah belakang untuk manyiapkan minuman Kowa Daun sesuai permintaan Mak Mu'in.

"Waduhh... kenapa tampak kusut benar tampang Mak Mu'in sekarang? Tanya Mak Sutan sambil menghidangkan Kowa Daun dengan tempurung kelapa yang telah dibersihkan sebelumnya. Kemudian diberi alas dengan sepotong bambu supaya tidak mengelinding.

"Maklumlah, Mak Sutan! Kiper itu sekarang sudah maju." Tiba-tiba si Udin Ikut menyela sebelum dijawab oleh Mak Mu'in. Udin yang sedari tadi asyik dengan hp canggihnya, tiba-tiba telingnya berdiri mendengar pertanyaan Mak Sutan.

"Oii... Udin! Tidak baik seperti itu. Hormatilah beliau. Kan beliau lebih tua dari pada kamu" sambung Mak Sutan

"Iya, begitulah, Mak Sutan. Sekarang ini, Saya serba salah jadinya. Jika isteri tidak diperbolehkan pergi bekerja, mengajar anak-anak sekolah itu, tentu percuma juga dia sekolah tinggi-tinggi dahulunya. Apalagi dia sudah lulus jadi PNS. Walaupun sekarang saya sendiri yang jadi kipernya. Seandainya saya tidak mau mengalah, tentu saja anak-anak juga yang akan ternaiaya nantinya." 

 "Tapi... maaf, Mak Mu'in. Bukannya Mak Mu'in seorang sarjana juga dulunya? Kenapa kerjanya ke sawah ke ladang juga seperti kami yang tidak bersekolah ini, Mak? Tanya Udin panasaran.

"Itulah namanya rezeki, Udin. Walaupun sama-sama berusaha, sama-sama berpendidikan tinggi, tapi kan tidak semuanya bisa beruntung bisa jadi pagawai. Yang penting, kan berusaha." Jawab Mak Sutan pula.

"Tapi... saya salut juga melihat Mak Mu'in ini, Mak Sutan! Coba bayangkan oleh Mak Sutan! Tidak ada laki-laki, suami yang mau mambantu pekerjaan orang rumahnya[1]. Walaupun dia tidak punya pekerjaan tatap. Tapi Mak Mu'in ini, setiap hari tetap pergi ke sawah ke ladang, sekali-kali juga Ikut acara di desa sesuai dengan sarjananya. Namun, beliau ini mau mambantu pekerjaan isterinya yang sibuk pergi pagi pulang petang karena mengajar di sekolah." 

"Udin, pernahkah kamu membaca kisah Nabi Muhammad SAW? Beliau itu Nabi, Kepala Negara, Panglima perang. Tapi beliau tidak segan menjahit sendiri bajunya yang sobek. Padahal isterinya ada di rumah. Begitulah juga dengan menantu beliau, Ali bin Abi Thalib. Ali terus mambantu Fatimah menggiling gandum untuk dijadikan tepung untuk membuat roti. Masa iya kita yang bukan siapa-siapa bila dibandingkan dengan beliau-beliau itu, tidak mau pula menolong isteri sendiri?" sambung Mak Mu'in.

"Benar itu, Udin! Walaupun terkadang seorang wanita itu, ketika suaminya mau menolong, dia sering pula lupa diri. Sehingga dia seenaknya saja menyuruh dan melarang suaminya. Bukankah sudah durhaka kepada suami namanya itu! Dia sering lupa dengan tugas dan tanggung jawabnya di rumah sabagai isteri dan ibu dari anak-anaknya Karena disibukkan oleh tugas-tugas di luar rumah"  sambung Mak Sutan

"Haaa... itulah yang saya maksud dengan kiper maju tadi, Mak Sutan! Memangnya, kalau kiper itu sudah maju ke depan, bereskah urusan? Atau malah tambah runyam dan kusut dibuatnya? Atau kalau gawang ini dibobol  oleh kawan nanti bagaimana ?" Tanya Udin tambah panasaran.

 Mak Mu'in tampak terdiam mendengar serbuan pertanyaan yang disampahitan oleh si Udin. Keningnya tampak berkerut seperti orang minum kopi pahit.

"Ondeh... tambahkan gulanya sedikit lagi, Mak Sutan." Rupanya memang Kowa Daun tadi terasa benar kelatnya karena kurang gula. Pantaslah berlenggek-lenggek kerut kening Mak Mu'in dibuatnya.

 Mak Sutan pun cepat pergi kembali ke etalase warungnya untuk mengambil sesendok kecil gula pasir. Maklumlah, Etek Biyai belum juga pulang dari pekerjaannya Sehingga terpaksa Mak Sutan maju-mundur, ke muka dan ke belakang malayani palanggan warung kopinya.

"Hmmm... Jadi begitulah, Udin. Dalam hidup berumah tangga itu, harus ada saling tolak ansur. Harus ada yang mengalah untuk hal yang baik itu. Udin kan belum mencoba, makanya enak saja berbicara seperti itu. Cobalah nanti Udin!" Mak Mu'in tampak sangat serius dari raut mukanya yang mulai memerah sehingga seperti dendeng balado.

"Benar itu, Udin" sambung Mak Sutan sambil memasukkan gula ke dalam Kowa Daun Mak Mu'in.

"Assalamu'alaikum Saudara-saudaraku semuanya!" tiba-tiba Angku kali datang, membuat orang yang ada di warung terkejut karena terlalu serius mendengar penuturan Mak Mu'in, Mak Sutan dengan si Udin tadi.

"Ooo Angku Kali Rupanya... Wa'alaikumussalam. Masuklah, Angku!" jawab Mak Sutan menyambut kadatangan Angku Kali di warungnya.

"Saya tadi sempat mendengar cerita yang berkembang di warung ini dari balik pintu. Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah, kalau isteri tu Ikut pula bekerja mambantu suaminya. Walaupun yang menjadi kaptennya di rumah tangga itu tentu saja yang laki-laki. Ini salah satu efek samping dari emansipasi wanita agaknya. Sehingga lapangan pekerjaan sekrang ini sama-sama terbuka untuk laki-laki dan perempuan. Tentu syarat dan ketentuan berlaku. Begitulah kata Ustaz Abdul Somad dalam ceramahnya tempo hari." Angku Kali langsung memasukkan petuahnya.

"Iya, Angku. Cuma jangan sampai pula nahkoda itu dipegang dan dikendalikan oleh para ibu-ibu, bisa kacau urusan karenanya." Si Udin tampak masih belum mengerti juga atau memang karena kurang setuju tampaknya.

 "Justeru itu lah, Udin. Makanya harus ada SOP atau MOU yang jelas antara suami dengan isteri termasuk mertua juga. Kadang ketika anak dengan menantu damai-damai saja, tapi dipanas-panasi oleh mertua yang tidak setuju anaknya Ikut bekerja pula. Atau karena iba melihat menantunya yang harus Ikut pula memasak dan mencuci piring di dapur karena anaknya sibuk dengan pekerjaan di kantor." Mak Sutan pun tidak mau kalah mendengar perkataan si Udin.

"Maaf, Mak Sutan. SOP dengan MOU itu apa ya?!" Kini kening Udin pula yang berkerut mendengar istilah Mak Sutan.

"Ha ha ha ha..." Seisi warung orang tertawa mendengar pertanyaan si Udin.

"Itu makanya sekolah, Udin. Jangan cuma pandai bermain domino dan koa saja di warung kopi." Mak Mu'in mendapat kesempatan membalas si Udin yang dari tadi menertawakannya.

"Sekarang sudah satu sama mainnya, Udin! Ha ha ha ha". Mak Mu'in tertawa terkikih-kikih Sehingga hampir saja Kowa Daun tadi tertumpah.

 Si Udin tampak merah mukanya seperti udang yang digoreng. Maklumlah kulitnya masih bersih karena kurang berjemur dan berpanas-panasan, alias sering duduk-duduk saja di warung kalau tidak ada orang yang mengajaknya bekerja.

"Jadi, SOP atau MOU itu secara sederhananya ada komunikasi yang jelas dan saling terbuka antara suami dengan isteri termasuk dengan mertua juga. Sehingga si isteri tidak boleh lepas tanggung jawab pula sebagai ibu rumah tangga, walaupun dia sudah bekerja di kantor seharian. Jangan sampai karena penat oleh pekerjaan itu, lalu suami pula yang disuruh-suruh membeli cabe ke kedai. Kan tidak etis pula. Atau ketika suami pulang bekerja, tidak pula dibuatkan kopinya Karena suami sudah biasa membuat kopi sendiri. Yang mertua begitulah pula, jangan sering benar menyindir-nyindir menantu mentang-mentang dia menumpang di rumah kita. Bukankah adat kita juga yang membuat laki-laki tinggal di rumah mertuanya. Kecuali kalau menantu itu orang yang punya uang, tentu saja dia bisa membuat rumah sendiri untuk anak isterinya, atau paling kurang, mereka mengontrak rumah di tempat lain." Tambah panjang saja pengajian Angku Kali terbuka jadinya.

"Tapi, Angku. Kadang yang perempuan itu pula yang tidak mau Ikut suaminya pindah dari rumah ayah dan ibunya hanya karena suaminya bukan orang kaya." Sambung Udin masih membela pendapatnya.

"Tergantung pribadinya juga, Udin. Kalau Etek tidak seperti itu orangnya! Lihatlah Etek mau tinggal di warung sekaligus rumah ini, ruko kata orang sekarang. walaupun kondisinya sederhana, tidak sebagus dan senyaman rumah orang tua saya. Biarlah susah, asalkan dekat uda. Bukankah begitu ungkapan tukang dendang dalam lagunya." Tiba-tiba Etek Biyai, isterinya Mak Sutan yang punya warung itu datang langsung pula menyela pembicaraan warung yang sedang hangat-hangatnya di senja hari tu. Baju dinas Etek Biyai pun masih belum sempat diganti sejak pulang mengajar di sekolah tadi.

"Belum Uda buatkan Angku Kali ini minumannya? Jadi beliau sudah maota kariang[2] sejak dari tadi tampaknya." Etek bertanya kepada Mak Sutan karena belum tampak air yang akan diminum oleh Angku Kali di meja dekat tempat duduknya. 

"Sekarang giliran Etek lagi! Saya kasihan juga melihat Mak Sutan yang telah susah-payah ke depan dan ke belakang sejak dari tadi. Sudah bertambah langsing beliau tampaknya!" kata si Udin pula disambut gelak-tawa orang di warung. Sementara Angku Kali cuma tampak senyum kecil saja. Hanya sesekali tampak jenggot hitamnya bergoyang-goyang kecil karena manahan tawa.

"Ok lah kalau begitu, Udin" jawab Etek Biyai sambil terus ke belakang membuatkan Kowa Daun untuk Angku Kali.

"Jadi, beginilah, Udin! Kita berumah tangga itu seperti orang pergi berlayar ke tengah lautan luas. Maka seluruh orang yang ada di kapal itu Ikut bertanggung jawab supaya bisa sampai dengan selamat ke pulau yang dituju. Yang jadi nahkoda atau kaptennya tentu saja si suami. Yang si isteri harus bisa pula mambantu nahkodanyo dalam mengendalikan kapal tadi dan juga untuk urusan perut orang sekapal itu. Jangan sampai ada yang mementingkan egonya sendiri-sendiri saja. Apalagi kalau menghadang badai dalam rumah tangga. Tidak bisa selamat kalau masing-masingnya tidak bisa bekerja sama. Harus ada yang mengalah demi kebaikan basama. Kalau sudah ada yang mengalah, jangan pula dianggap kalah. Apalagi dianggap remeh, tidak dihargai perjuangannya selama ini. Ingatlah, gempa dan tsunami itu terjadi disebabkan oleh karena adanya energi yang terkurung di bawah kulit bumi ini. Sehingga begitu dia dapat celah untuk keluar, meranalah kita dibuatnya." Begitulah nasihat Angku Kali.

"Iya juga, Angku!" kata Etek Biyai sambil meletakkan secangkir Kowa Daun di dekat Angku Kali. 

Begitulahlah Cerita di warung kopi Mak Sutan senja hari tu. Sebenarnya kalau direntang, pasti bisa sangat panjang. Baguslah kalau kita buhul agar menjadi singkat. Kita ambil saja yang akan dipergunakan saja. Mudah-mudahan Cerita tadi bisa membuka pikiran kita dan juga bisa kita ambil hikmah dan palajaran di dalamnya. Ambil yang baik, buang yang buruknya. Kalau ada salah kata, mohon dimaafkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun