Ketika kita berkunjung atau bahkan merantau, tinggal di daerah yang bukan daerah asal biasa kita tinggali maka harus dengan segera menyesuaikan diri, mempelajari dan memahami kearifan lokal tentang bahasa yang biasa digunakan di sana agar tidak terjadi miskomunikasi, kesalah pahaman apalagi permusuhan dan pertengkaran.
Sebagai contoh sederhana, ketika kita berkunjung ke Medan (Sumatera Utara), jangan sekali-sekali menyebut "makan tulang". Karena di sana tulang artinya adalah paman.Â
Ketika berkunjung dan ingin menginap di rumah seorang teman di daerah Lintau (Batusangkar) misalnya, jangan takut apalagi lari kalau sang tuan rumah akan berkata kepada anaknya : "alah babantai kawan ang tadi?". Karena artinya adalah : "Sudahkah kamu berikan bantal kepada temanmu tadi?".Â
Begitu juga ketika kita memahami al Qur'an dan Hadis yang jelas-jelas menggunakan bahasa Arab dengan struktur sastra yang sangat tinggi.Â
Sehingga belum bisa dipahami maknanya ketika kita hanya membaca terjemahannya saja. karena satu kata yang sama akan memiliki makna yang berbeda-beda tergantung siak (susunan) kalimatnya dan segenap ketentuan-ketentuan lainnya sebagai mana yang terdapat dalam ilmu Nahwu, Sharaf, Ma'ani, Bayan, Mantiq, asbabun nuzulnya dan lain-lain.
Sebagai penutup, marilah kita perhatikan pesan yang disampaikan Umar bin Khattab : " " artinya : "Pelajarilah bahasa Arab karena sesungguhnya dia termasuk bagian dari agamamu !" Agar tidak terjadi "jalan dialiah urang lalu, cupak dialiah urang manggaleh" dalam memahami ajaran agama Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H