Setiap anak pada dasarnya mempunyai keunikan tersendiri. Ada anak cenderung pendiam, ada pula yang cenderung aktif, kreatif dan tak bisa diam. Bahkan ada yang dinamakan dengan anak hyperaktif.Â
Orang tua sering dibuat pusing tujuh keliling menghadapi anak cederung tak bisa diam. Tangannya tak bisa berhenti berkerja, bahkan cederung susah untuk berkonsetrasi terhadap sesuatu.
"Disuruh kerjakan ini, kamu tidak mau! disuruh kerjakan itu, kamu juga enggan, tapi disuruh diam kamu pun tak bisa! selalu saja berjingkrak-jingkrak ke sana-sini, tak mau duduk tenang walau sebentar saja!"Â Â
Begitulah salah satu sya'ir yang keluar dari mulut seorang ibu melihat anaknya yang tak mau berhenti menyalurkan energinya. Tentu saja pada hal-hal yang dia senangi, bukan pada apa yang disuruh oleh ibunya.
Seorang anak yang aktif, sebenarnya menyimpan berbagai macam energi yang luar biasa, baik di dalam tubuhnya secara umum maupun energi di otaknya. Sehingga apabila energi itu tidak disalurkan, maka terjadilah letupan energi sebagaimana halnya gempa bumi tektonik maupun vulkanik.
"Kok jauh kali ya perumpamaannya? Emangnya seorang anak yang mengamuk sama dengan mengamuknya gunung berapi? Atau seperti mengamuknya air laut yang ombaknya menjadi tsunami gitu?" Tanya rekanku memberondong telinga.
"Ya, Gak segitunya juga kali, Sob! Paling kalau energi meledak-ledak, mungkin hanya piring yang akan terbang, atau habis mainan mobil-mobilnya dipreteli." Aku pun tak membalas berondongan pertanyaannya dengan santai saja.
"Jadi begini, Sob! Pada dasarnya anak itu bukannya tidak bisa diam, dia hanya mengikuti letupa-letupan energi dari dalam dirinya, semestinya kita yang sudah dewasa ini mencarikan solusi dan alternatif kegiatan positif yang bisa dia lakukan untuk menyalurkan energinya itu. Dampingi dia dalam menyalurkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga energinya tersalurkan secara terarah dan tidak akan menyebabkan lonjakan energi di dalam dirinya."Â
Jawabku lagi seperti seorang Psikolog saja. Sementara itu, temanku hanya mangut-manggut saja, entah dia paham sekali atau benar-benar belum paham. Maklum dia belum punya anak soalnya.
Begitulah, anak yang aktif dan kreatif perlu dukungan dan arahan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Baik itu orang tuanya, kakek neneknnya, kakaknya dan lain-lain.Â
Jika diibaratkan seperti air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke yang rendah, maka jelas harus ada saluran, parit bahkan sungai tempatnya mengalir sampir berakhir di muara.Â
Apabila alirannya tadi terhalang oleh sesuatu yang bisa diterjangnya, maka dia akan menerjang. Sebaliknya jika air terhalang oleh sesuatu yang besar dan berat pula, maka dia akan mencari jalur alternatifnya sendiri meskipun akan berdampak buruk bagi yang lainnya.
Artinya, apabila ada seorang anak aktif, kemudian energinya tidak tersalurkan dengan baik, tentu saja dia berusaha mencari kegiatannya sendiri untuk menyalurkan energi tersebut.Â
Sasarannya bisa saja benda-benda di sekitarnya, mainannya, sabun di kamar mandi, atau bahkan dinding rumah yang baru saja dicat menjadi kanvas melukis baginya.Â
Bahkan tak jarang, barang-barang yang semestinya masih bagus justeru menjadi rusak dan hancur terberai-berai dibongkarnya. Betapa banyak pula buku-buku tulis yang diukir seperti benang kusut di setiap halamannya.
Satu hal lagi, ada pesan dari seorang dosen Psikologi Pendidikan kami dahulu. Bahwa jangan pernah menganggap seorang anak seperti orang dewasa yang bertubuh mungil.Â
Sehingga semua hukum dan ketentuan yang berlaku bagi orang dewasa, juga diterapkan kepadanya. Ini jelas sebuah kekeliruan yang sangat nyata dan mendidik dan membesarkan seorang anak.
Demikianlah, semoga kita semakin bijak dan arif menjadi orang tua. Sehingga kita tidak membonsaikan anak kita yang seharusnya bisa menjadi beringin besar di masa depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H