Mohon tunggu...
butho idjo
butho idjo Mohon Tunggu... -

Hanya seorang engineer biasa :) => http://butho.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pentas Malam

2 Juli 2010   09:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:08 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kecepatan penuh ku berlari sekencang-kencangnya. Tak kuhiraukan lagi teriakan bapakku yang menyuruh untuk kembali. Sudah mantab dalam hati ini untuk menyaksikan pertarungan itu. Yach, sebuah pertarungan yang sangat hebat, begitu kata tetanggaku yang pernah melihat itu sebelumnya.

Malam semakin larut. Cahaya bulan bersinar dengan terangnya. Dentang jam masjid yang dikeraskan melalui speaker telah berdentang sebanyak 9 kali. Ini menunjukkan waktu telah lewat jam 9 malam.

Sekitar 10 menit lamanya berlari, akhirnya sampailah aku disebuah tikungan kampung. Dari situ bisa ku dengar dengan jelas tetabuhan yang berasal dari suara gendang dan jidor. Alunan irama gendang dan jidor yang kencang membuatku mempercepat lari agar tidak sampai ketinggalan pertunjukkan.

Dengan nafas terengah-engah, akhirlah sampailah aku di tempat tujuan. Disini warga kampung sudah berkumpul mengelilingi panggung dengan tinggi sekitar satu meter, dengan luas sekitar 5 x 5 meter. Di sekeliling panggung dibentangkan 3 utas tali tambang yang fungsinya mirip dengan ring tinju, yaitu sebagai pembatas luar dan pengaman panggung.

“Tho, Butho, kesini… lama sekali kau…!!!”. Seorang teman memanggilku dengan kesal dibelakang kerumunan warga. “acara akan segera dimulai, itu mereka sudah bersiap-siap”.

Jangan tanya aku kenapa aku dipanggil Butho.

“aku ga diijinin sama bapak. Tadi aku berhasil menyelinap, meskipun akhirnya ketahuan”, aku berusaha menjelaskan.

“lho, ketahuan kok bisa nyampek sini?,” tanya temenku heran.

“ya kulari aja sekencang-kencangnya, bapak gak mungkin bisa ngejar aku lah”.

“ya sudah, ayo kita ke pojokan situ. Kayaknya itu tempat paling pas untuk melihat pertunjukan ini. Barusan nama perguruan yang ada dikampung kita telah dipanggil untuk berpentas.”

Segera ku susul langkah temenku menembus kerumunan warga. Setelah berdesak-desakan, akhirnya sampailah kami pada sebuah tempat yang lebih tinggi, tepatnya diatas pohon jambu. Disebuah cabang yang memanjang, kami berdua duduk-duduk menghadap panggung.

***
Temanku biasa kupanggil Qomar. Ini dikarenakan wajah dan bentuk tubuhnya sangat mirip dengan pelawak 4 sekawan yang bernama Qomar. Tubuhnya lebih kecil dari aku meskipun kami seumuran. Kami berdua sama-sama duduk di kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD).

Semakin malam suasana makin meriah. Ketiplak ketipluk bunyi gendang dan jidor semakin garang ditabuh. Ini pertanda bahwa pertunjukkan benar-benar akan segera dimulai. Benar juga, dari sebuah rumah warga yang dijadikan markas sementara disisi timur, sisi dimana terdapat sebuah pohon jambu tempat aku dan temenku hinggap , keluarlah 5 pemuda berseragam silat warna hitam dengan membawa senjata masing-masing. Aku kenal benar kelima pemuda itu. Maklum, karena mereka masih satu desa denganku. Usia mereka berlima berkisar antara 16-19 tahun. Satu–satu mereka naik keatas panggung. Yang paling pertama naik bernama Mujib, dia pegang senjata tongkat besi, panjangnya sekitar 2 meter. Berturut-turut dua pemuda dibelakangnya adalah Amar dan Mukhid dengan senjata pedang ala samurai. Sedangkan dua yang lain adalah Adhim dan Farid, keduanya bersenjatakan celurit ala Madura.

***
Ketiplak ketipluk…ketiplak ketipluk…ketiplak ketipluk dung dung Dorrr….1000x

Mungkin seperti itulah perpaduan suara gendang dan jidor. Dengan diiringi suara semacam itu, kelima pemuda dengan senjata ditangan melakukan penghormatan ala perguruan dihadapan para warga dan tetua desa. Selesai melakukan penghormatan, Mujib meletakkan tongkatnya di pinggir panggung sedangkan empat orang kawannya meletakkan senjata masing-masing di empat sudut yang berbeda. Dengan posisi ditengah dan dikelilingi ke empat orang kawannya, Mujib berperan seperti Wong Fei Hung yang dikepung oleh 4 orang penjahat.

Entah ini sebuah kode atau tidak, sebuah teriakan Mujib yang lumayan kencang segera disambut oleh pukulan dan tendangan dari keempat orang kawannya. Seorang diri ditengah, Mujib berusaha menangkis dan membalas setiap serangan yang datang. Aku dan temanku yang bertengger di sebuah dahan pohon jambu benar-benar dibuat kagum dengan kecepatan serangan dan tangkisan dari pertunjukan yang kusaksikan. Pertarungan diatas panggung ini benar-benar seperti nyata. Tak nampak kalau hal ini telah mereka latih sebelumnya. Dan suasana semakin tegang pada saat empat orang yang mengeroyok Mujib tersungkur diempat sudut berbeda hingga kemudian mengambil senjata masing-masing.

Pedang pun diacungkan, celurit dipamerkan. Mujib pun tak mau kalah, diambilnya tongkat besi yang sudah dipersiapkan. Tongkat pun di putar-putar, pertanda dia tak gentar. Penabuh gendang pun semakin garang, hingga membuat malam semakin berisik dengar iramanya.

Amar berinisiatif memulai serangan. Pedang yang dia pegang segera dihujam ke jantung Mujib. Dengan sigap Mujib segera menangkisnya. Adhim yang berada dibelakang Mujib pun tak mau tinggal diam. Celurit yang dipegang segera disabetkan ke leher Mujib. Mendapat serangan itu, Mujib yang memang sudah siaga penuh menyerang kaki Amar sambil menundukkan kepala untuk menghindari serangan Adhim. Dalam posisi menunduk, sebuah serangan datang dari arah yang lain. Mukhid yang bersenjatakan pedang menebaskan pedangnya dari atas dengan gerakan seperti membelah batang kayu. Mendapat serangan seperti itu, Mujib segera merebahkan dirinya ke lantai kemudian bergulung kesamping untuk kemudian berdiri bersiap siaga lagi.

Begitulah, serangan senjata bertubi-tubi datang dari segala penjuru. Kadangkala, disaat Mujib sedang terpojok, mau tak mau adu senjata pun terjadi. Bunyi dentingan dua pedang dan dua celurit yang beradu dengan sebuah tongkat besi benar-benar bisa membuat bulu kuduk berdiri. Suara dentingannya benar-benar menyayat hati. Suara teriakan warga, terutama dari kaum hawa menambah riuhnya suasana.

“sudah, cukup, jangan diteruskan….”, begitulah teriakan yang terdengar dari para wanita, terutama ibu-ibu. Apalagi para ibu kandung dari pemuda yang berada diatas panggung tersebut.

Tiba-tiba…………

Benturan antara celurit yang dipegang Farid dan tongkat yang dipegang oleh Mujib berbunyi keras sekali. Akibat dari benturan itu, lengkungan celurit yang dipegang oleh Farid terlepas dari pegangannya. Celurit itu berputar-putar diatas kepala warga sejauh 10 meter dan berhenti saat mengenai sebuah mobil pick up dan memecahkan kaca depannya. Warga pun berhamburan. Panitia segera menghentikan pentas dan segera meluncur kearah mobil pick up. Adakah seseorang yang berada di mobil pick up tersebut?

(cerita selanjutnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun