Dengan kecepatan penuh ku berlari sekencang-kencangnya. Tak kuhiraukan lagi teriakan bapakku yang menyuruh untuk kembali. Sudah mantab dalam hati ini untuk menyaksikan pertarungan itu. Yach, sebuah pertarungan yang sangat hebat, begitu kata tetanggaku yang pernah melihat itu sebelumnya.
Malam semakin larut. Cahaya bulan bersinar dengan terangnya. Dentang jam masjid yang dikeraskan melalui speaker telah berdentang sebanyak 9 kali. Ini menunjukkan waktu telah lewat jam 9 malam.
Sekitar 10 menit lamanya berlari, akhirnya sampailah aku disebuah tikungan kampung. Dari situ bisa ku dengar dengan jelas tetabuhan yang berasal dari suara gendang dan jidor. Alunan irama gendang dan jidor yang kencang membuatku mempercepat lari agar tidak sampai ketinggalan pertunjukkan.
Dengan nafas terengah-engah, akhirlah sampailah aku di tempat tujuan. Disini warga kampung sudah berkumpul mengelilingi panggung dengan tinggi sekitar satu meter, dengan luas sekitar 5 x 5 meter. Di sekeliling panggung dibentangkan 3 utas tali tambang yang fungsinya mirip dengan ring tinju, yaitu sebagai pembatas luar dan pengaman panggung.
“Tho, Butho, kesini… lama sekali kau…!!!”. Seorang teman memanggilku dengan kesal dibelakang kerumunan warga. “acara akan segera dimulai, itu mereka sudah bersiap-siap”.
Jangan tanya aku kenapa aku dipanggil Butho.
“aku ga diijinin sama bapak. Tadi aku berhasil menyelinap, meskipun akhirnya ketahuan”, aku berusaha menjelaskan.
“lho, ketahuan kok bisa nyampek sini?,” tanya temenku heran.
“ya kulari aja sekencang-kencangnya, bapak gak mungkin bisa ngejar aku lah”.
“ya sudah, ayo kita ke pojokan situ. Kayaknya itu tempat paling pas untuk melihat pertunjukan ini. Barusan nama perguruan yang ada dikampung kita telah dipanggil untuk berpentas.”
Segera ku susul langkah temenku menembus kerumunan warga. Setelah berdesak-desakan, akhirnya sampailah kami pada sebuah tempat yang lebih tinggi, tepatnya diatas pohon jambu. Disebuah cabang yang memanjang, kami berdua duduk-duduk menghadap panggung.