Mohon tunggu...
Butet Rsm
Butet Rsm Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dari tiga anak yang tinggal di Bantul.

Ibu-ibu biasa yang menyukai menulis dan bersosialisasi lewat media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perlukah Heran Melihat Balita yang Tantrum?

24 Mei 2021   08:30 Diperbarui: 27 Mei 2021   16:07 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak tantrum (Sumber: Bha Pi/Pexels)

Sebagai ibu dari tiga anak yang masih kecil-kecil semua, saya berkali-kali mengalami yang namanya menghadapi anak tantrum saat mereka masih balita. 

Seringnya, ketika anak saya tantrum, sepertinya dunia berharap saya menjadi superhero yang segera bisa menolong anak saya dengan membuatnya kembali diam dan bersikap manis. Orang-orang di sekeliling nampaknya selalu kaget dan keheranan melihat balita yang sedang tantrum. Padahal, tantrum adalah hal yang wajar terjadi. 

Meski saya mempunyai tiga anak dengan pola didikan yang sama untuk ketiganya, ternyata saya tetap bisa mencicipi tiga gaya tantrum yang berbeda dari mereka. 

Maka, saya rasa, anak-anak di seluruh dunia memiliki gaya tantrum yang bisa saja berbeda antara satu dengan yang lainnya. Meski begitu, tetap ada benang merah dari aneka gaya tantrum setiap individu. Dapat dikatakan bahwa tantrum adalah sarana regulasi pelepasan emosi negatif pada anak-anak yang diekspresikan dengan cara meledak-ledak. 

Kemiripan gaya tantrum secara umum bercirikan menangis keras, mengamuk dengan berteriak, menyakiti orang lain, atau menyakiti dirinya sendiri. Kata pakar-pakar parenting sih tantrum terjadi karena anak balita belum mampu mengekspresikan emosinya yang meledak-ledak ke dalam bentuk verbal yang tenang, tertata, dan anggun macam putri Indonesia. 

Biasanya tantrum disebabkan karena ada permintaan anak balita yang tidak dituruti lalu mood-nya drop, bisa juga karena cemas akan sesuatu. Mirip orang dewasa yang moody. 

Bedanya, pada balita ekspresi emosional lebih terlihat meledak-ledak, tanpa komunikasi yang jelas. Bayangin kamu lagi kesal dan orang lain tidak juga paham dengan kekesalanmu, padahal kamu sudah berusaha berekspresi seekspresif mungkin, nggak enak kan? Nah, itulah yang dirasakan anak balita yang sedang tantrum. 

Kebanyakan orang akan terpaku dan keheranan saat melihat ada balita tantrum di dekatnya. Kok didiemin aja sama ibunya? Kok mukulin ibunya nggak dihentikan malah cuma dipeluk? Kok guling-guling di tanah nggak langsung diangkat kan kasihan, gimana sih ibunya? Kok nangis teriak-teriak nggak disuruh lekas diam, kan mengganggu publik. Anak kok nggak dididik dengan disiplin, jadi apa nanti kalau dibiarkan gitu terus sama ibunya? 

Gimana sih sebenarnya ilmu parenting zaman now, kok mengizinkan anak mengamuk semaunya? Dan seterusnya.... 

Hingga, mungkin saja dengan menggebu-gebu, seseorang yang melihat kejadian anak tantrum akan membuat unggahan tentang seorang ibu muda tak bertanggungjawab yang membiarkan anak balitanya mengamuk di ruang publik. 

Bagi kebanyakan orang, mungkin mendisiplinkan anak balita penting banget diterapkan sedari dini seperti anak-anak di negara lain yang bisa tertib dan patuh sejak orok. 

Oke, stop sampai di situ saja paparan soal kebiasaan maha benar para "pakar" parenting dadakan di era digital berbasis judging atas peristiwa anak tantrum yang dilihatnya. 

Seringnya, para ibu dengan anak balita yang dalam fase dikit-dikit tantrum, tak hanya mendapat kritik pedas dari tatapan mata orang asing. Biasanya terjadi juga intervensi atas pengasuhan yang datang dari keluarga. 

Sebut saja dari simbah, budhe, pakdhe, bulik atau paklik. Intervensi yang dilakukan memang seringnya bertujuan baik sih, biar sang anak balita kesayangan keluarga lekas diam dan tenang. Biar ekspresi si anak balita  cukup senyum-senyum manis aja seperti boneka cantik dari India. Padahal, fase tantrum adalah hal yang lumrah terjadi, lho. 

Saya jadi ingat, saat kami sekeluarga besar sedang berwisata ke Malang. Waktu itu, tiba-tiba keponakan saya yang bernama Aubrey, menangis meraung-raung saat rombongan kami akan pindah destinasi wisata. 

Jadi, Aubrey sedang tak ingin turun dari stroller-nya, tapi ia juga ingin segera naik mobil menuju ke destinasi wisata bersama kakak-kakak sepupunya. Kegalauannya dalam memilih stroller atau segera naik mobil membuatnya tantrum. 

Aubrey tidur di aspal sambil menangis keras dan menendang-nendangkan kakinya dengan acak. Puncaknya, ia minta tetap naik stroller di dalam mobil. Sungguh, permintaan ngadi-adi. Jangankan mamanya, jin Djarum 76 pun saya rasa akan malas mengabulkannya. 

Mama Aubrey tahu, anak ini bangun terlalu pagi karena over excited. Sehingga hal kecil nan remeh pun dapat menjadi alasan tantrum. Mamanya pun meminta agar sang papa menggendong Aubrey ke dalam mobil. Ya, bahaya kan tiduran di aspal gitu. Tapi tenaga anak yang sedang tantrum kadang menjadi sangat besar, seperti orang kesurupan. 

Jadi, meski papanya sudah berhasil menggendong dan menaikkan ke mobil, Aubrey berhasil melepaskan diri. Iya, dia mau kembali menangis sambil menggelepar di aspal. Sayangnya, saat ia lepas dari papanya, pak sopir pun sedang berusaha mendorong pintu mobil Hiace yang kami naiki. Lalu "Huaaaa", tiba-tiba Aubrey menjerit. 

Semua panik, mengira kaki Aubrey terjepit pintu. Oalah, ternyata dia menjerit karena sepatu merahnya terlepas dan jatuh. Pak sopir pun nampak ketakutan. Pak sopir khawatir jika kaki Aubrey terjepit, untungnya ya tidak terjepit. Tangisnya semakin keras hanya karena pintu mobil sudah ditutup. 

Di dalam mobil, Aubrey tak kunjung tenang. Ya, bagaimana mau tenang, ada Opung dan Uti yang sibuk dan berisik mencoba ikut menenangkan. Saya kesal juga mendengar ikut campurnya orangtua saya dalam usaha menenangkan cucunya. Saya teriak deh, "Udahlah!  Nggak usah ikut-ikutan. Anak tantrum kalau dibujukin orang lain selain ortunya ya malah makin drama. Biar mamanya aja yang menenangkan." 

Akhirnya mama Aubrey mengeluarkan  jurus andalan dengan tawaran menyusu. Aubrey pun segera tenang dan terlelap di pangkuan mamanya. Lalu perjalanan berlanjut dan ternyata saat bangun, anak ini seperti nggak inget lho habis nangis dan meronta heboh. Langsung ceria begitu saja. 

Sesungguhnya usaha mempercepat durasi tantrum dengan cara memberikan yang anak balita mau atau memberikan apa saja supaya anak balita lekas diam dapat menjadi bumerang untuk anak balita dan orangtuanya sendiri. 

Dono Baswardono, seorang pakar parenting,  pernah menyebut bahwa memberikan keinginan balita tantrum sama dengan menumbuhkan bibit kudeta. Seserius itu, lho. Maka, ibu-ibu yang sudah melek akan wawasan ini, pasti sudah punya cara tersendiri untuk mengatasi, tanpa perlu dicampuri oleh orang lain. 

Langsung memotong emosi balita yang sedang tantrum dengan hardikan juga tidak boleh, karena di masa depan, bisa jadi sang balita bakal kesulitan mengatasi emosinya sendiri. Solusinya memang membiarkan hingga letupan emosi selesai, meski jadi sering disalahpahami sebagai pembiaran. 

Padahal kalau mengamati lebih serius, para ibu yang sudah mahir mengatasi tantrum anaknya pasti sudah tahu kok, bahwa batasan "pembiarannya" adalah selama tidak membahayakan keselamatan dan nyawa anak. Dalam batas tersebut, ekspresi apapun boleh dilakukan oleh anak sebagai wujud pengeluaran emosi. 

Mau bilang, kalau belum mengalami nggak usah banyak komentar, tapi kok rasanya kasar banget ya? Jadi yah, semoga tulisan ini bisa menjawab pertanyaan di benak para pengamat dan pakar parenting dadakan yang sering terheran-heran melihat balita menangis histeris atau ambruk di lantai mall sambil menendang-nendang dan berteriak, sementara ibunya terlihat B aja karena sudah terbiasa. 

Doakan saja para ibu itu, supaya bisa mendampingi anak-anak di fase tantrumnya dengan tetap sabar. Iyah, tantrum pada anak memang cuma fase, kok. Sama seperti rasa gelisah ketika belum gajian, pasti berlalu setelah nominal gaji terlihat di rekeningmu. Lagipula, tantrum itu beneran bukan salah ibu, bukan pula semata cuma jadi urusan ibu. Semoga nggak ada lagi yang ngucapin, "ibunya kok gitu sih", saat melihat anak tantrum yang dicuekin ibunya, sementara neneknya terlihat sibuk membujuk. 

Butet RSM, ibu dari tiga anak yang tinggal di Bantul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun