Oke, stop sampai di situ saja paparan soal kebiasaan maha benar para "pakar" parenting dadakan di era digital berbasis judging atas peristiwa anak tantrum yang dilihatnya.Â
Seringnya, para ibu dengan anak balita yang dalam fase dikit-dikit tantrum, tak hanya mendapat kritik pedas dari tatapan mata orang asing. Biasanya terjadi juga intervensi atas pengasuhan yang datang dari keluarga.Â
Sebut saja dari simbah, budhe, pakdhe, bulik atau paklik. Intervensi yang dilakukan memang seringnya bertujuan baik sih, biar sang anak balita kesayangan keluarga lekas diam dan tenang. Biar ekspresi si anak balita  cukup senyum-senyum manis aja seperti boneka cantik dari India. Padahal, fase tantrum adalah hal yang lumrah terjadi, lho.Â
Saya jadi ingat, saat kami sekeluarga besar sedang berwisata ke Malang. Waktu itu, tiba-tiba keponakan saya yang bernama Aubrey, menangis meraung-raung saat rombongan kami akan pindah destinasi wisata.Â
Jadi, Aubrey sedang tak ingin turun dari stroller-nya, tapi ia juga ingin segera naik mobil menuju ke destinasi wisata bersama kakak-kakak sepupunya. Kegalauannya dalam memilih stroller atau segera naik mobil membuatnya tantrum.Â
Aubrey tidur di aspal sambil menangis keras dan menendang-nendangkan kakinya dengan acak. Puncaknya, ia minta tetap naik stroller di dalam mobil. Sungguh, permintaan ngadi-adi. Jangankan mamanya, jin Djarum 76 pun saya rasa akan malas mengabulkannya.Â
Mama Aubrey tahu, anak ini bangun terlalu pagi karena over excited. Sehingga hal kecil nan remeh pun dapat menjadi alasan tantrum. Mamanya pun meminta agar sang papa menggendong Aubrey ke dalam mobil. Ya, bahaya kan tiduran di aspal gitu. Tapi tenaga anak yang sedang tantrum kadang menjadi sangat besar, seperti orang kesurupan.Â
Jadi, meski papanya sudah berhasil menggendong dan menaikkan ke mobil, Aubrey berhasil melepaskan diri. Iya, dia mau kembali menangis sambil menggelepar di aspal. Sayangnya, saat ia lepas dari papanya, pak sopir pun sedang berusaha mendorong pintu mobil Hiace yang kami naiki. Lalu "Huaaaa", tiba-tiba Aubrey menjerit.Â
Semua panik, mengira kaki Aubrey terjepit pintu. Oalah, ternyata dia menjerit karena sepatu merahnya terlepas dan jatuh. Pak sopir pun nampak ketakutan. Pak sopir khawatir jika kaki Aubrey terjepit, untungnya ya tidak terjepit. Tangisnya semakin keras hanya karena pintu mobil sudah ditutup.Â
Di dalam mobil, Aubrey tak kunjung tenang. Ya, bagaimana mau tenang, ada Opung dan Uti yang sibuk dan berisik mencoba ikut menenangkan. Saya kesal juga mendengar ikut campurnya orangtua saya dalam usaha menenangkan cucunya. Saya teriak deh, "Udahlah! Â Nggak usah ikut-ikutan. Anak tantrum kalau dibujukin orang lain selain ortunya ya malah makin drama. Biar mamanya aja yang menenangkan."Â
Akhirnya mama Aubrey mengeluarkan  jurus andalan dengan tawaran menyusu. Aubrey pun segera tenang dan terlelap di pangkuan mamanya. Lalu perjalanan berlanjut dan ternyata saat bangun, anak ini seperti nggak inget lho habis nangis dan meronta heboh. Langsung ceria begitu saja.Â