Mohon tunggu...
BUSTANUL ARIFIN
BUSTANUL ARIFIN Mohon Tunggu... Guru - Guru/Mahasiswa Pascasarjana

Guru dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Qomaruddin Bungah Gresik Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Akhlak Ibnu Miskawaih

3 Juli 2023   12:08 Diperbarui: 3 Juli 2023   12:13 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di samping itu, menurut Ibnu Miskawayh semua itu haruslah berlandaskan kepada syari'at yang telah banyak mengatur dan menjelaskannya. Karena hanya dengan inilah manusia akan mencapai keutamaan dan melahirkan kebahagiaan. Di sinilah Ibnu Miskawayh telah menunjukkan bahwa ia tidak semata-mata mengambil teori ini dari filusuf Yunani, namun telah mengintegrasikannya dengan nilai- nilai agama. Oleh sebab itu, hal ini menjadi dinamis karena dimulai dari agama kemudian diuraikan dengan daya rasional melahirkan sifat-sifat mah}mdah dan menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan.

Meskipun demikian, konsep jalan tengah tersebut tak selamanya sempurna. Karena dalam beberapa sifat utama lainnya tidak mencangkup pertengahan, misalnya jujur bukan sifat tengah antara bohong dengan sikap tercela lainnya. Artinya sifat utama tersebut tidak selalu berada dalam posisi tengah, tetapi terkadang tidak mungkin untuk dikonsepsikan pertengahan. Hal ini setidaknya mengisyaratkan bahwa posisi tengah tersebut tidak dapat pasti dijadikan landasan untuk menentukan keutamaan atapun fadhilah. Akan tetapi, cukup memberikan gambaran awal dari akhlak terpuji yang selayaknya manusia berakhlak.

 

Kebahagiaan (Sa'dah)

Dalam menjelaskan kebahagiaan, Ibnu Miskawayh memulainya dengan menjelaskan al-khair (kebaikan). Karena menurutnya al-khair merupakan bagian penting dari kebahagiaan. Ia mendefinisikan al-khair dengan suatu keadaan dimana seseorang sampai pada batas akhir kesempurnaan wujud. Dengan artian bahwa kebaikan tersebut bergantung dalam sifat-sifat terpuji manusia yang mengantarkannya menuju derajat mulia. Sebab hanya dengan sifat-sifat tersebut manusia mampu mencapai derajat kesempurnaan wujud.

Adapun kebaikan itu setidaknya dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, adalah kebaikan yang bersifat umum, yaitu kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran- ukuran kebaikan tersebut secara umum telah disepakati oleh manusia. Kedua, adalah kebaikan khusus yang menjadi ukuran diri pribadi setiap manusia.45 Kebaikan inilah yang disebut dengan kebahagiaan. Karena selalu berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi setiap orang dan bergantung kepada cara dan usaha meraihnya. Namun dari keduanya terdapat kebaikan ketiga, yaitu kebaikan mutlak yang merupakan tujuan akhir dan identik dengan wujud. Kebaikan ini merupakan pencapaian tertinggi manusia dalam kemampuannya membedakan, berfikir, dan mengambil hikmah.46 Pada tahap ini manusia merasa malu dan takut dari sebab timbulnya sesuatu yang buruk dari dirinya. Sehingga ia selalu menjaga dirinya agar selalu dalam kebaikan dan menjauhi segala keburukan. Hal inilah yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan tertinggi.

Sedangkan kebahagiaan sebagaimana ingin dimaksud di atas adalah kebaikan yang meluap dalam diri manusia yang mana tidak membutuhkan hal lainnya. Tetapi hal ini hanya akan terwujud dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa maupun jasmani manusia. Ini berarti, bahwa kebahagiaan itu merupakan akumulasi dari pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmani manusia. Namun demikian, pada dasarnya kebutuhan jiwa menjadi lebih utama dari pemenuhan kebutuhan lainnya. Oleh sebab itu, Ibnu Miskawayh selalu menekankan pentingnya pendidikan akhlak agar selalu terpelihara kondisi jiwanya.

Dalam membahas kebahagiaan, setidaknya ada dua pandangan pokok yang ingin dikompromikan oleh Ibnu Miskawayh. Pertama, adalah pandangan Plato yang menegaskan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena jasad selalu merasakan penderitaan.  Oleh sebab itu, selama manusia masih berhubungan dengan badan, maka ia tak akan pernah mengalami kebahagiaan. Kedua, pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih berada dalam jasadnya.  Hanya saja, kebahagiaan tersebut berbeda-beda menurut masing-masing, seperti; orang miskin memandang kekayaan itu merupakan kebahagiaan, orang sakit ingin kesehatan yang merupakan kekayaan, dan seterusnya.

Menurut Ibnu Miskawayh, pada dasarnya manusia terdiri dari dua unsur jiwa dan raga, maka menurutnya manusia dalam hal ini mampu untuk mencapai kebahagiaan keduanya. Namun, menurutnya kebahagiaan yang ada di badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi dibandingkan kebahagiaan pada jiwa. Sebab kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghambat perkembangan jiwa menuju kebahagiaan yang tinggi. Sedangkan kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang mampu mengantarkan manusia menuju derajat malaikat. Pada tingkatan ini manusia tak lagi merasa kekurangan, meski materi dan kekurangan jasmani dirasakan. Namun, keadaan hati menjadikan semuanya indah dan damai hingga tercipta kebahagiaan.

Dengan ini, setidaknya menjelaskan bahwa kebahagian menurutnya dapat dibagi menjadi dua, pertama, kebahagiaan dunia yaitu dicapai dengan akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan terpuji sebagaimana yang diarahkan oleh akalnya. Sedangkan kedua, kebahagiaan sempurna (qus}wa/'ulya), yaitu digapai dengan cara menyempurnakan ilmu serta segala kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Artinya bahwa hakikat kebahagiaan manusia itu hanya terletak pada dua tingkatan ataupun bagian ini. Jika melihat hal ini maka manusia selayaknya mengetahui jalan menuju kebahagiaan tersebut.

Untuk mencapai kebahagian ini, menurut Ibnu Miskawayh manusia setidaknya haruslah menyempurnakan dua hikmah. Pertama, hikmah teoritis yang dapat diperoleh dengan mempelajari semua ilmu dan mengenal mawjdt sehingga ia dapat melihat tujuan akhir (ultimate goal) yaitu sang Pencipta. Kedua, hikmah praktis yang dapat diperoleh dengan mempelajari buku-buku akhlak, hal ini sebagai pengontrol agar tetap harmonisnya daya-daya yang ada dalam diri manusia.Dengan hikmah teoritis dimungkinkan memperoleh pendapat yang benar, sedangkan dengan hikmah praktis diharapkan mendapat jalan utama dalam perilaku baik. Jika manusia dapat menyempurnakan keduanya, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun