Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tragedi Pilkada Sampang dan Kedewasaan Berpolitik Masyarakat Indonesia

24 November 2024   14:20 Diperbarui: 24 November 2024   14:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dua Paslon Pilbup Sampang sepakat bersama ciptakan Pilkada damai |Khairul Umam/RRI

Rakyat Indonesia kembali akan menyalurkan aspirasinya melalui pemilihan pemimpin daerah mereka untuk lima tahun ke depan. Pemilihan pemimpin tersebut telah disepakati dan diatur melalui perundang-undangan yang berlaku, yakni undang-undang Pemilu dan Pilkada.

Pemilihan Kepala Daerah atau lebih dikenal dengan sebutan Pilkada merupakan mekanisme pemilihan pemimpin di suatu daerah Indonesia yang dilaksanakan secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil) oleh seluruh lapisan masyarakat.

Masyarakat yang memiliki harapan atau keinginan untuk masa depannya dapat menitipkannya kepada seorang kontestan Pilkada. Bila terpilih, pemimpin daerah tersebut yang berkewajiban memperjuangkan dan mewujudkan semua aspirasi masyarakat.

Penjelasan mengenai mekanisme pemilihan pemimpin tersebut sekilas nampak sederhana dan mudah dilaksanakan. Namun faktanya, di beberapa daerah, pelaksanaan Pilkada acapkali menimbulkan masalah yang berujung pada konflik horizontal.

Teranyar, di daerah Sampang, Madura, yang sudah menewaskan satu orang pendukung salah satu paslon Pilkada. Konon, korban dikeroyok menggunakan senjata tajam hingga meninggal karena menjadi pendukung atau saksi dari salah satu kontestan Pilkada.

Tragedi Pilkada Sampang ini bukan sekadar catatan kelam pelaksanaan demokrasi Indonesia tapi juga menjadi cerminan kedewasaan berpolitik masyarakat Indonesia secara umum. Hanya soal beda pilihan, persaudaraan jadi permusuhan bahkan nyawa melayang.

Politisasi Isu Primordial

Tragedi Pilkada Sampang, dan mungkin juga terjadi di daerah lainnya, memang diwarnai oleh ketegangan antar pendukung yang kemudian berujung terjadinya konflik. Peristiwa semacam ini biasanya bermuara pada isu primordial semisal suku, ras, agama dan kekerabatan yang itu sengaja dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu.

Ditambah lagi rivalitas dalam pertarungan politik antar kontestan, di dalamnya ada tim sukses, tokoh politik, budaya, agama dan sebagainya yang juga turut memperparah suasana Pilkada dengan memprovokasi masyarakat akar rumput demi keuntungan kelompok sendiri.

Politisasi isu primordial ini acapkali dilakukan oleh para elit untuk menjatuhkan lawan, meraih simpati masyarakat tanpa sedikitpun memikirkan dampak sosialnya, baik sebelum maupun sesudah Pilkada, dan cara ini dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam atau paling tidak kampanye negatif.

Tentu saja, cara-cara seperti ini, menggunakan isu primordial, mempolitisasi keberagaman, menyulut ketegangan untuk mendapatkan kemenangan merupakan cara yang sama sekali tak dapat dibenarkan dengan alasan apapun karena dampaknya pada kehidupan sosial akan terus berkelanjutan.

Kita dapat belajar dari Pemilu 2014 dan 2019, di mana rakyat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kubu dalam kurun waktu cukup panjang. Termasuk tragedi Pilkada Sampang, pasti akan meninggalkan trauma sosial yang mendalam. Pada akhirnya, rakyat menjadi korban karena isu yang dimainkan oleh para elit tertentu untuk mendapatkan kemenangan semata.

Cermin Kedewasaan Berpolitik

Terus terang, peristiwa penganiyaan di Sampang hingga menewaskan satu orang warga adalah cermin bahwa masyarakat Indonesia sebagian belum cukup dewasa dalam berpolitik. Bukan hanya warga biasa, tapi juga para elit yang ikut berkontestasi dalam helatan Pilkada.

Sebab mereka tidak mampu mengedukasi para pendukungnya agar berkampanye secara baik dan riang gembira, apalagi sampai melakukan pencegahan untuk tidak melakukan anarkisme, mengintimidasi dan memecah belah persatuan.

Secara otomatis juga belum sepenuhnya memahami makna dari demokrasi itu sendiri, yakni memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menyampaikan aspirasinya tanpa ada paksaan, ancaman dan penjegalan.

Dalam konteks Pilkada, siapapun bebas memilih kandidat pilihannya sesuai dengan hati nurani masing-masing dan hal ini dilindungi oleh undang-undang. Para kontestan Pilkada beserta seluruh timnya dilarang keras untuk memaksakan kehendak mereka agar masyarakat memilih dirinya dengan cara apapun, baik kekerasan fisik maupun psikologis.

Pada saat bersamaan, masyarakat juga diminta untuk tidak mudah terprovokasi dengan narasi yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, tidak muda tersulut emosi serta lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.

Pada titik inilah edukasi politik itu penting, bukan hanya bagi masyarakat sebagai pemilih atau pendukung, akan tetapi para elit yang menjadi bagian penting dari para kontestan Pilkada itu sendiri. Jadi, kedewasaan berpolitik seseorang sebenarnya dimulai dari para elit, baru kemudian ke masyarakat bawah.  

Belajar dari Pilkada Sampang

Bagaimanapun dan sampai kapanpun, peristiwa Pilkada Sampang ini harus menjadi pelajaran bagi semuanya, supaya tidak terulang kembali di kemudian hari. Kita dapat membayangkan jika keluarga dari korban atau sesama pendukung yang ada di barisan korban kemudian balas dendam, niscaya akan ada konflik horizontal lebih besar dan berkelanjutan.

Pertama, hentikan menggunakan isu primordial seperti suku, ras, agama, status sosial dan isu sensitif lainnya dalam upaya meraih kemenangan Pilkada. Sebab, yang menjadi korban utama adalah rakyat biasa yang tidak tahu tentang politik para elit.

Para kontestan, tim pemenangan, tokoh agama atau publik perlu menjadi pendingin suasana di tengah rivalitas politik yang ada, bukan menjadi penyulut api permusuhan dan perpecahan hingga menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat bawah.  

Kedua, utamakan persatuan dan kesatuan bangsa daripada kemenangan kelompok semata. Jangan sebab Pilkada, berbeda pilihan dan dukungan politik kemudian merusak persaudaraan, persahabatan dan persatuan.

Sekali lagi, ini tugas para elit, dalam hal ini kontestan Pilkada beserta semua tim menghadirkan narasi persatuan, menguatkan perbedaan dan terbiasa dengan perbedaan itu terutama dalam pilihan politik masyarakat akar rumput.

Ketiga, menghadirkan kampanye politik riang gembira, tidak saling menjelekkan, menfitnah apalagi menghasut permusuhan. Buat konten kampanye semenarik mungkin untuk menarik simpati masyarakat dan menentramkan suasana.

Sebab, pada dasarnya masyarakat Indonesia lebih tertarik pada sesuatu yang menyenangkan dan mengggembirakan daripada aktivitas menegangkan. Tindakan provokasi dalam bentuk apapun sebenarnya hanya semakin membuat orang nirempati tehadap kandidat tersebut.

Keempat, mengedepankan gagasan dan program, bukan mempertajam perbedaan. Pilkada ini seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat untuk memilih mana program atau visi calon yang tepat dalam menyelesaikan tantangan di daerah.

Berarti, para konteskan Pilkada juga harus mampu menghadirkan program berkualitas, bukan bersembunyi dibalik narasi permusuhan, berlindung dibalik ketenaran seorang tokoh terkenal dan mungkin juga kini saatnya masyarakat Indonesia mengubah cara pandang dari ketokohan seseorang menjadi gagasan atau program dalam memilih pemimpin

Waspada Politik Belah Bambu

Dalam suasana suhu politik yang semakin memanas sebab rivalitas Pilkada semakin tinggi ini, tentu mewaspadai gerakan politik belah bambu adalah keniscayaan. Bukan tidak mungkin ada kelompok tertentu yang memainkan politik kejam ini untuk meraih kekuasaan.

Dalam banyak kasus, orang yang haus kekuasaan akan menggunakan segala cara untuk meraih serta mempertahankannya, sekalipun harus mengorbankan persatuan dan kesatuan bahkan pertumpahan darah antar sesama anak bangsa.

Nah, dalam sejarahnya, politik belah bambu ini pernah digunakan oleh Belanda dan orde baru untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Mereka mengadu domba antar sesama anak bangsa agar bermusuhan satu sama lain, memecah belah persatuan mereka, mengangkat satu dan menginjak satu kubu.

Oleh karena itu, agar tragedi Pilkada Sampang tidak terulang kembali, dibutuhkan komitmen kembali seluruh anak bangsa untuk merawat persatuan dan menghindari perpecahan. Butuh kedewasaan dalam berpolitik supaya realitas yang ada saat ini tidak dipandang sebagai hitam dan putih.

Bersama-sama kita wujudkan Pilkada damai, aman dan menyenangkan tanpa ada perpecahan permusuhan apalagi ada korban. Dewasakan diri kita dalam perbedaan pilihan politik, biarkan orang memilih sesuai hati nurani masing-masing.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun