Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Baby Blues dan Kehadiran Negara dalam Keluarga

17 Juni 2024   19:00 Diperbarui: 18 Juni 2024   19:19 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi baby blues syndrome pasca melahirkan | iStockphoto 

Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 57% ibu melahirkan di Indonesia mengalami baby blues syndrome. Ini termasuk angka paling tinggi di asia dari rentang 26-85% secara keseluruhan.

Lebih jauh, 50% wanita Indonesia mengalami baby blues atau postpartum blues yang bersifat sementara dan terjadi pada minggu pertama pasca melahirkan. Sementara 34% mengalami postpartum depression dan 1% mengalami postpartum psikosis.

Dikutip dari berbagai sumber, baby blues syndrome adalah gangguan kesehatan mental pada seorang wanita pasca melahirkan yang disebabkan oleh perubahan hormon, kurang istirahat kesulitan beradaptasi dan atau memiliki riwayat gangguan mental.

Pasca melahirkan, kadar hormon progesteron dan estrogen dalam tubuh seorang wanita akan mengalami penurunan secara drastis, sehingga memicu perubahan pada suasana hati, merasa tertekan dan lelah.

Kurangnya waktu istirahat bagi wanita baru melahirkan karena kesibukan mengurus sang buah hati juga turut menjadi pemicu terjadinya gejala baby blues. Sebab, siklus tidur bayi baru lahir belum teratur, sehingga dapat mengurangi waktu tidur sang ibu.

Apalagi kalau misalnya pengalaman pertama lahiran sekaligus jadi seorang ibu, kadangkala ia butuh waktu untuk dapat beradaptasi dengan baik. Itulah mengapa peran keluarga terutama suami sangat penting bagi seorang isteri pasca melahirkan.

Tentu saja, wanita yang memiliki riwayat gangguan mental lebih rentan mengalami gejala baby blues syndrome, seperti depresi, cemas berlebihan, bipolar dan lain sebagainya. Selain suami atau keluarga, negara juga perlu hadir menganangi masalah postpartum syndrome ini.

Masalah baby blues syndrome ini menjadi penyebab utama seorang wanita yang baru lahiran mengalami perubahan secara emosional seperti, mudah sedih, marah, menangis, merasa letih dan nafsu makan jadi menurun.

Biasanya terjadi beberapa hari (3-4 hari) pasca melahirkan dan berlangsung hingga dua pekan. Bila lebih, maka dapat dikategorikan sebagai postpartum depression, dan bahkan postpartum psikosis yang perlu penanganan medis.

Meskipun baby blues hanya bersifat sementara, namun kesehatan mental satu ini tidak dapat disepelekan. Kondisi ini bisa mempengaruhi interaksi ibu dengan bayi serta hubungan dengan anggota keluarga lainnya menjadi kurang baik.

Penting bagi keluarga, terutama pasangan (suami) yang mendapati isterinya mengalami gejala ini untuk memberikan dukungan agar dapat melalui fase ini dengan baik. Pastinya, negara juga perlu hadir supaya masalah ini tak semakin meningkat.

Pentingnya Negara Hadir dalam Keluarga

Rasanya kurang adil kalau misalnya negara, dalam hal ini pemerintah, apatis terhadap masalah krusial ini. Sementara data penderita baby blues syndrome sangat tinggi dan bahkan tertinggi dibandingkan dengan negara-negara se Asia.

Tentu, kehadirannya bukan seperti para suami yang harus hadir menemani tetapi lebih pada kebijakan yang dapat membantu para wanita pasca melahirkan. Hal ini penting sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mensejahterakan keluarga.

Lebih utama lagi, karena bangunan keluarga merupakan kunci utama dari kemajuan bangsa dan negara Indonesia ini. Seorang wanita punya peranan penting dalam melahirkan kemudian mendidik generasi bangsa menjadi sosok kuat, sehat dan cerdas.

Dalam arti lain, bila pemerintah serius ingin memajukan dan mensejahterakan kehidupan kita, maka salah satu kebijakan dan programnya adalah memperhatikan para wanita. Kebijakan itu bisa dalam bentuk layanan kesehatan, regulasi, bantuan sosial dan pendidikan.

Pertama, layanan kesehatan. Pemerintah harus hadir dalam bentuk layanan kesehatan mental yang mudah diakses dan terjangkau bagi wanita baru melahirkan. Bila perlu, pemerintah bisa mewajibkan pemeriksaan pasca melahirkan perihal kesehatan mentalnya.

Perlu diketahui bersama, sampai saat ini baru 55,5% dari total keseluruhan jumlah puskesmas di seluruh Indonesia (data tahun 2022). Artinya, pemerintah masih memiliki tanggung jawab, menghadirkan layanan kesehatan mental lebih banyak lagi.

Kedua, kebijakan cuti melahirkan. Sebagai bentuk perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan mental (baby blues) para ibu ini, maka pemerintah perlu hadir dengan kebijakan yang lebih berpihak kepada wanita.

Regulasi mengenai pemberian cuti melahirkan lebih panjang bagi wanita melahirkan mutlak adanya, dan beberapa waktu lalu UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) sudah disahkan. Tugas berikutnya adalah memastikan UU tersebut terlaksana dengan baik dan benar.

Ketiga, bantuan sosial dan ekonomi. Masalah ekonomi turut menjadi pemicu terjadinya baby blues syndrome bagi wanita yang baru melahirkan, sehingga pemerintah juga perlu hadir bawa solusi dalam bentuk insentif atau bantuan lainnya.

Nah, pertanyaannya, dapatkah pemerintah memberikan insentif bagi wanita baru melahirkan. Jikapun belum, paling tidak bantuan dalam bentuk program seperti kelas parenting, layanan konseling dan program dukungan keluarga semisal.

Keempat, edukasi secara berkelanjutan. Banyak orang belum mengetahui masalah kesehatan mental satu ini. Sebagian manganggapnya sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah adanya. Ini menunjukkan tingkat literasi masyarakat tentang baby blues syndrome masih rendah.

Tanggung jawab pemerintah memberikan edukasi dan penyadaran kepada masyarakat secara umum dan calon orang tua khususnya. Edukasi terkait dengan bahayanya masalah kesehatan mental sekaligus cara mengatasinya.

Wanita sebagai Tulang Punggung Negara

Harus diakui, peran wanita atau ibu sangat menentukan kemajuan bangsa dan negara. Sebab, fondasi pertama dan utama dimulai dari keluarga yang ditentukan oleh kualitas sang ibu serta ayahnya

Keharmonisan keluarga adalah pilar bagi tegaknya peradaban bangsa Indonesia dan gambaran kondisi sebuah negara. Angka 57% pengidap gejala baby blues menggambarkan sejauh mana negara hadir memperhatikan wanita dan keluarga.

Tak ayal, bila negara memperhatikan para wanitanya, menghormati dan megangkat hak serta martabatnya maka, dapat dipastikan negara dan bangsa akan maju. Sebaliknya, bilamana kita merendahkan para wanita, maka sesungguhnya kita sedang berada dalam kemunduran.

Ibarat kata, wanita adalah tulang punggung negara. Bila tulang punggungnya bengkok, jangan berharap perjalanan bangsa ini akan lurus, jika tulang punggungnya lemah, jangan pernah harap bangsa dan negara Indonesia akan kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun