Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada, Tangga Menuju Istana Negara

13 Juni 2024   13:31 Diperbarui: 13 Juni 2024   13:31 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di beberapa wilayah atau daerah sudah mulai muncul figur-figur yang siap maju, mencalonkan diri sebagai kontestan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun ini. Mereka terdiri dari politisi, selebriti, akademisi, priayi, santri dan lain sebagainya.

Secara umum, mereka maju atas dorongan atau panggilan "Merah Putih," sebagaimana jamak diketahui dalam setiap pernyataan atau janji-janji politik yang mereka sampaikan. Hanya saja, secara spesifik kita tidak pernah tahu niat hati sebenarnya.

Seperti kata John Pierpont Morgan, orang selalu memiliki dua alasan, alasan mulia dan alasan sesungguhnya. Alasan mulia adalah niat yang disampaikan kepada khalayak ramai, dan inilah jawaban seseorang ketika ditanya mengapa ia mencalonkan diri.

Sementara alasan sesungguhnya, hanya ia dan Tuhan yang mengetahui. Padahal, alasan inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Bisa jadi, orang sengaja merahasiakan alasan sesungguhnya sebab niat alias alasannya memang kurang mulia.

Realitasnya, tak seorangpun calon wakil rakyat menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa niat dirinya maju karena ingin kaya raya atau berkuasa, meskipun setelah memperoleh jabatan mereka melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam konteks Pilkada, boleh jadi beberapa di antara para bakal calon kepada daerah tersebut memiliki niat kurang baik, karena ingin berkuasa dan kaya raya, bukan niat mengabdi kepada nusa dan bangsa Indonesia.

Tentu, tak seorangpun dapat mengetahui niat jahat tersebut dan tidak mungkin pula mereka mengemukakannya kecuali memang ingin tak terpilih. Termasuk juga, alasan kita mendukung dan memilih calon tertentu, hanya kita dan Tuhan yang maha tahu.

Dinamika Politik dalam Pilkada

Seperti pesta demokrasi pada umumnya, dinamika politik dalam Pilkada juga sangat kompleks. Orang yang punya keinginan maju dalam konstestasi Pilkada tidak serta merta menjadi calon Kepala Daerah dan ikut berkompetisi dengan kandidat lainnya.

Mereka harus melalui sebuah proses bernama mekanisme politik yang sudah ditentukan oleh aturan perundang-undangan. Misalnya, harus menggunakan kendaraan berupa partai politik, baik itu sebagai kader dan atau diusung oleh partai.

Pada saat bersamaan, partai politik juga tidak otomatis bebas mencalonkan kader atau siapa saja yang dianggap mampu memenangi pertarungan sekaligus mengangkat citra, elektabilitas partai bila perolehan suara partai tak memenuhi ambang batas.

Dalam banyak kasus, partai politik yang kurang memenuhi persyaratan mencalonkan kadernya sendiri, maka mereka harus berkoalisi dengan partai lain guna mengusung calon tertentu agar dapat mengikuti helatan Pilkada.

Secara administratif, pasangan calon Kepala Daerah yang diusung oleh kekuatan partai politik harus mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada. Jika layak, maka akan diloloskan dan ditetapkan sebagai peserta Pilkada.

Saat proses pencalonan inilah, dapat dimungkinkan terjadinya dinamisasi politik di luar nalar masyarakat awam. Ketika penentuan calon misalnya, acapkali kita mendengar transaksi politik antara calon, partai pengusung dan pemilik modal.

Transaksi itu bisa berupa mahar politik yang jumlahnya cukup fantastis, transaksi jabatan yang berpengaruh pada pengambilan kebijakan saat terpilih nanti. Dari sinilah awal mula terjadinya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Mereka yang tidak punya banyak uang meskipun secara kapasitas dan kapabalitas ia mampu memimpin, kemungkinan besar tidak akan dapat tiket pencalonan. Mereka yang tidak dekat dengan kekuasaan, akan sulit memenangi pemilihan.

Kondisi ini terus berlanjut saat kompetisi berlangsung, di mana kontestan Pilkada yang merasa sudah mengeluarkan banyak biaya harus menang dengan berbagai cara. Lalu, terjadilah jual beli suara, kampanye hitam, curang dan pelanggaran hukum lainnya.

Tak hanya itu, ketika menang Pilkada melalui cara curang, niscaya mereka juga akan memimpin dengan penuh kecurangan. Mulailah ia membuat kebijakan yang merugikan masyarakat serta menguntungkan diri sendiri dan koleganya saja.

Tentu saja, dinamika politik seperti ini harus segera diantisipasi agar tidak terjadi dalam proses Pilkada kali ini. Kesadaran kolektif dari semua pihak menjadi kunci terlaksananya Pilkada yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan.

Tangga Menuju Istana Negara  

Secara politik, Pilkada bukan sekadar proses peralihan kepemimpinan dari satu orang ke orang lain. Bukan pula sebatas wewenang dalam menentukan arah kebijakan di tingkat wilayah serta daerah tertentu bagi para Kepala Daerah terpilih nanti.

Lebih jauh, Pilkada memiliki peranan sangat strategis, yakni sebagai batu loncatan atau tangga bagi para politisi menuju panggung politik lebih luas lagi, yakni jabatan politik tertinggi negara, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

Para politisi yang berhasil memenangkan Pilkada biasanya mendapatkan perhatian lebih dari partai politik di tingkat nasional. Keberhasilannya dianggap sebagai indikator bahwa mereka mampu memimpin dan meraih dukungan rakyat.

Apalagi bila saat memimpin daerah mereka mampu menghadirkan kesejahteraan, kemajuan, kemakmuran melalui berbagai inovasi, maka bukan hanya partai politik yang akan melirik tapi seluruh rakyat Indonesia merindukan pemimpin tersebut.

Sebagai catatan, Pilkada atau kepimimpinan di daerah bukan berarti jadi batu loncatan politik secara instan. Dalam artian, hanya dijadikan pijakan untuk meraih kekuasaan yang lebih besar dan tinggi lagi.

Belum selesai masa kepemimpinannya di kabupaten/kota sudah mencalonkan diri di tingkat provinsi, belum tuntas di provinsi kemudian maju di Pemilu presiden. Hanya karena dapat tiket dari partai dan memiliki popularitas tinggi di masyarakat.

Ini bukan loncatan namanya, tapi kutu loncat. Sebab, ia hanya menjadikan Pilkada sebagai alat meraih popularitas, bukan mengasah kreativitas apalagi meningkatkan kapabalitas, integritas sebagai sosok pemimpin masa depan bangsa.  

Sederhananya, boleh jadi alasan atau niat utamanya bukan dalam rangka mengabdi kepada ibu pertiwi, tapi meraih kekuasaan tertinggi. Alhasil, bagi para calon pemimpin kepala daerah yang akan berkontestasi di Pilkada nanti harus benar-benar meluruskan niatnya.

Mengasah Kapabalitas dan Integritas Kepemimpinan 

Keberhasilan seseorang dalam memimpin suatu daerah seringkali dijadikan barometer untuk memimpin di level nasional. Terutama, mereka yang mampu menunjukkan kebijakan inovatif, serta kemampuan untuk menggerakkan masyarakat.

Tentu, pintunya melalui Pilkada. Para kepala daerah tersebut membangun jaringan, kekuatan dan popularitas sejak mereka ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Melalui gagasan yang dibawanya untuk membangun daerah.

Pilkada memberikan kesempatan kepada seluruh putra-putri terbaik bangsa Indonesia untuk menawarkan gagasannya dalam menjawab persoalan daerah. Saling agu gagasan antar calon dan mempersilakan masyarakat menilai lalu memilih.

Pengalaman memimpin di daerah memungkinkan mereka memahami berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan bagaimana merumuskan solusi yang efektif. Ini bagian dari upaya meningkatkan kapabalitas sebagai seorang pemimpin.

Keberhasilan memimpin di tingkat lokal, yang didukung oleh kinerja nyata dan kepemimpinan yang responsif dapat meningkatkan kredibilitas dan popularitas seorang politisi di mata publik, membuka jalan menuju peran yang lebih besar di tingkat nasional.

Banyak kepala daerah yang berhasil memimpin daerahnya, kemudian karir politiknya melejit hingga nasional bahkan internasional. Tentu saja, tak lain karena kapabalitas dan integritasnya sudah teruji oleh publik.

Sekali lagi, Pilkada merupakan tangga penting bagi seluruh putra-putri terbaik bangsa untuk mengasah kepemimpinan, meningkatkan integritas dan kapabalitas diri serta memperbanyak pengalaman sekaligus jaringan.

Selain itu, Pilkada juga memiliki peran penting dalam memperkuat demokrasi dan memastikan bahwa kepemimpinan di tingkat nasional berawal dari proses Pilkada yang mampu melahirkan pemimpin berintegritas dan berkualitas yang berakar pada aspirasi rakyat.

Oleh karena itu, menjaga integritas dan kualitas Pilkada merupakan kunci untuk memastikan bahwa tangga menuju Istana Negara tidak hanya terbuka bagi yang berambisi, tetapi juga bagi mereka yang memiliki kapasitas, integritas dan komitmen untuk memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun