Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada, Tangga Menuju Istana Negara

13 Juni 2024   13:31 Diperbarui: 13 Juni 2024   13:31 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam banyak kasus, partai politik yang kurang memenuhi persyaratan mencalonkan kadernya sendiri, maka mereka harus berkoalisi dengan partai lain guna mengusung calon tertentu agar dapat mengikuti helatan Pilkada.

Secara administratif, pasangan calon Kepala Daerah yang diusung oleh kekuatan partai politik harus mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada. Jika layak, maka akan diloloskan dan ditetapkan sebagai peserta Pilkada.

Saat proses pencalonan inilah, dapat dimungkinkan terjadinya dinamisasi politik di luar nalar masyarakat awam. Ketika penentuan calon misalnya, acapkali kita mendengar transaksi politik antara calon, partai pengusung dan pemilik modal.

Transaksi itu bisa berupa mahar politik yang jumlahnya cukup fantastis, transaksi jabatan yang berpengaruh pada pengambilan kebijakan saat terpilih nanti. Dari sinilah awal mula terjadinya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Mereka yang tidak punya banyak uang meskipun secara kapasitas dan kapabalitas ia mampu memimpin, kemungkinan besar tidak akan dapat tiket pencalonan. Mereka yang tidak dekat dengan kekuasaan, akan sulit memenangi pemilihan.

Kondisi ini terus berlanjut saat kompetisi berlangsung, di mana kontestan Pilkada yang merasa sudah mengeluarkan banyak biaya harus menang dengan berbagai cara. Lalu, terjadilah jual beli suara, kampanye hitam, curang dan pelanggaran hukum lainnya.

Tak hanya itu, ketika menang Pilkada melalui cara curang, niscaya mereka juga akan memimpin dengan penuh kecurangan. Mulailah ia membuat kebijakan yang merugikan masyarakat serta menguntungkan diri sendiri dan koleganya saja.

Tentu saja, dinamika politik seperti ini harus segera diantisipasi agar tidak terjadi dalam proses Pilkada kali ini. Kesadaran kolektif dari semua pihak menjadi kunci terlaksananya Pilkada yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan.

Tangga Menuju Istana Negara  

Secara politik, Pilkada bukan sekadar proses peralihan kepemimpinan dari satu orang ke orang lain. Bukan pula sebatas wewenang dalam menentukan arah kebijakan di tingkat wilayah serta daerah tertentu bagi para Kepala Daerah terpilih nanti.

Lebih jauh, Pilkada memiliki peranan sangat strategis, yakni sebagai batu loncatan atau tangga bagi para politisi menuju panggung politik lebih luas lagi, yakni jabatan politik tertinggi negara, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun