Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan secara serentak pada 27 November 2024 nanti, mulai mendapatkan atensi luar biasa dan menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah masyarakat.
Meskipun cakupannya hanya skala lokal, provinsi dan kabupaten/kota, tapi tetap menarik dan bahkan mungkin akan lebih panas dibanding pelaksanaan Pemilu kemarin. Penyebabnya tak lain karena sentimen ke daerahan yang lebih terasa.
Memang, secara teritorial tidak semua daerah akan mendapatkan atensi nasional layaknya pilpres dan pileg. Tapi, secara isu politik, Pilkada tetap menjadi pusat perhatian para pemerhati, akademisi, politisi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Masyarakat yang melek politik akan terus mengikuti perkembangan dan turut memantau setiap saat proses Pilkada ini. Di media massa seperti televisi, diskusi tentang Pilkada cukup intens dilakukan dalam rangka mengedukasi masyarakat.
Demikian pula di media sosial, melalui Podcast atau kegiatan semisal yang dilakukan oleh para konten kreator, ikut peduli dengan cara meramaikan perbincangan Pilkada ini.
Selain karena termasuk agenda politik lima tahunan, proses Pilkada kali ini berbeda dengan Pilkada sebelumnya, di mana prosesnya dilaksanakan secara bersamaan di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.
Jakarta sebagai Barometer Pilkada
Meski tersebar di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, nyatanya jawa tetap menjadi center of attension (pusat perhatian) perihal sukses tidaknya pelaksanaan Pilkada. Sementara wilayah lain, nampaknya kurang menarik untuk diperbincangkan.
Alasannya sederhana, karena jawa merupakan kunci atas kemenangan politik secara nasional. Dalam artian, partai politik atau kontestan Pilkada sangat mungkin memenangi Pemilu yang akan datang manakala berhasil menguasai pulau jawa.
Secara matematis, jumlah penduduk Indonesia terbanyak ada di pulau jawa. Mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogykarta, Jawa Barat, Banten dan Jakarta. Otomatis, ini akan menjadi lumbung atau penyumbang suara terbanyak bagi partai dan kontestan.
Kita dapat belajar dari proses pemilihan presiden dan wakil presiden kemarin, semua kandidat berkompetisi, merebut suara rakyat di pulau jawa dan hasilnya pasangan Prabowo-Gibran (02) berhasil memperoleh suara cukup banyak.
Andaikata pasangan Probowo-Gibran kalah di pulau jawa, kemungkinan besar mereka tidak memenangi Pilpres, atau paling tidak terjadi Pemilu dua putaran. Jadi, inilah mengapa partai politik serta para politisi lebih ambisius mengusai jawa.
Terutama DKI Jakarta yang selalu menjadi episentrum pelaksanaan Pilkada secara nasional. Ini tak lepas dari posisi Jakarta sebagai ibu kota negara, pusat pemerintahan, ekonomi, sosial dan lain sebagainya.
Jakarta adalah cermin bagi Indonesia itu sendiri. Semua bentuk keragaman bangsa ada di sana sekaligus sebagai simbol kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara. Mulai etnis, budaya, agama, pendidikan, sosial, politik, hukum serta ekonomi.
Jadi, wajah Pilkada kali ini akan sangat tergantung dari proses pelaksanaan Pilkada di Jakarta. Di sanalah prinsip sekaligus nilai-nilai dasar demokrasi ditegakkan lalu dipertontonkan kepada seluruh dunia, bukan hanya Indonesia.
Konon, orang-orang pintar dan berpengaruhnya Indonesia tinggal di Jakarta, atau paling tidak mereka ngantornya di sana. Dapat disimpulkan, corong peradaban negeri ini ibu kota, bukan daerah lainnya.
Bila proses pelaksanaan Pilkada di Jakarta nanti tidak sesuai dengan UUD, Pancasila dan nilai-nilai dasar demokrasi, maka sejatinya kualitas Pilkada di daerah lainnya akan sama. Sehingga, Jakarta harus menjadi barometer baik dan buruknya pelaksanaan Pilkada tahun ini.
Dampak Pilkada DKI Jakarta terhadap Politik Nasional
Mengapa banyak partai atau politisi mengincar kursi gubernur DKI Jakarta? Padahal, jika bicara soal pengabdian terhadap nusa dan bangsa, mestinya wilayah lainnya justru perlu mendapat perhatian lebih.
Artinya, bila niat majunya memang benar-benar ingin mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kemajuan bagi sebuah daerah, mengapa tidak mencalonkan diri di wilayah yang masih tertinggal.
Pertanyaan seperti ini wajar dan perlu kita lontarkan supaya mendapatkan jawaban pasti atau paling tidak gambaran terkait dinamika politik dalam negeri. Ada apa dibalik perebutan daerah DKI Jakarta.
Faktanya, diskusi politik pasca Pemilu dan menjelang Pilkada ini lebih banyak membahas calon kepala daerah DKI Jakarta. Bahkan, beberapa nama tokoh belakangan ini mencuat untuk ikut konstestasi Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta.
Partai politik dengan manuvernya mulai menyodorkan nama-nama yang akan diusung sebagai bakal calon kepala dan wakil daerah nanti. Pada saat yang sama, media massa juga ikut serta menggiring opini publik agar tertuju pada Pilkada DKI Jakarta.
Padahal, pelaksanaan Pilkada kali dilakukan serentak alias bersamaan. Logikanya, mestinya hal ini juga dibahas dan didiskusikan secara bersamaan atau secara keseluruhan. Misalnya, daerah Papua, siapa kader-kader terbaik partai yang akan diusung di sana.
Namun demikian, logika politik memang tak sama dengan logika pada umumnya. Kadangkala, sesuatu yang tak masuk akal, justru ada di dunia politik dan atau sebaliknya. Contonya di atas, jabatan politik diperebutkan dalam rangka hendak memajukan daerah.
Nyatanya, daerah yang sudah maju malah diperebutkan. Tentu, logika seperti ini tak dapat kita jumpai dalam kamus besar kehidupan masyarakat awam. Politik kadang hanya tentang sebuah kekuasaan, bukan soal kenegaraan apalagi perjuangan.
Usut punya usut, ternyata memang DKI Jakarta ini memiliki magnet besar dan khusus untuk menapaki tangga politik lebih tinggi. Hasil pilkada DKI Jakarta dapat menjadi preferensi politik masyarakat Indonesia secara umum.
Sebagai contoh, kemenangan Joko Widodo dalam Pilkada DKI 2012 menjadi jalan pembuka bagi dirinya untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pemilu 2014 dan menang. Begitu pula dengan Anies Rasyid Baswedan, menang Pilgub DKI lalu melanggeng ke Pilpres.
Bagi partai politik, Pilkada DKI Jakarta merupakan batu loncatan untuk menguji kekuatan serta strategi politik mereka. Dalam istilah lain, hasil Pilkada DKI Jakarta bukan hanya menghasilkan gubernur dan wakilnya, tetapi turut menentukan peta politik nasional.
Sekali lagi, Pilkada DKI Jakarta menjadi cerminan dari kualitas demokrasi Indonesia, menjadi miniatur serta barometer politik nasional. Memahami dinamika Pilkada DKI Jakarta, berarti menggambarkan luasnya wawasan politik kebangsaan kita.
Semoga, Pilkada kali ini dapat berjalan lebih baik. Terlaksana secara Langsung, Bebas, Umum dan Rahasia serta belandaskan pada nilai kejujuran dan keadilan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H