Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pers, Politik dan Pemilu 2024

15 Januari 2024   06:20 Diperbarui: 15 Januari 2024   06:34 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemenangan John F. Kennedy atas lawan politiknya, Ricard M. Nixon, pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat awal 1960-an, banyak ditentukan oleh adanya rekayasa media yang mampu membangun opini publik lewat penyampaian pesannya yang sangat persuasif. Kennedy yang sebelumnya diramalkan akan kalah dalam kontestasi pemilihan tersebut justru sebaliknya, ia memenangkan pertarungan dan menjadi presiden AS ke-35.

Media mampu memainkan perannya, menutupi sisi lemah dari John F. Kennedy. Menampilkan sosok kandidat yang dianggap publik terlalu muda untuk menjadi orang nomor satu di negeri Paman Sam. Ia muncul lewat layar televisi serta memenuhi halaman-halaman surat kabar dan majalah dengan penampilannya yang berwibawa serta terkesan cukup tua.   

Fenomena menarik dan bersejarah ini kemudian banyak diteliti oleh sejumlah ahli komunikasi dan hasilnya dihimpun dalam sebuah buku berjudul The Great Debates. Kabarnya, penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam sejarah mengenai efek media, terutama pada kasus kampanye politik, dan setelah itu bermunculan penelitian-penelitian serupa.

Masih di Amerika, kemenangan dua periode Barack Obama pada pemilu Amerika Serikat (AS) karena sukses memanfaatkan media sosial. Dia massif berkampanye, menyampaikan gagasan serta idenya melalui media sosial terutama face book dan twitter. Hingga pada akhirnya dapat mengdongkrak popularitas dirinya dan memenangkan pemilu.

Kemenangan inilah yang kemudian menginspirasi para kontestan pemilu Di Indonesia. Bahkan menurut sejumlah pakar, kemenangan Joko Widodo pada Pemilihan Presiden tahun 2014 juga banyak ditentukan oleh media. Ia berhasil meraih simpati rakyat melalui corong media dengan gaya pencitraannya yang sederhana dan dekat dengan rakyat.

Jokowi termasuk politisi yang paling banyak muncul di layar televisi, koran, majalah dan media sosial dengan penampilan sederhananya. Ini bukan kebetulan atau sesuatu yang alamiah, tapi apa yang dilakukan media terhadap John F. Kennedy dan Barack Obama di Amerika, dilakukan juga oleh awak media Indonesia kepada Jokowi. Makanya, ada istilah politik pencitraan atau presiden pencitraan setelah Jokowi menang.

Tentu, tiga sampel ini menjadi bukti betapa penting serta strategisnya media bagi kehidupan manusia, terutama berkaitan dengan keterlibatannya dalam proses politik dan pemerintahan. Setiap saat jutaan mata tertuju pada tabung televisi, media online dan media sosial, sekaligus membuktikan betapa masyarakat semakin bergantung pada media untuk mendapatkan berita atau informasi mengenai pemerintahan dan semesta pada umumnya.

Bahkan, perlahan tapi pasti sebagian masyarakat menganggap hanya yang terjadi di media yang mereka anggap benar-benar ada sekaligus dianggap penting. Sehebat apapun sebuah peristiwa jika tidak tersaji dalam media, tidak akan masuk dalam agenda publik. Pernyataan lebih ekstrem lagi, kegiatan yang tidak ada dokumentasinya dianggap hoaks.

Hal ini sejalan dengan hasil sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen kehidupan masyarakat Indonesia digunakan untuk berinteraksi dengan media. Tak heran bila komunikasi antar manusia saat ini banyak dilakukan melalui media, karena dianggap lebih baik, efektif serta efesien daripada komunikasi secara tatap muka.

Pemilu dan Kekuatan Pers

Harus kita akui, hampir semua sektor kehidupan manusia saat ini memanfaatkan jasa media, termasuk politik. Dalam kata lain, pemilu kali ini tidak mungkin lepas dari peran media massa. Ini bukan karena soal kedekatan antara pers dan politik, melainkan karena realitas lapangan mengatakan bahwa pemilu harus benar-benar memanfaatkan media.

Sederhananya, baik proses politik maupun media sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Politik butuh jasa media untuk kepentingan kampanye, sosialisasi partai dan pencitraan seorang kandidat. Pada waktu bersamaan, media juga butuh pesanan agenda politik supaya bisa mengasapi dapur produksinya dan menghidupi para pekerjanya.

Lebih jauh, justru media termasuk kunci sekaligus pemegang kendali ke mana perubahan itu diarahkan. Sebagaimana dikatakan Sibert bahwa pers merupakan kekuasaan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif karena acapkali tiga kekuasaan ini meminta bantuan kepada pers untuk mengalirkan kekuasaannya kepada publik.  

Kenyataan ini semakin meneguhkan pemilu 2024 ini juga tidak terlepas dari peran serta media dalam memenangkan para konstestan pemilu. Dalam arti lain, pemenang pemilu adalah orang yang menguasai media itu sendiri. Tentu, secara pasti kita belum mengatahui siapa pemenang pilpres kali ini, apakah Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran atau Ganjar-Mahfud.

Kita juga belum bisa memastikan apakah kemenangan John F. Kennedy, Barack Obama dan Joko Widodo melalui media bisa terulang kembali pada kontestasi pilpres kali ini. Apa mungkin Gibran menjadi Kennedy berikutnya, Anies bernasib sama seperti Obama versi Indonesia atau Ganjar melanjutkan Jokowi? Takdir masih di tangan Tuhan dan hanya Dia yang tahu.  

Yang jelas, ketiga paslon ini sedang memanfaatkan media demi meraup keuntungan, meraih simpati serta mendongkrak popularitas masing-masing. Namun, secara kasat mata kita dapat mengetahui paslon mana yang mendominasi serta menguasai media. Dalam kasus tertentu, kita juga bisa menduga media mana yang cenderung berpihak pada paslon tertentu.

Di lain sisi, media saat ini juga sedang kebanjiran pesanan. Para caleg atau capres dan bahkan partai yang memasang iklan di televisi, radio, media online dan sosial agar cepat dikenal oleh masyarakat secara luas. Seperti mendapatkan durian runtuh, hampir semua kontestan pemilu rela membayar hingga miliaran rupiah supaya bisa tayang di jam-jam tertentu.

Kabar buruknya, dalam situasi seperti sekarang ini, media juga bisa menjadi alat pembunuh paling mematikan bagi para kontestan pemilu. Melalui kata-kata, kalimat, gambar dan video, media bisa menjatuhkan pihak tertentu dalam sekejap mata. Tergantung pengguna jasanya, mau mengangkat citra atau menjatuhkan lawan politiknya.

Mensukseskan Gelaran Pemilu

Sebagaimana sudah dijelaskan diawal, bahwa hampir pasti pemilu tidak dapat menanggalkan media dan begitu jua sebaliknya. Media harus menjadi mitra strategis penyelenggaran pemilu supaya bisa melakukan kontrol sosial sebagaimana fungsinya. Bahkan, media bisa menjadi penentu suksesnya pemilu yang diselenggarakan secara jujur, adil dan transparan.

Harapan besarnya pers bisa menjadi jembatan antara kontestan dengan konstituen, menjadi penyambung antara pemilu dan pemilih. Pers bisa menjadi pencerdas dan pencerah pemilih, membangun pemahaman masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik melalui pesta demokrasi dengan berusaha meningkatkan jumlah partisipasi pemilu.

Tingginya angka golput pada pemilu sebelumnya menjadi catatan penting, pertama tentu bagi pemerintah dan penyelenggara. Kedua, bagi pers itu sendiri sebagai pilar keempat kekuatan demokrasi Indonesia. Melalui beragam sajian menu terkait pemilu, harapannya bisa mengusik dan menyadarkan masyarakat untuk ikut mensukseskan pemilu.

Jika masyarakat percaya terhadap apa yang disajikan oleh media, maka sesungguhnya mereka sedang menunggu tafsiran-tafsiran tentang makna dibalik sebuah peristiwa politik. Publik juga pada dasarnya membutuhkan bantuan pers dalam menafsirkan setiap peristiwa yang terjadi karena mereka sebetulnya tidak punya cukup waktu serta kemampuan yang memadai.

Media perlu menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai pemberi informasi, pendidik, pengontrol dan penghibur mengenai pelaksanaan pesta demokrasi ini. Seram atau gembira helatan pemilu kali ini tergantung dari bagaimana media menyajikannya. Bila informasi yang disajikan sesuatu yang menakutkan dan mengkhawatirkan, niscaya public juga akan merespon dengan ketakutan dan kekhawatiran.

Menghadapi pemilu 2024, media diharapkan mampu menjalankan fungsi serta tanggung jawabnya dengan bijak. Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang akurat, seimbang, dan tidak terdistorsi untuk membuat keputusan politik yang cerdas. Pada saat yang bersamaan, para kontestan pemilu juga diharapkan menggunakan media dengan integritas, menghindari praktek-praktek manipulatif, dan membangun pencitraan yang sesuai dengan realitas.

Pada kesimpulannya, media memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan dinamika pemilu. Media dapat menjadi kekuatan positif, atau sebaliknya, dapat menjadi instrumen yang merugikan jika disalahgunakan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dan keterlibatan semua pihak untuk menjaga integritas dan keadilan dalam proses pemilu yang melibatkan media sebagai mitra strategis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun