Teranyar, tiga hari yang lalu. Di salah satu grup whatsapp yang saya ada di dalamnya. Seorang anggota grup mencari informasi tentang tempat jual gorengan yang ramai di Bandung. Ia hendak belajar bagaimana mendapatkan omzet besar melalui jualan gorengan.
Ia sempat mengirimkan sebuah video dari kanal Youtube dengan narasi marketing yang sedikit menjanjikan "Laris Manis! 6 Jam Habis 2000 lebih Gorengan" (bisa searching sendiri di Youtube). Sebelum akhirnya bertemu dengan Goreng Pisang Keju buatan Isteri.
Kembali ke masa kecil saya dulu, ketika musim kemarau tiba. Madura, khususnya Sampang (bumi kelahiran saya) biasanya musim tembakau. Semua ladang pertanian berwana hijau atau "Biru" kata orang Madura (di Madura tidak ada warna Hijau).
Saat panen tembakau tiba, orang Madura bersuka-ria. Pagi hari molong pekoh (metik tembakau), siang sampai sore hari akulung pekoh (gulung tembakau) dan malam hari masat pekoh (motong tembakau) yang selanjutnya ajemor pekoh (menjemur tembakau).
Kegiatan masat pekoh (motong tembakau) biasanya dilakukan oleh bapak-bapak, anak-anak laki-laki ikut meramaikan dan membantu, setidaknya mengangkat tembakau yang sudah dipotong ke tempat penjemuran atau tukang Matar (red. Madura)
Dimulai usai shalat isya' bahkan kalau tembakau yang akan dipotong banyak, biasanya lebih awal. Sore hari, sekitar pukul 17.00 WIB dimulai. Selesainya bisa pertengahan malam bahkan subuh hari, tergantung jumlah tembakau dan orang yang memotong.
Antara gorengan dan tembakau, memoar yang masih berkesan ketika jeda kerja berlangsung. Biasanya tuan rumah menyuguhkan kopi dan rokok sebagai penawar lelah dan kantuk, pemecah kesunyian malam serta penyemangat untuk melanjutkan pekerjaan.
Ibu saya, punya terobosan dalam memberikan suguhan. Di luar kebiasaan, bahkan ibu saya bisa disebut sebagai inisiator. Karena, setelah pemberian tambahan suguhan tersebut, secara sengaja diikuti oleh yang lain dan bertahan hingga tulisan ini diterbitkan.
Ia membagikan gorengan kepada setiap orang yang membantu memotong tembakau. Saya yang waktu itu masih kecil, melihat orang-orang sumringah dan kegirangan menerima suguhan berbentuk gorengan. Dibuat dari ubi dan pisang yang diambil dari hasil pertanian ibu saya.
Saya pun ikut menyantap dan sangat menikmatinya, dan itulah awal saya jatuh cinta pada gorengan, hingga sekarang. Goreng ubi dan pisang buatan ibu, senantiasa tergiang dalam ingatan. Rasanya yang khas ingin sekali mencicipi ulang.
Ketika usia remaja, saya yang juga punya darah Jawa. Sesekali menyempatkan diri berkunjung ke rumah nenek, di Lumajang. Sembari menunggu sarapan matang, nenek suka membuatkan goreng pisang dan seduhan susu hangat sebagai pasangan dari goreng pisang.